Kebun Pembawa Berkat Part 1

Bau ini lagi. Hmm, aku hafal betul aroma yang selalu saja memenuhi seisi rumah. Bukan aku tak suka, tapi belakangan ini, Ibu sering sekali memasak aneka olahan si durian jawa. Aku memang biasa menyebutnya durian, bentuknya sih tidak mirip, tapi baunya itu, sama-sama menyengat hidung.

Sejak pindah ke rumah baru dengan sedikit tanah kosong di belakang rumah, Ibu dan Ayah jadi mendadak berkebun. Kini, segala tanaman dan berbagai buah ada di rumahku. Kata Ibu, untuk ketahanan pangan, setiap rumah seharusnya punya tanaman sayur dan buah. Jadi, tidak perlu membeli, lebih aman pula karena tanpa pestisida.

Namun, aku capek disuruh menyiram tanaman tiap sore. Jika libur sekolah, jadwal menyiram menjadi dua kali, pagi dan sore. Parahnya lagi, Ibu terus menerus mengolah hasil kebunnya jadi camilan ini itu. Alhasil, aku dan kakak jadi jarang memesan pizza, camilan favorit kami.

“Sudah matang sayang,” Ibu menowel pipiku sambil mengerling. Seperti tau bahwa aku akan protes melihat camilan sore ini.

“SUKUN LAGI BUUU” protesku keras.

“Eits, kali ini Ibu mengukusnya dengan kelapa muda. Coba dulu Fan, enak lho. Ayah saja ketagihan tuh, sampai bolak-balik dapur” kata Ibu sembari tersenyum.

Melihat bentuknya, rasanya aku tak ingin mencoba. Apalah ini sukun rebus, makanan para orang tua. Aku pergi ke kebun belakang, mataku terbelalak saat melihat kakak memasukkan satu ember ikan lele kecil ke dalam kolam terpal buatan Ayah.

“Apalagi ini kak?” tanyaku sambil melihat-lihat isi kolam buatan itu.

“Ayah mau memelihara lele,” jawab kakakku, Ardan.

“Ah, Ayah nih, Afan malas ah kalau disuruh ngurusi lele juga. Tanaman Ibu dan Ayah juga tambah banyak. Ini kolam dibawah pohon sukun pula, si lele ketimpa sukun nanti mati lho yah,” protesku tanpa jeda.

Ayah yang duduk di kursi hanya tertawa, memandangi pohon sukunnya yang mulai sering berbuah. “Makannya gampang kok Fan, kalau nasi kamu tidak habis, tinggal kamu buang ke kolam lele ini. Mereka juga suka nasi dan lauk sisa.”

Aku masuk rumah dengan sedikit kesal. Ayah dan Ibu benar-benar keterlaluan. Kenapa mereka jadi suka bercocok tanam seperti orang desa saja? Bukankah lebih praktis membeli? Rasanya pun sudah pasti enak dan bersih.

Aku masih geli membayangkan jus jambu yang kuminum tempo hari. Kak Ardan membuat jus tanpa memotong buahnya. Ibu baru memberi tahu bahwa di jambu biji itu banyak ulat. Ternyata saat jambu biji masih kecil, harus langsung dibungkus plastik untuk mencegah ulat masuk ke dalam buah. Sedangkan Ayah belum tau tentang trik itu.

Kurebahkan badanku di kasur, rasanya nyaman sekali. Sejujurnya bau tanah dan tanaman ini sangat segar. Namun, jika mengingat tugas menyiram yang kini harus kujalani, lebih baik tak usah berkebun saja. Aku rindu main game di sore hari bersama kakak. Kak Ardan sekarang lebih banyak membantu Ayah di kebun belakang, entah apa yang dikerjakannya.

“Fan, mandi gih, habis maghrib, tolong antarkan kue Ibu ke pengajian di rumah Bu Wati,” kata Kak Ardan yang tiba-tiba masuk ke kamarku.

“Sukun bukan?’’

Kak Ardan mengangguk.

“Nggak kuat aku kak, sama bau si sukun itu, kakak ajalah,” ujarku sembari memeluk guling.

Kak Ardan menarik tanganku, “Cepet mandi, nanti pakai masker dua lapis biar tidak bau.”

Sehabis sholat maghrib, aku menaikkan baskom Ibu ke atas sepedaku. Bau sukun matang yang menusuk tidak terlalu terasa karena masker empat lapisku. Berat juga sukun rebus ini, entah berapa buah yang dimasak Ibu.

Rumah Bu Wati hanya berjarak dua gang dari rumahku. Sepanjang perjalanan, banyak bapak – bapak yang menawarkan diri membantuku. Kurasa aku masih cukup kuat menuntun sepeda dengan baskom berisi sukun ini. Tawaran para bapak itu kutolak sambil menggeleng, lalu mengangguk tanda permisi.

Baskom sukun akhirnya sampai di rumah Bu Wati. Seluruh mata seperti memandangku, para Ibu melemparkan senyum ke arahku. Aku mengangguk dengan rasa sungkan dan meletakkan baskom sukun di teras rumah Bu Wati.

“Bilang terimakasih sama Ibumu ya nak, Bapaknya Jasmin suka kiriman sukun rebusnya,” kata seorang Ibu berkerudung hijau kepadaku.

“Ibunya nggak ikut ngaji dek?” tanya ibu yang lain.

“Ikut bu, tadi sedang bersiap-siap,” jawabku.

Ibu berkerudung hijau tadi, tiba-tiba berdiri dan memelukku, “Bu Lila baik sekali nak, punya banyak sayur suka dibagi, punya palawija juga suka dikasih sana-sini. Suami saya kena kanker, nggak mau makan. Pas Bu Lila datang ke rumah bawa sukun rebus, dia senang sekali, lahap makannya.”

Aku mengangguk kebingungan, “Eh iya Bu. Sama sama.”

Dalam perjalanan pulang, kukayuh sepedaku dengan semangat, ternyata kebun Ibu dan Ayah membawa banyak manfaat. Pantas saja mereka senang merawat kebun kecil itu. Selain membuat rumah kami menjadi asri, banyak tetangga yang merasakan manfaatnya. Sayur dan buah juga menjadi kenikmatan bagi orang lain, bukan hanya untuk keluarga kami.

 

bersambung

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar