Bulan Desember telah tiba. Bulan yang sangat dinanti-nantikan oleh keluarga Adong. Tak hanya perayaan Natal, tetapi juga merayakan hari ulang tahun opung boru mereka yang akan berusia 80 tahun. Merayakan hari Natal sekaligus hari bahagia opung akan menjadi momen indah di akhir tahun ini. Beberapa keluarga Adong telah tiba di rumah opung. Ada tulangnya, tantenya, namboru, amangboru, dan sepupu-sepupu yang jauh di rantau. Adong sangat senang karena sepupunya, Duma, yang berada di Jakarta juga sudah tiba demi hari bahagia opung.
“Ohh.. Opung boruku..” sapa Adong sambil memeluk opung borunya.
“Ah, Adong cucu opung, sehatnya kau amang?” tanya opung.
“Tentu, pung. Adong sudah rindu dengan opung, loh.” seru Adong lagi
“Opung juga, salamlah paribanmu itu si Duma, sudah datang mereka tadi.” perintah Opung.
“Baik, Opung,” jawab Adong.
Adong segera berlari senang menemui Duma yang sedang berada di dapur.
“Duma, apa kabarmu?” tanya Adong menyodorkan tangannya.
“Hei, Adong! Aku baik-baik, gimana kamu?” tanya Duma sembari menerima salam dari Adong.
“Tentu saja aku bahagia hari ini karena semua keluarga kita dapat berkumpul,” seru Adong.
Tiba-tiba, amangborunya Duma, bapak Adong datang dan menyapa Duma.
“Wahh, keponakan amangboru ini cantik sekali, bah!” puji Bapak Adong.
“Mauliate, amangboru,” jawab Duma senyum sambil menyalam amangborunya itu.
“Iya, dong ini nanti jadi parumaenku, kan, Dum?” sambung Mama Adong.
“Ah, mama sama bapak jangan begitu, kami masih anak kecil, Ma, Pak,” seru Adong seraya menggosokkan hidungnya.
“Kami hanya bercanda, Adong, kau jangan terlalu serius nanti jadi beku,” ujar Bapak Adong sembari tertawa kecil. Adong dan Duma hanya tertawa melihat Bapak Adong yang suka bercanda itu. Adong dan Duma masih duduk di bangku kelas 6SD, mereka hanya ingin bermain dan bersenang-senang saat bertemu. Adong dan Duma juga membantu keluarga mereka di dapur. Dapur opung sudah sangat berantakan karena keluarga Adong memasak menu-menu khas Batak Toba sendiri tanpa campur tangan orang lain.
Dengan inisiatif, mereka mencuci piring kotor bekas wadah bumbu dan makanan. Mereka mengerjakannya dengan senang hati. Sekalipun Adong adalah seorang laki-laki, ia tetap mengerjakan semua pekerjaan ringan sebagaimana orangtuanya mengajarinya.
“Duma, setelah selesai mencuci piring, kita pergi ke kebun opung, yuk!” ajak Adong.
“Kebun apa? Apakah jauh dari rumah opung?” Duma memastikan.
“Kalau jalan kaki, tentu jauh, tetapi kalau berjalan sambil melihat pemandangan gunung di sini tentu tak terasa, bukan?”
“Oke! Aku suka jalan kaki,” ujar Duma.
“Ah, mana mungkin, kau kan selalu naik mobil,” Adong tertawa terbahak-bahak.
Duma tersipu malu dan melemparkan busa sabun ke arah Adong sehingga mengenai pipinya.
“Kau ini, sangat berbahaya jalan sendirian di Jakarta, keramaian dan cuaca panas di sana membuat pejalan kaki lebih memilih naik kendaraan umum,” jelas Duma.
Belum lagi Adong merespons Duma, kedengaran oleh mereka suara ribut dari dapur.
“Astaga! Aku benar-benar lupa.” Mama Adong.
“Ada apa, Ma?” tanya Adong.
“Mamamu ini tidak membawa andaliman dari rumah, padahal sudah Bapak ingatkan sebelum kita berangkat.” kata Bapak, “bagaimana kita mau membuat naniura dan ikan mas arsik jika andaliman tidak ada?” kata Bapak lagi.
“Andaliman? Apa itu” tanya Duma.
