KEKIBANG TEATER SAWAH

KEKIBANG TEATER SAWAH

Oleh: Janti Respati Ekoyani

Di sore hari pertengahan September, anak-anak masih asyik bermain layangan di sawah yang kering. Mereka sudah cakap memanfaatkan tiupan angin yang cukup kencang di musim kemarau. Sawah desa ini adalah sawah tadah hujan. Sehingga tak ada aktivitas bertani saat ini. Para petani biasanya beralih mata pencarian menjadi buruh keruk pasir sungai yang sedang surut airnya. Pudin beserta Piah, adik perempuannya turut bermain layangan. Piah memegang gulungan benang, sedang Pudin yang mengendalikan layangan. Ada banyak anak yang bermain di sana. Musim layangan tahun ini sangat ramai.

“Gerimis!” seru Suhai, salah satu teman Pudin.

Seruan itu menjadi aba-aba bagi semua anak untuk menghentikan permainan dan secepatnya pulang. Mereka berangsur meninggalkan area sawah kering. Pudin dan Piah juga bergegas pulang. Bermain layangan di tempat lapang seperti sawah kering bisa menjadi berbahaya bila sudah memasuki musim hujan. Jika ada petir maka dapat tersambar. Hujan mulai deras saat mereka sudah tiba di rumah.

“Syukurlah kita sudah sampai Kak,” kata Piah

“Iya untung tak begitu basah pakaian kita,” jawab Pudin.

“Alhamdulillah, musim hujan tiba!” seru Ibu.

“Kita akan bertani padi kembali!” sahut ayah.

“Mudah-mudahan malam ini hujan lebih lebat hingga sawahnya basah,” pinta ibu.

Musin kemarau tahun ini lebih panjang hingga tanah di sawah sangat kering dan retak. Musim hujan menjadi pengharapan bagi petani padi di sawah.

Keesokan harinya usai sekolah, Pudin dan dua orang temannya pergi ke pondok di tengah sawah. Tampak para petani sudah mulai membajak sawah dan sebagian menyemai benih padi di ladang semai dekat sawah.

“Kita singgah dulu di pondok sawah kami!” pinta Pudin.

Mereka nengambil dua boneka sawah yang disimpan di sana. Boneka sawah itu dikenal dengan sebutan Kekibang. Setiap musim kemarau, kekibang dilepas untuk disimpan di pondok agar awet. Saat musim tanam dan padi mulai berbulir, kekibang akan dipasang kembali di sawah untuk menghalau hama burung. Sebelum masa itu, kekibang akan dijadikan properti dalam ajang penampilan teater sawah oleh anak-anak petani di desa. Petunjukan ini ditampilkan oleh beberapa kelompok anak petani. Mereka secara bergantian menampilkan lakon dari cerita rakyat yang ada di daerah ini. Cerita si Pahit Lidah dan kisah si Dayang Rindu sering ditampilkan. Tak jarang juga cerita si Pandir dan Puyang Pekik Nyaring. Rupanya anak-anak masih menggemari lakon-lakon tersebut.

Teater sawah ini mulanya hanya menjadi permainan seorang anak petani di sawahnya sendiri. Saat kekibang sudah dipasang ia menggerakkan tali kendali dari pondok di tengah sawah.  Karena semakin banyak yang mencoba akhirnya menjadi ajang pertunjukan di tepi persawahan dan disaksikan orang yang berlalu lalang. Awalnya satu kekibang dimainkan serupa monolog akhirnya menjadi beberapa kekibang yang dikendalikan beberapa anak seperti drama.

“Masih ada berapa Kekibangmu?” tanya Rukin.

“Masih ada dua” jawab Pudin.

Pudin mengambil salah satu kekibang untuk dipasang dan dimainkan. Tapi…

Kreeeekkk!

“Wah patah!”

“Ternyata sudah sangat usang dan rapuh,” keluh Pudin.

“Bagaimana mau tampil bermain jika hanya ada satu!” sela Suhai.

“Pinjamlah kekibang dari pondok sawah Rukin saja biar cukup!” pinta Pudin.

