Keistimewaan Kecambang Tetedung

Hari raya tinggal beberapa hari lagi, Ninek Jantan (kakek) dan Ninek Betine (nenek) berencana akan membuat kecambang atau ketupat. Dalam suku Rambang, kecambang merupakan ketupat.  Di kotaku Prabumulih, Sumatra Selatan, biasa membuat kecambang tetedung sebagai hidangan hari raya. Kecambang biasanya terbuat dari daun tetedung atau setedung yang merupakan nama lokal dari tumbuhan yang termasuk ke dalam keluarga pandan. Daun tetedung atau setedung lebih besar dan kokoh dari pandan biasanya. 

Selepas salat Subuh, aku akan ikut Ninek Jantan ke pekarangan belakang rumah. Alhamdulillah, langit nampaknya cerah, terlihat matahari pagi yang mulai muncul dari arah timur. Ninek Jantan membawa celurit sebagai alat untuk mengambil daun tetedung. 

Payo, Deni, milu Ninek ngambek daun tetedung di belakang (ayo, Den, ikut Kakek ambil daun tetedung di belakang).” Ninek jantan berjalan keluar dari rumah sambil menenteng celurit yang masih terbungkus sarungnya. 

Pekarangan rumah Ninek Jantan cukup luas, banyak tanaman-tanaman yang ditanam oleh Ninek Jantan dan Ninek Betine. Tanamannya seperti pisang, sawo, jambu air, jambu biji, kelapa, dan masih banyak lagi. Apabila musim berbuah kami cucu-cucunya suka sekali mengambil dan memakannya bersama-sama. 

Ao, Nek (Iya, Kek),” jawabku sambil berjalan mengikuti Ninek Jantan

Kebile Kakang dengan balek? Lah nak lebaran pule ini, dek kenade dek balek duson (kapan Kakakmu pulang? Sudah mau lebaran pula ini, nggak mungkin nggak pulang ke dusun).” Ninek Jantan menanyakan Kakakku yang kuliah di Bandar Lampung. 

Ujinye balek, Nek, ahi ni. Naek sepur pagi (Katanya pulang, Kek, hari ini. Naik kereta pagi),” jawabku. 

Ninek Jantan dan aku terus berjalan hingga sampailah di pekarangan belakang tepatnya di depan tanaman tetedung. Ninek Jantan langsung mengambil daun tetedung menggunakan parang. Puluhan lembar daun yang diambil. Kata Ninek Jantan mau membuat kecambang dalam jumlah yang agak banyak. 

Di pekarangan belakang ini juga terdapat pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi. Buahnya hijau-hijau masih muda. Sepertinya nikmat sekali berbuka puasa dengan es kelapa muda. Aku tiba-tiba teringat biasanya ketupat juga terbuat dari daun kelapa. 

Nek, ngape kite dek buat kecambang ni dari daun kelape bai (Kek, kenapa kita nggak buat ketupat dari daun kelapa saja)?” tanyaku penasaran. 

Wong kite ni dah biase buat kecambang dari tetedung. Daun tetedung ni istimewa, lebih ilok dari daun kelape. Dek cepat basi, lebih wangi aroma pandan, dan hasenye lebih lemak. Endung dengan seneng nian makan kecambang tetedung ni (Orang kita ini sudah biasa buat ketupat dari tetedung. Daun tetedung istimewa, lebih bagus dari daun kelape. Tidak cepat basi, lebih wangi aroma pandan, ngan rasenye lebih enak. Ibumu suka sekali makan ketupat tetedung ni).” Jelas Ninek Jantan padaku.

Aku mengangguk-angguk. “Oh, ao, Nek. Memang Endungku senang nian makan kecambang tetedung ni, Bapang juge (Oh, iya, Kek. Memang Ibuku suka sekali makan ketupat tetedung ini, Bapak juga).” 

Ngape, Den, dengan nak buat kecambang daun kelape? Kalu nak buat, lajulah, kakgi Ninek ambekkan daunnye (Kenapa, Den, kamu mau buat ketupat daun kelapa? Kalau mau buat, boleh, nanti Kakek ambilkan daunnya).” 

“Boleh, Nek? Galaklah aku, sekalian aku juge nak belajah buat kecambang tetedung. (Boleh, Kek? Maulah aku, sekalian juga mau belajar buat ketupat tetedung)” Aku senang sekali saat Ninek Jantan menawariku untuk membuat ketupat daun kelapa juga. Aku penasaran sekali bagaimana rasanya, apakah sama enak. 

Ao, Ninek ambekkan dulu (Iya, Kakek ambilkan dulu).” Ninek Jantan langsung memanjat pohon kelapa dengan lihai. Meskipun sudah tua, tapi Ninek Jantan masih gagah sekali. 

Daun kelapa sudah diambil. “Payo, Deni, kite ke depan lah selesai ini. Pacak kite bikin kecambang, besok dimasak bagi-bagi dulur. (Ayo, Deni, kita ke depan sudah selesai ini. Bisa kita buat ketupat, besok dimasak bagi-bagi ke keluarga.)” Ninek Jantan membawa sebagian besar daun tetedung, sisanya aku yang membawa. 

Setiba di depan, Ninek Jantan menaruh daun tetedung di teras. Ninek Betine sudah menunggu untuk memulai membuat kecambang bersama-sama. Aku ikut duduk di dekat kakek dan nenek. Mereka mengajariku bagaimana cara menganyam ketupat. Kali ini bentuknya sama seperti ketupat daun kelapa pada umumnya, namun ukurannya lebih besar. Satu buah kecambang bisa untuk dimakan satu keluarga. Besar sekali bukan? 

*** 

Keesokan harinya tepat sehari sebelum idul fitri, Ninek Jantan dan Ninek Betine serta anak cucu berkumpul membuat hidangan khas lebaran, yaitu opor ayam, rendang daging, sambal ati kentang, dan bintang utamanya adalah kecambang tetedung. Di rumahku, Endung juga memasak tekwan dan pempek. Tak lengkap rasanya jika tanpa kedua menu tersebut. 

Aku dan sepupu-sepupuku turut membantu memasak. Kami memantau panci besar yang merebus kecambang dengan menggunakan kayu bakar. Saat direbus wangi aroma kecambang yang terbuat dari daun tetedung menyebar ke mana-mana. Membuat kami tidak sabar untuk segera menyantapnya, tapi buka puasa masih beberapa jam lagi. 

Sembari menunggu kecambang matang, kami bermain tapi jangan sampai kelelahan. Kalau kelelahan nanti kami malah buka puasa lebih dulu. Waktu terus berjalan, kecambang tetedung tetedung dan daun kelapa–buatanku–sudah matang. Begitu pula dengan lauk-lauknya. Ninek Betine dan Bibiku sedang mengemas lauk dan kecambang untuk dibagikan ke saudara-saudara. 

Alhamdulillah, waktu berbuka tiba! Kami berbuka puasa bersama di rumah Ninek Jantan dan Ninek Betine. Menyantap kecambang tetedung dan opor ayam, nikmat sekali. 

Lemak nian makan kecambang same opor ngan sambal kentang! (Enak sekali makan ketupat sama opor dan sambal kentang!)” 

 

Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024

Sumber gambar :resepkoki

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar