Hari Minggu, pukul lima pagi, seusai sholat shubuh di musola, aku segera memasang selang air dan bersiap menyiram tanaman. Sambil bersiul kecil, aku mulai menikmati tugas menyiram tanaman. Terong mulai berbuah, masih kecil-kecil namun rimbun sekali. Cabai juga mulai memerah, selain itu ada tomat, bayam, pokcoy, hingga kacang panjang.
“Wah, anak Ayah nggak tidur lagi?” kata Ayah sambil mengacak-acak rambutku.
“Enggak dong, kapan Afan tidur pagi?”
“Seharusnya kalimatnya diganti Fan, sejak kapan Afan bangun pagi?” Kak Ardan mengejekku sambil tertawa.
Ibu yang baru pulang dari musola juga ikut tertawa. “Sudah Dan, jangan diejek terus adiknya, kamu bantu Ayah saja sana di belakang.”
“Iya Bu,” kata Kak Ardan sambil masuk ke dalam rumah.
Matahari mulai meninggi, sepertinya semua tanaman sudah kusiram. Aku juga sudah mencabuti rumput-rumput liar yang ada. Perutku sudah mulai lapar, entah kenapa bau masakan Ibu selalu menyebar kemana-mana. Ini bau ayam goreng lengkuas, tak salah lagi, pasti ayam goreng lengkuas! Hmm…. Aku sangat menyukainya.
“Bang Afan”
Aku menoleh, ada suara di depan pagar. “Eh, iya Gilang. Ada apa?”
“Kata Ibu, mau minta terong kecil-kecilnya sedikit, buat lalapan.”
“Oh iya, sebentar ya, aku ambil kresek dulu ya,”
“Eh, ini Gilang sudah bawa wadah Bang”, Gilang menyodorkan wadah kecil.
Tanpa ragu kupetik satu persatu terong ungu yang masih kecil namun rimbun tersebut. Sepuluh buah mungkin sudah cukup untuk ibu Gilang.
“Segini cukup?”
“Cukup Bang,” Gilang tersenyum dan berterimakasih padaku.
Saat masuk rumah, kuceritakan hal itu pada Ibu. “Memangnya terong kecil enak dibuat lalapan Bu?”
“Enak Fan, rasanya krenyes-krenyes enak, eh, tapi Afan petik terong yang mana?” tanya Ibu.
Sembari makan belimbing potong yang sudah disediakan diatas meja, aku menjawab dengan santai, “yang ungu kecil-kecil Bu”.
“HAH”
Ibu berlari menuju pekarangan depan, benar seperti dugaannya, buah terong ungu hanya tinggal beberapa saja. Afan sepertinya salah petik, terong yang dipakai untuk lalapan adalah terong buah. Ibu menanamnya di sebelah kacang panjang. Tanaman kacang menutupi terong tersebut.
Walaupun Afan salah memetik terong, tapi Ibu tetap tersenyum dan merasa senang. Kini anaknya tahu, bahwa tidak ada yang sia-sia dengan menanam banyak tumbuhan. Selain membuat udara menjadi sejuk dan asri, sayuran yang ada juga bisa dibagi ke tetangga. Berawal dari lingkungan, tercipta keharmonisan sosial.
“Fan, terong yang buat lalapan bukan yang itu,” kata Ibu sembari tersenyum pada Afan.
“Eh, Afan salah ya Bu? Lalu yang mana Bu?”
“Ayok, ikut Ibu”.
Ibu menunjukkan perbedaan terong buah dan terong ungu, ada juga terong hijau. Jika untuk masakan seperti lodeh, biasanya orang memakai terong hijau. Namun, untuk membuat terong bakar atau balado, banyak yang menggunakan terong ungu karena warnanya yang cantik. Kalau terong buah, dimakan mentah saja sebagai lalapan sudah sangat lezat rasanya.
Afan menganguk tanda mengerti. Jika ada tetangga yang meminta sayuran lagi, Afan akan bertanya dulu pada Ibu agar ia tidak salah mengambil.
“Maaf ya Bu.”
“Ndak papa nak, namanya juga Afan tidak tahu. Yuk bantu Ibu petik sebagian kacang panjang dan terong buah untuk lalapan sarapan.”
Afan tersenyum lebar, jika disuruh memetik tanaman, dia paling bersemangat. “Siap Bu.”
Kak Ardan dan Ayah sudah menunggu di meja makan untuk sarapan. Mereka selesai mencabut singkong dari kebun belakang. Wah, singkong Ayah sangat besar rupanya. Singkong sebesar kaki orang dewasa tergeletak di dapur, menunggu Ibu untuk mengolahnya.
“Wah, besar sekali yah.”