Tak ada yang menjawab Duma entah karena tidak mendengar atau karena semua orang panik. Opung boru datang ke dapur dan memberikan solusi agar ada yang bersedia untuk pergi ke kebun mengambil andaliman.
“Kau tahu kebun opung, kan Adong?” tanya Bapak.
“Tentu, Pak.”
“Nah, pergilah ke sana dan bawakan andaliman itu. Masukkanlah ke botol air mineral ini, ya?” pinta Mama Adong.
Mama Adong melirik ke arah opung yang menunduk. Ia merasa tak tega melihat opungnya yang bersedih.
“Baik, Mama. O, ya, bolehkah aku mengajak Duma ke sana juga?” tanya Adong.
“Boleh, asalkan kalian memakai sepatu dan membawa kotak P3K karena jalan ke sana agak terjal.” kata Mama Adong.
Semua sudah disiapkan oleh Adong di dalam tas kecilnya. Dia mengingatkan Duma juga untuk memakai sepatu.
“Adong, kalian belum menjawab pertanyaanku, andaliman itu apa?” tanya Duma sedikit kesal.
“Astaga, Duma .. andaliman itu bumbu khas Batak yang dipakai untuk membuat ikan mas arsik dan naniura.” Jelas Adong
“Lalu?”
“Apanya yang lalu? Kita harus mencarinya karena mama lupa membawa dari rumah.”
“Di sini tidak ada yang jual?”
“Semua orang yang punya ladang andaliman akan langsung menjualnya kepada pengumpul sehingga tak bersisa, termasuk milik opung.”
“Oh, bagaimana bentuknya? Rasanya?”
“Enak!! Seperti cokelat!” Adong tertawa terbahak-bahak melihat kepolosan Duma. Ia juga bingung bagaimana orang Batak tak tahu bumbu khas Batak.
Adong memimpin langkah mereka menuju ladang andaliman opung. Jalannya sedikit terjal dan bertanah keras. Jaraknya lebh kurang satu kilometer. Adong yang sudah biasa berjalan kaki sangat enteng menapaki langkahnya. Berbeda dengan Duma, Duma anak kota tak biasa berjalan kaki sehingga baru berapa meter saja Duma sudah lelah dan meminta istirahat.
“Ayolah Duma, sedikit lagi sampai,”
“Duh, kamu saja yang pergi, aku enggak sanggup lagi, nih!”
“Uwahhh dasar anak kota. Ayo dong, ini demi opung. Kau tak lihat wajah opung sangat sedih karena mama lupa membawa andaliman. Naniura dan ikan mas arsik adalah makanan kesukaan opung, loh.”
“Iya, iya.”
Benar saja! Beberapa meter ke depan, Adong menemukan kebun andaliman nenek.
“Oh, jadi ini pohon andaliman itu,” kata Duma ,”lalu, di mana andalimannya?”
“Ti….tidak!!” Adong menganga melihat pohon andaliman itu.
“Kau kenapa Adong?”
“Pohonnya masih berbunga! Belum ada buahnya!” Adong tersungkur ke tanah.
“Bagaimana kalau kita mencari ke ladang orang lain, nanti kita bilang saja kepada Opung.”
Adong dan Duma mulai mencari ke kebun orang lain. Namun nihil, mungkin andalimannya sudah dipanen sehingga yang tertinggal hanya sisa-sisa andaliman yang sudah mulai membusuk dan berbau tidak sedap.
Akhirnya Adong dan Duma pulang dengan lemas.
“Mana andalimannya Adong?” tanya Mama
“Maaf, Ma.. Pung,” Adong meneteskan air matanya.
“Namboru, pohon andalimannya masih berbunga, tidak ada buahnya, jadi kami kembali.”
“Oh Tuhan… bagaimana ini? Kemana lagi harus mencari?”
Adong memeluk opung sedih karena tak berhasil mendapatkan andaliman yang diinginkan.
“Sudahlah, tidak apa-apa Adong, mungkin belum waktunya Opung merasakan naniura dan ikan mas arsik tahun ini.” jawab Opung menghibur Adong.
Ulang tahun Opung Uli tetap dirayakan dengan penuh sukacita walaupun tanpa naniura dan ikan mas arsik kesukaannya. Hari esok masih ada, Adong berharap dapat membuat opungnya merasakan makanan kesukaannya di hari bahagianya.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”