KELAPA, GURITA, DAN ORANG-ORANG DI DESA KERETAK (Cerita Rakyat dari Bangka Belitung)

Alkisah, di suatu desa di Pulau Bangka, hiduplah sekelompok masyarakat yang hidupnya tenteram dan rukun. Mereka hidup jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. 

Sebagaimana orang-orang jaman dahulu, pekerjaan sehari-hari mereka ialah bercocok tanam di ladang. Mereka menanam berbagai tanaman untuk dimakan dan dijual ke desa sebelah. Mereka juga kompak menanam pohon kelapa dengan tujuan mendapatkan hasil yang melimpah ruah dari buah kelapa yang serbaguna itu.

Sayang, pohon-pohon kelapa yang mereka rawat dengan sepenuh hati itu tak kunjung berbuah. Meski sudah tiba waktunya. Jangankan buah, bakal putiknya saja tak kelihatan.

“Bagaimana ini, sudah bertahun-tahun pohon kelapa kita tak kunjung berbuah? Apa kita tebang saja? Lumayan bisa makan umbut kelapa,” celetuk Pak Udak di tangannya tergenggam sebilah parang. Ia telah mengambil ancang-ancang untuk menebang pohon kelapa di depannya.

“Kita tunggu saja lah dulu. Barang kali ada keajaiban,” tegas Mang Yen. Setelahnya ia sibuk memakan buah kenudek yang sedari tadi dikantonginya.

“Ahh, lama niyan. Keburu musim kemarau,” gaduh suara orang-orang. Mereka berharap sebelum musim kemarau sudah menyiapkan banyak buah kelapa. Supaya airnya dapat dikonsumsi sebagai pelepas dahaga dan tentu saja dapat dijual.

Maka ributlah para lelaki. Sebagian tetap bersikukuh menunggu berbuah, sebagian lainnya bersikeras ingin menebangnya. 

Lama niyan perdebatan mereka, hingga petang menjelang dan orang-orang itu pun pulang seorang-seorang. Meninggalkan daun-daun kelapa yang bergoyang-goyang tertiup angin petang, serta umbut-umbut kelapa yang semakin tua menghuni kedalaman tanah. Menunggu untuk dikeruk dengan paling sabar. 

Waktu berlalu, meski tak sampai berbulan-bulan. Orang-orang desa masih tetap mempertahankan pohon-pohon kelapa, yang masih saja tak berbuah. Mereka berdoa semoga secepatnya pohon-pohon kelapa berbuah. Sebab, mereka mulai putus asa. Musim kemarau sudah di depan mata, sedang tidak mudah untuk menggali sumur lebih dalam. Pun beberapa sungai akan sedikit mengering. 

Suatu ketika, tatkala orang-orang, tua muda, laki-laki perempuan, sedang berkumpul di tengah-tengah lapangan, usai memanen sagu rumbia. Tiba-tiba mereka kedatangan laki-laki asing. Laki-laki itu memperkenalkan diri sebagai seorang tengkulak ikan dari Sungai Selan. 

Sungai Selan masih berada di wilayah Pulau Bangka. Dan memang dekat dengan pantai. Kedatangan laki-laki asing itu pun disambut oleh masyarakat desa. Keakraban pun terjadi. Terlebih laki-laki asing itu memberikan beberapa hasil tangkapan laut, seperti ikan, udang, cumi-cumi, dan gurita. 

“Terima kasih, tuan tengkulak,” tutur Mang Yen menerima pemberian si laki-laki asing. Namun, wajahnya terlihat murung.

“Apakah Mamang tak menyukai pemberianku? Tampaknya muram sekali wajah Mamang-mamang dan  Cik-cik di sini,” selidik si laki-laki asing. Dipandanginya satu per satu wajah orang-orang di hadapannya.

“Betul lah tuan. Kami memang sedang tertimpa masalah pelik. Pohon-pohon kelapa tak kunjung berbuah. Sedang sumur kian mengering,” keluh Pak Udak. 

“Oh, begitu. Aku paham sekarang. Maukah kalian mendengarkan saranku?” ujar si laki-laki asing. 

“Begini, coba kalian tempelkan keritak di setiap pohon kelapa. Niscaya berbuah lah dia!” perintahnya dengan percaya diri. Adapun yang dimaksud keritak adalah gurita.

Maka tanpa keraguan, orang-orang desa mulai menempelkan gurita di setiap pohon kelapa. Ajaibnya, tak lama berselang pohon-pohon kelapa mulai berbuah, bahkan berbuah dengan sangat lebat. Orang-orang desa bergembira. Mereka tak jadi kesusahan di kala kemarau kelak.

Kemudian, sepeninggal si laki-laki asing, tetua desa bersepakat untuk menamakan desa mereka sebagai Desa Keretak, alias desa gurita. 

Hingga saat ini pohon-pohon kelapa di Desa Keretak selalu berbuah lebat. Kebetulan pula bila diperhatikan denah Desa Keretak seolah-olah menyerupai bentuk gurita. 

Tamat

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar