Karya : Zahrotul Jannah
“Lala! Lala!” Suara si Mbok dari dalam rumah terdengar jelas memanggilku.
“Dalem! Iya, Mbok. Sebentar.” Aku bergegas bangkit dan meninggalkan mainanku di halaman rumah.
“Ada apa, Mbok?” tanyaku ketika telah sampai di hadapan si Mbok.
“Sini duduk! Si Mbok mau ngomong sama kamu.” Si Mbok memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya, aku pun menurut.
“La, seminggu lagi, kan, tanggal satu suro. Kamu tahu, kan, apa yang biasa kita lakukan di tanggal itu?”
“Tahu, Mbok.” Aku menunduk, sudah paham apa yang akan dibicarakan si Mbok. Ia pasti mau menanyakan keinginanku sebelum diruwat.
“Terus, gimana? Apa keinginanmu?”
“Masih sama seperti tahun lalu, Mbok.” Wajah si Mbok langsung berubah ketika aku menjawabnya. Ia terlihat menghela napas panjang.
“Lala, ini ketiga kalinya, loh, Lala mau diruwat. Bisa enggak kalau keinginannya diubah? Lala pengen apa nanti si Mbok beliin. Mainan baru, kalung emas, sepeda, atau apa?”
Aku menggeleng sedih. Si Mbok terlihat lebih sedih lagi.
“Memangnya Lala mau rambut gimbalnya tumbuh lagi? Lala enggak bosen dikatain temen-temen terus?”
Aku menggeleng lagi.
“Harusnya Lala yang nanya sama si Mbok. Memangnya si Mbok pengen rambut gimbalku tumbuh terus? Memangnya si Mbok nggak bosen lihat aku diledekin temen-temen?” Aku berkata sambil menatap mata si Mbok. Ia memalingkan muka, nampak berpikir.
“La. Si Mbok, tuh, sayang banget sama Lala. Si Mbok enggak mau Lala sakit-sakitan terus. Jadi, rambut gimbalnya harus dipotong.” Si Mbok mengelus rambut gimbalku yang semakin panjang.
“Lala mau, kok, dipotong.”
“Tapi, permintaan Lala terlalu berat buat si Mbok.”
“Berat gimana si, Mbok? Itu, tuh, si Ariyani anaknya Pak Minto. Tahun lalu minta dibelikan kalung emas sebelum diruwat. Padahal Pak Minto, kan, cuma pemulung. Jadi mereka harus bersuaah payah mencari uang supaya bisa beli kalung emas. Sementara aku, enggak minta dibeliin apa-apa, kok, Mbok. Si Mbok nggak perlu susah payah cari uang. Harusnya, kan, mudah.” Protesku panjang lebar. Si Mbok hanya diam. Tapi aku tahu, di matanya ada kekecewaan.
Aku tidak mengerti. Kenapa permintaanku yang sederhana ini susah sekali si Mbok kabulkan. Aku tidak meminta barang-barang mahal seperti kebanyakan anak-anak gimbal lain. Aku juga tidak meminta sesuatu yang aneh dan sulit didapatkan.
Sudah dua kali rambut gimbalku dipotong. Tapi terus tumbuh lagi karena si Mbok tidak bisa memenuhi keinginanku.
***
Pagi ini aku bangun kesiangan, akibatnya aku jadi terlambat ke sekolah. Karena malu, aku memilih untuk tidak berangkat sekalian.
Aku heran, ke mana si Mbok? Bisanya ia tak pernah terlambat membangunkanku. Saat kucari di kamarnya, aku mendapati Mbak Sanah, kakak perempuanku, sedang memijat kaki si Mbok yang terbaring di ranjang.
“Si Mbok kenapa?” bisikku.
Mbak Sanah malah melotot. Lalu ia beranjak dan menarikku ke luar kamar.
“Gara-gara kamu si Mbok jadi sakit,” kata Mbak Sanah marah.
“Memangnya aku ngapain?”