“Kak Ardan menariknya pakai satu tangan lho Fan,” kata Ayah sambil tertawa.
“Pantas saja, sekarang dia sepertinya sangat lapar,” kataku sambil melirik Kak Ardan.
Kami semua tertawa melihat ekspresi lucu Kak Ardan yang memegang perutnya.
Tak lama kemudian, Ibu datang membawa sayuran untuk lalapan yang sudah dicuci bersih. Kini, terhidang aneka sayur dan lauk pauk di meja makan. Ada ayam goreng lengkuas, tempe dan tahu goreng, sayur sop, sambal bawang, serta lalapan timun, kacang panjang juga terong.
Nasihat Ibu dan Ayah benar adanya, jika mau sedikit saja menanam, hasilnya dapat kami tuai untuk ketahanan pangan. Awalnya aku tak mengerti, apa itu ketahanan pangan. Namun, kini aku faham dan keluargaku merasakan manfaatnya.
Ibu pernah bercerita, saat harga cabai sedang melambung mahal, tanaman di rumah justru sedang banyak-banyaknya. Tetangga kiri kanan banyak yang meminta cabai dan Ibu memberikannya dengan sukarela. Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli cabai, dapat digunakan untuk membeli hal lain. Inilah salah satu keuntungan memiliki kebun kecil di rumah. Selain lingkungan menjadi asri, kami juga mendapat sayur dan palawija secara cuma- cuma.
“Ayam gorengnya lezat sekali bu” ujarku sambil mengunyah.
“Makan dulu Fan, baru ngomong, ini Ibu tambah lalapannya,” kata Ibu.
“Kalau banyak makan sayur begini, kita tidak akan gampang sembelit, “ ujar Ayah sambil menyendok sambal.
Kami mengangguk, sarapan kali ini betul-betul terasa nikmat sekali.
“BRAK..BRAK, BRAKKK BRAKKK”
Terdengar suara pagar yang digedor, sepertinya mau dibuka secara paksa. Sejenak kami saling berpandangan. Siapa yang menggedor pintu pagar sedemikian keras?
Kak Ardan berdiri, raut mukanya memerah. “Biar aku yang lihat Bu, tidak sopan sekali.”
Diluar, tampak Bi Minah, tukang sayur langganan kampung sedang berdiri menahan marah.
Kak Ardan baru hendak bertanya, kenapa Bi Minah menggedor pagar kuat sekali, ocehan Bi Minah sudah tak terbendung. “Kalau mau menanam sayur, tanam saja, ndak usah menawari tetangga-tetangga buat mengambil sayuran juga, dagangan saya jadi ndak laku,”
“Bisa Ardan jelaskan ya Bi.”
Suara Bi Minah semakin meninggi, enggan mendengarkan penjelasan Kak Ardan.
Ibu dan Ayah keluar rumah, khawatir emosi Bi Minah tidak terkendalikan.
“Coba duduk sini dulu Bi, jangan marah-marah di depan, kan ngga enak dilihat tetangga,” kata Ibu yang mencoba menenangkan Bi Minah.
Dengan wajah setengah masam, Bi Minah duduk bersama Ayah dan Ibu. Dia menjelaskan, jika banyak warga yang tak lagi membeli sayur mayurnya karena bisa memetik di kebun Bu Lila. Akibatnya, pendapatan Bi Minah menurun.
Ibu dan Ayah memaklumi kemarahannya, “Kalau dagangannya dibanyakin menjual ikan, ayam atau daging bagaimana Bi?
Usulan Ibu diiyakan oleh Bi Minah, tapi masalahnya, berdagang sayuran juga memiliki untung lebih banyak.
“Kalau begitu begini saja Bi, sayuran yang ada di kebun kami, sebagian boleh di beli Bi Minah dengan harga murah, untuk dijual lagi. Seperti kacang panjang yang sekarang hasilnya melimpah ruah,” kata Ayah.
Ketegangan akibat permasalahan ini mulai mencair, Bi Minah sepertinya cukup senang dengan penawaran Ayah.
“Bi Minah kan tidak hanya berjualan di kampung ini, kami juga tidak mungkin melarang para tetangga memetik hasil kebun, karena memang hasilnya berlebih, budaya kita kan saling memberi dan berbagi Bi,” tambah Ayah.
“Jadi kapan mulai bisa dibeli Pak, “ ujar Bi Minah lamat-lamat.
“Sekarang juga boleh”
Bi Minah tersenyum dan menyalami Ayah Ibu. Ia pun berkeliling kebun kecil kami yang rimbun sambil terus saja memuji muji kebaikan hati Ayah dan Ibu. Berbagi dan memberi memang ajaib, jangan pernah lelah berbagi karena kebaikan itu menular dan selalu akan memberikan manfaat bagi orang lain.