“Bagaimana Olimpiadenya?” Tanya Bapak pada anak kembarnya.
“Aku tidak peduli penting aku sudah berusaha tapi Aje tetap sedih karena hanya bisa mengerjakan sedikit soal”
“Tidak apa kan sudah berusaha dan jangan lupa berdoa, kalian sudah hebat di mata Bapak, bersiaplah untuk acara nanti malam”
Bocah kembar itu duduk dan melihat banyak sekali persembahan hasil bumi, mereka mulai menampilkan sesembahan itu dan perayaan dimulai, mereka melihat Bapaknya berdiri disana untuk memberi sambutan sebagai kepala desa.
Bapak kembali turun dan duduk bersama anak kembarnya sambil menikmati perayaan itu, suasanya sangat ramai membawa perasaan gembira kepada siapapun yang datang.
“Kenapa bapak selalu bawa banyak hasil panen? Bahkan orang orangpun ada yang membawa hasil ternak mereka?”Tanya Jeje.
“Tentu saja untuk persembahan Jeje gitu saja kau tidak tahu”
“Diamlah aku bertanya pada bapak kenapa kau ikut menjawab”
“Sudahlah, Kata Aje juga benar tapi tujuan tradisi ini untuk mengungkapkan rasa Syukur kepada alam atas kekayaan laut dalam setahun terakhir”
“Tapi bapak sendiri bukan nelayan?” Tanya Jeje
“Bapak memang bukan nelayan, tapi tradisi ini sudah menjadi bentuk rasa syukur daerah pesisir, Kakekmu saja nelayan, tapi sawahnya tidak terurus, karena itu Bapak sedang mengurus sawah kakekmu”
“Besok aku mau jadi nelayan mau nangkap ikan hiuu”
“Tidak semua ikan bisa ditangkap Jeje”
“Suka suka jeje dong Pak”
“Hahaha, Pulanglah besok lihat perlombaan”
Keesokan harinya mereka datang kembali untuk melihat perlombaan, bahkan mereka ikut merayakan dengan mengikuti perlombaan layang laying. Perayaan pagi ini bisa dianggap sebagai hiburan untuk masyarakat, sementara perayaan persembahan hasil bumi kemarin dianggap sacral.
Dua minggu berlalu pengumuman hasil olimpiade muncul, diberitahukan bahwa hanya satu siswa dari sekolahnya yang lolos ke provinsi.
“Selamat ya Jeje kami bangga”
“Selamat jeje tidak menyangka kau pintar juga”
Pandangan Jeje tertuju pada Aje, ia melihat jelas air matanya berlinang, tapi Aje justru membawa kembarannya ke pelukannya, hingga air matanya jatuh membasahi pipinya.
“Selamat Jeje pergilah dan pulang bawa kabar gembira”
“Aje aku kan merindukanmu, tapi apa kau tidak apa?”
“Aku tidak apa je lagi pula masih banyak kesempatan untukku, ini adalah kesempatanmu”
“terima kasih Aje”
Mendengar berita itu satu rumah terlihat senang, tentu saja anak sekecil itu sudah membawa kebahagiaan untuk orang tuanya. Dan tibalah hari dimana Jeje harus pergi ke kota untuk pelatihan olimpiade tingkat provinsi.
Hari hari mulai berlalu Aje sudah terbiasa tanpa sifat jail kembarannya, sementara Jeje mulai fokus belajar disana. Hari olimpiade datang lagi lagi Jeje meraih peringkat kedua, ia mewakili provinsi Sumatera Utara, dan mendapat peringkat kedua se Indonesia setelah Jawa Barat.
Jeje mulai mendapat apresiasi dari pihak manapun hingga Bupati menawarkannya untuk ia sekolahkan di Jawa Barat. Tentunya kedua orang tuanya tidak setuju, itu begitu jauh bagaimana anak sekecil itu hidup di kota besar tanpa orang tuanya. Namun Wali kelasnya tetap mendukungnya dan akhirnya Jeje bersekolah di Jakarta dengan Wali Kelasnya yang juga diperbolehkan untuk mengajar disana.
Satu tahun kemudian Jeje pulang, ia sangat merindukan keluarganya.
“Jejee..”Teriak Aje yang begitu merindukannya
“Pintar sekali jagoan bapak, Aje juga pintar sekali ia terus mendapat peringkat pertama di sekolah”Kata Bapak.
“Oh ya? kau begitu pandai Aje” Jawah Jeje.
“Kalian ke dalam dulu ya, Bapak akan rapat untuk kenduri laut”
“Baik pak”
“Berdasarkan kas Desa dananya cukup untuk panggung kemarin dan hadiah untuk pemenang lomba” Usul orang dalam rapat itu.