“Maaf, tapi aku sudah bergabung dengan Marbun, kami mulai berlatih lusa,” jawab Rukin.

“Baiklah, tak apa-apa, kukira kamu belum punya kelompok,” timpal Pudin.

“Tapi aku bisa membantu kalian membuat kekibang!” seru Rukin.

“Tentu kita buat yang baru saja!” Suhai menanggapi dengan semangat.

Mereka mulai mencari bambu, kayu, tali, daun pandan, dan jerami sisa panen tahun lalu. Tiap tonggak penopang terbuat dari kayu yang padat. Sedangkan badan kekibang dibuat dari bambu. Dipilih bambu karena tengahnya yang berlubang jika dipasang pada tonggak kayu memungkinkan gerakan memutar ke kanan dan ke kiri. Lengan-lengannya dari bilah bambu yang dipasang menembus bagian badan atas dari sisi satu ke sisi yang lain. Sedangkan jerami yang dibuat gumpalan dijadikan isi badan dan kepala kekibang. Saat pertunjukan biasanya ada properti tambahan seperti rangkaian bunga atau aksesoris alami yang dipasang pada kekibang.

Menjelang sore, dua kekibang pun selesai dirakit. Pudin mencari kain sarung dan baju usang yang tak lagi dipakai untuk pakaian kekibang. Satu kekibang rambutnya dibuat panjang dari jerami yang diikat dan mahkotanya dibuat dari anyaman daun pandan. Kiranya kekibang itu adalah sosok karakter perempuan. Sedang satu kekibang lainnya dibuat pendek rambutnya yang merupakan sosok karakter laki-laki. Walaupun sangat sederhana namun kekibang-kekibang itu menjadi bagus untuk dimainkan. Keterampilan sang dalang lah yang paling menentukan menariknya sebuah pertujukan teater sawah.

“Ah, akhirnya bisa bernapas lega!” seru Pudin.

“Ya, dua kekibang sudah siap ditampilkan!” balas Suhai.

“Terima kasih Rokin sudah mau bantu’” kata Pudin.

“Iya sama-sama,” balas Rukin.

“Besok aku akan mencatat kelompok-kelompok teater sawah yang akan tampil,” kata Rukin.

“Artinya mulai lusa kita akan berlatih setiap hari usai sekolah,” balas Pudin.

Hari mulai petang dan mereka pulang ke rumah masing-masing.

Usai beribadah, Pudin memikirkan lakon yang akan dimainkan untuk pertunjukan nanti. Ia mencarinya dari buku cerita. Namun ia terlihat bingung. Piah datang menghampiri.

“Kakak mau melakonkan apa nanti?” tanya Piah.

“Kakak masih bingung Dik, semua bagus.”

“Bagaimana kalau Sang Penyemang saja,” usul Piah.

“Ide yang bagus Dik, lakon itu jarang ditampilkan. Itu cerita jenaka.”

“Iya, cerita itu pasti akan membuat semua orang tertawa dan sangat terhibur,” kata Piah

“Terima kasih, Kakak yakin itu akan menjadi lebih seru!”

Pudin makin bersemangat berkat ide adiknya. Beberapa hari ini ia dan teman-temannya mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk teater sawah kelompoknya.

Hari pertujukan bagi Pudin dan kelompoknya pun tiba. Mereka memasang kekibang dan kelengkapannya. Kekibang dipasang berdekatan membentuk formasi tertentu. Satu kekibang dikendalikan oleh satu anak dari jarak tertentu. Piah turut membantu kakaknya. Anak-anak dari kelompok lain datang sebagai penonton. Mereka mengitari para pemain yang tampil. Lakon sang Penyemang disajikan dengan sangat apik. Gelak tawa penonton pun pecah dan diakhiri dengan tepuk tangan yang meriah. Pertunjukan teater sawah digelar anak-anak dengan penuh suka cita.

(Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024)

Bagikan artikel ini:

5 pemikiran pada “KEKIBANG TEATER SAWAH”

Tinggalkan komentar