“Si Mbok menangis semalaman. Si Mbok, tuh, pusing mikirin gimana caranya ngabulin keinginan kamu. La, kamu ngertiin si Mbok, dong! Apa susahnya, sih, mengganti keinginanmu?”
“Tapi, aku cuma–,”
“La! Si Mbok, tuh, sayang banget sama kamu. Si Mbok nggak mau kamu sakit-sakitan lagi. Jadi tahun ini rambut kamu harus dicukur.”
Ucapan Mbak Sanah membuatku terdiam. Mataku mulai memanas seiring dengan hidungku yang mulai basah.
“Nggak usah nangis!” ucap Mbak Sanah lagi yang membuatku justru tak kuat membendung air mata.
Aku berlari ke luar rumah. Aku tidak mau si Mbok semakin pusing melihatku menangis. Mbak Sanah memanggil-mangilku. Tapi, aku tidak peduli dan terus berlari.
Kakiku kelelahan saat telah tiba di Candi Arjuna. Aku duduk dan menyandarkan tubuh di sisi candi. Kuhapus air mataku dan mulai berpikir.
Apa aku salah?
Tanpa kusadari aku telah tertidur cukup lama. Saat aku terbangun, langit mulai gelap. Perutku terasa pedih. Aku baru ingat, sejak pagi belum makan apapun. Aku jadi menyesal, karena kabur sebelum makan.
Kupandangi sekeliling. Tak ada seorang pun. Ingin pulang, tapi takut. Kalau tidak pulang, juga takut. Aku meringkuk sendirian, tidak tahu harus berbuat apa.
“Lala! Lala!” Suara seseorang yang kukenal menghentakkanku. Aku segera bangkit dan mencari asal suara itu.
“Si Mbok!” teriakku sambil berlari memeluknya.
“Ma’afin Lala, Mbok. Rambut Lala nggak dipotong juga nggak papa. Si Mbok nggak usah khawatir.”
“Sudah, sudah! Lihat siapa yang datang.” Si Mbok memberi isyarat agar aku melihat ke belakangnya.
“Bapak!” Mataku melebar seketika.
Bapak menghampiriku dan memelukku erat penuh kasih sayang.
***
Hari yang dinantikan masyarakat Dieng tiba, tanggal satu suro. Saatnya dilakukan ruwatan dan pemotongan rambut gimbal.
Tahun ini, ada sepuluh anak yang akan dipotong rambutnya. Aku termasuk salah satunya. Kami menggunakan pakaian putih dengan jarik dan ikat kepala yang juga berwarna putih.
Semua anak gimbal dikumpulkan di rumah ketua adat untuk kemudian bersama-sama pergi ke kompleks Dharmasala untuk dilakukan prosesi jamasan. Kami menaiki delman untuk sampai di sana, diiringi warga masyarakat yang menonton.
Prosesi jamasan dilakukan dengan mencipratkan air yang berasal dari sendang sedayu kepada anak-anak gimbal menggunakan seikat dedaunan. Kata si Mbok untuk mensucikan diri.
Lalu kami digiring menuju candi Arjuna untuk dilakukan pemotongan rambut gimbal. Setelah rambut gimbal dipotong, kami percaya bahwa segala kesulitan akan hilang. Asalkan permintaan setiap anak juga terpenuhi.
Sesuatu yang hangat mengaliri hatiku saat kupandang Bapak dan si Mbok duduk berdampingan. Dari awal hingga selesai ruwatan, mereka tak pernah jauh dari sisiku.
Aku yakin rambut gimbalku tak akan tumbuh lagi, karena keinginanku sudah terpenuhi. Bapak dan si Mbok bersama lagi. Ya, itu saja.
Kata si Mbok kalau aku marah dengan temanku tidak boleh lebih dari tiga hari. Tapi aku tak mengerti kenapa Bapak dan si Mbok marahannya lama sekali. Bukankan keinginanku untuk mereka kembali bersama tidak susah?
(Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba cipta cerpen anak paberland 2024).