“Bagus kalau begitu, nanti saya juga akan ikut menyumbang, baiklah perayaan tetap sama seperti tahun sebelumnya”
“Pak bagaimana kalau perayaan malam nanti kita akan merekam semua aktifitas atau membuat siaran langsung atau menambahkan acara baru, jadi siapapun tahu bagaimana tradisi kita, bahkan untuk perlombaan kita bisa membuatnya menjadi wisata siapapun bisa daftar asalkan warga non lokal berbayar, kan lumayan untuk kas Desa ”
“Tapi Jeje perayaan malam itu sakral bagaimana bisa kau siran langsung”
“Jeje kembalilah ke kamarmu, tidak baik menyela pembicaraan orang” Tutur Bapaknya.
“Baiklah”
Sore hari satu keluarga kecil itu sedang bersantai di depan rumahnya menyapa para tetangga yang lewat. Jeje kembali menyuarakan pendapatnya tapi Bapaknya terus menolak pendapatnya.
“Jeje yakin pak ini bisa menarik banyak orang disana”
“JEJE! INI TRADISI KITA!” Kata Bapak sedikit membentak lalu pergi.
“Tidak ada salahnya bukan membuat inovasi baru”
Keesokan harinya dimana diadakan sosialisasi seperti biasa sebelum tradisi itu, Jeje tidak menyerah menyuarakan pendapatnya, ia berbicara dengan lantang di depan semua orang, tak sadar Bapaknya yang duduk di depan menatapnya kesal.
“Boleh juga pendapat Jeje, toh penting nilai tradisi kita masih sempurna tidak ada salahnya membuat inovasi baru” Kata salah satu pemuda.
“Tidak bisa, tradisi ini bersifat sakral bagaimana bisa dicampuri dengan hal lain? Apalagi siaran langsung, bagaimana orang luar mengatakan kita hal buruk?” Sahut Tetua di desa itu.
“Benar! Bagaimana bisa tradisi kita bercampur tangan dengan orang luar?”
“Tapi namanya kehidupan pasti perlu perubahan dan pertumbuhan, teknologi disana mulai maju, kalau kita tidak maju bagaimana generasi kita selanjutnya? Apa kalian mau generasi selanjutnya tetap sama seperti sebelumnya?”
“Modern, teknologi, biarkan itu berkembang dan tumbuh kalian bisa mempraktekkannya di sekolah tidak di tradisi”
Hingga dendam muncul antara tetua dan pemuda, sejak kehidaran Jeje yang membawa banyak sekali pendapat yang kurang diterima membuat desanya pertama kali menyimpan rasa dendam.
“SUDAH BAPAK BILANG KAU DIAM SAJA! PARA TETUA MARAH KARENA MU, MEREKA KECEWA DENGAN BAPAK KARENA TAK BISA MENDIDIKNYA” Bentak Bapak pada Jeje sepulang itu.
“Sudahlah pak Jeje juga masih kecil kau tidak perlu marah besar” Tahan Ibunya.
“BIARKAN! BIAR DIA TAHU KESALAHANNYA KUNCI DIA DI LUAR, BIARKAN DIA TIDUR DILUAR SAMPAI MENYADARI KESALAHANNYA”
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari Aje masih terjaga, ia melihat Bapak sedang mengawasi Jeje dari jendela, sebenarnya Bapak tidaklah tega, tapi bagaimanapun harus membuat anaknya tersadar akan kesalahannya.
“Bapak” Panggil Aje.
“Aje tahu tiap orang pasti tidak bisa mengubah pikiran orang, tapi coba bapak pikirkan lagi, pendapat Jeje tidaklah buruk, justru ia memberikan ide dan inovasi untuk kemajuam Desa mungkin jika di bicarakan lebih lanjut bisa dibuat kembali dengan tidak mengurangi nilai tradisi”
“Terima kasih Aje, Bapak juga berpikir demikian, namun yang bapak tidak suka dari Jeje bentuk penyampaiannya kurang benar, ia terlalu memaksaan pendapatnya, kembalilah tidur besok Bapak akan bicara dengannya”
Keesokan harinya Bapak membawa Jeje ikut rapat lagi, ia kembali menyuarakan pendapatnya dan di musyawarakan lagi bagaimana baiknya.
“Baiklah kita akan menggunakan pendapat Jeje, bagaimana kau promosi untuk perlombaan itu?”
“Kita bisa mempromosikan di sosial media siapapun bisa lihat dan mengetahui bagaimana tradisi kita dengan orang yang ingin mengikuti perlombaan dengan biaya tertentu”
“Lalu untu mereka yang ingin ikut bagaimana kita bisa mengetahuinya?”
“Itu mudah kita gunakan fitur google untuk siapapun yang hendak mendaftar seperti google form untuk pendaftaran atau google drive untuk dokumentasi”
Akhirnya mereka menemukan titip terang itu, mereka tetap mengadakan tradisi laut seperti sebelumnya namun dengan inovasi baru tanpa mengurasi nilai tradisi yang ada dan berdasarkan tujuan yang sama yaitu mengungkapkan rasa syukur atas hasil laut yang didapatkan.
“Kau hebat Jeje”
“Kau juga hebat Aje”
// Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024//