Jembatan Usang

Raja Saju adalah raja yang berkuasa di Desa Wetan dan Desa Kulon. Suatu hari Raja Saju bersedih hati mendengar Desa Wetan yang dilanda kekeringan dan Desa Kulon yang dilanda bencana kelaparan. Tanpa pikir panjang Raja langsung mengirimkan bantuan kepada kedua desa dan bersiap mengunjungi Desa Wetan dan Desa Kulon dengan menyamar menjadi rakyat jelata.

Sampailah Raja Saju bersama perdana menteri di Desa Kulon. Akan-anak dan orang dewasa yang mengumpulkan ranting dibuat kerajinan dan dijualnya ke desa seberang. Wodi kepala Desa Kulon menemui sang Raja. Dan berusaha menjamu Raja dengan peralatan makan dari serpihan kayu.

“Mengapa tidak mengolah batang pohon saja?”

Dengan muka masam memendam kekecewaan Wodi menjelaskan tentang pohon di hutan Desa Wetan yang tidak lagi boleh ditebang. Padahal dengan pohon itu, warga Wetan juga mendapat imbalan perabot rumah yang bagus gratis. Warga Desa Wetan juga tidak mau memperbaiki jembatan biru  miliknya yang sudah rusak parah.

Raja Saju hanya berdehem dan menganggukkan kepala mendengar keluhan Wodi. Tidak berapa lama raja pamit undur diri. Tanpa sepengetahuan Wodi, raja dan perdana menteri tidak kembali ke kerajaan melainkan menuju Desa Wetan.

Setelah berjalan jauh, tibalah raja di bibir jembatan biru. Jembatan biru inilah yang menghubungkan Desa Wetan dan Desa Kulon. Namun benar kata Wodi, jembatan itu sudah rusak parah hingga sangat bahaya untuk dilalui.  Sehingga raja memutuskan untuk berenang saja.

Hari sudah siang saat raja sampai di Desa Wetan yang disambut gembira oleh kepala desa Wetan bernama Dayo. Keadaan raja yang basah kuyup sekaligus membuka pembicaraan kepada Dayo.

“Mengapa tidak mengambil air di sungai jembatan biru saja?”selidik raja.

Dayo dengan sangat kecewa menjelaskan sungai jembatan biru itu milik Desa Kulon. Ia juga menceritakan sifat penduduk Desa Kulon yang sangat serakah dan mau enaknya saja. Padahal dulu mereka selalu menebang pohon untuk media mebelnya.  Tetapi lambat laun hutan gundul karena tidak adanya penanaman ulang. Jembatan biru yang kokoh juga  rusak akibat ulah mereka yang mengangkut kayu gelondongan dengan alat-alat berat.

Seperti yang dilakukan pada Wodi, raja hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan Dayo. Tidak lama berselang, raja dan perdana menteri kembali ke istana.

Esok paginya, raja menyuruh perdana menteri yang lain untuk mengantar undangan makan malam untuk Wodi dan Dayo. Sesuai rencana, Wodi dan Dayo segera mengabarkan undangan raja kepada para penduduk desa. Akhirnya sebelum matahari tenggelam, seluruh warga Desa Wetan dan Desa Kulon berada di aula istana. Mereka dijamu makanan dan minuman yang melimpah. Acara makan malam berakhir dan kedua warga desa itu pulang dengan perasaan senang berulang sampai tiga kali.

Para perdana menteri yang melihat keadaan itu heran. Terlebih perdana menteri yang ikut serta menemani raja berkunjung ke Desa Kulon dan Desa Wetan. Hingga setelah raja akan tidur ia memberanikan diri untuk bertanya.

“Mengapa bagindana tidak mengajak mereka berdiskusi tentang masalah keduanya setelah makan?”ucap perdana menteri penuh ragu.

“Dengan mempertemukan keduanya itu sudah memberikan kesempatan untuk mereka berdiskusi sendiri.”jawab raja bijaksana.

“Bukankah keduanya saling berseteru baginda raja?” perdana menteri mulai bingung.

“Benar. Kita tidak perlu memberi saran hanya menurunkan ego yang dibutuhkan,”tukas sang raja.

Walaupun perdana menteri belum paham sepenuhnya akan tetapi ia percaya raja yang terlihat sederhana menyembunyikan sifat cerdik dan bijaksananya.

Undangan makan malam diberikan hingga lima kali. Acaranyapun masih sama yaitu hanya makan malam saja. Hingga dua hari setelah undangan makan malam dari raja berakhir, justru raja yang diundang untuk hadir di Desa Wetan dan Desa Kulon. Dengan gembira raja bersama para menteri memenuhi undangan tersebut.

Perjalanan menuju Desa Wetan dan Desa Kulon dilakukan dipagi petang. Sehingga ketika matahari terbit sepenggalah, raja dan rombongan sudah berada tempat undangan yaitu di depan jembatan biru.

Para warga desa sudah berkumpul di kedua ujung jembatan. Warga laki-laki bergotong royong menebang pohon, menggergaji menjadi papan-papan kayu, menjalin rotan, memasang pasak kuat-kuat hingga terbentuklah jembatan biru yang kokoh dan indah.

Sementara itu ternyata warga perempuan tidak tinggal diam. Mereka menanak nasi, memasak sayur mayor, menyiapkan lauk pauk, buah dan minuman untuk penambah tenaga. Ada yang bertugas di dapur, ada yang menyiapkan, ada pula yang menghidangkannya.

Anak-anak tidak luput ikut serta mengayunkan sabit, menggerakkan sapu, mencabuti rumput, membabat semak belukar di area bibir jembatan, hingga bersih dan rapi dipandang seperti sedia kala.

Hari menjelang petang. Warga Desa Wetan dan Desa Kulon berkumpul di balai Desa Wetan untuk makan malam dan peresmian jembatan biru yang baru diperbaiki. Setelah itu Dayo dan Wodi membacakan perjanjian yang telah mereka sepakati bersama.

Pertama warga Desa Wetan diperbolehkan menebang pohon asalkan menanam kembali pada tempat yang sama. Desa Kulon diperbolehkan mengambil air sungai di jembatan biru untuk kebutuhan hidup mereka. Jika sewaktu-waktu jembatan rusak, keduanya akan bergotong royong memperbaikinya kembali.

Raja Saju dan rombongan kembali ke istana dengan tenang. Tidak hanya jembatan biru yang diperbaiki tetapi hubungan kedua desa juga berhasil tersambung kembali tanpa melibatkan kekerasan. Dengan begitu tidak akan terjadi bencana kelaparan dan kekeringan lagi. Para perdana menteri akhirnya paham dengan sendirinya tentang bujukan Raja Saju yang sangat istimewa dan sulit ditebak. (Tamat)

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar