Sore hari ini, Maya dan ibunya sedang duduk di ruang tamu. Tepat di belakang bangku, terdapat kain batik yang digantung pada kayu panjang.
Kain batik yang berwarna cokelat itu adalah milik Ibu Maya. Motifnya sangat cantik. Ibu menyayangi dan merawat kain batik itu sepenuh hati.
Kain batik itu dipajang agar selalu mengingatkan pada Nenek mereka. Ibu Maya bilang, kain itu dibuatkan oleh Nenek. Nenek Maya adalah seorang pembatik.
“Apa Ibu pernah membuat kain batik?” tanya Maya.
“Tidak.”
“Lho, kenapa, Bu?”
“Nenek pernah menyuruh ibu untuk belajar membatik, tetapi ibu memilih belajar menari,” jawab Ibu Maya sambil melihat kain batiknya.
Ibu Maya melanjutkan ceritanya. Ketika Ibu Maya masih remaja, dirinya selalu menolak ajakan Nenek untuk belajar membatik. Ibu Maya lebih memilih belajar menari karena lebih menyenangkan. Hanya kakaknya, Bulek Turi, yang menjadi pembatik sampai saat ini.
Baiknya, Nenek selalu mendukung Ibu Maya belajar menari. Sebab menari juga kegiatan indah karena melestarikan budaya saat itu. Itulah mengapa, Ibu Maya selalu menyayangi kain batik pemberian Nenek. Ia juga ingin menghargai dan mencintai karya Nenek Maya.
Maya kagum mendengar kisah Ibu dan Neneknya yang sangat peduli budaya Indonesia. Ia memegang lembut kain batik yang ada di belakangnya.
Hachi! Kain batik itu sudah sangat berdebu. Maya jadi bersin-bersin. Lalu, Ibu Maya segera mengeceknya juga. Entah berapa lama kain batik itu tidak dicuci. Kain itu langsung dicuci dan dijemur saat itu juga.
Keesokannya, Maya sedang bersiap berangkat sekolah. Ibu, Ayah, dan Maya sarapan bersama. Di saat itu juga, Ibu Maya teringat jika kain batiknya masih dijemur di luar. Ia berniat mengambilnya nanti.
Maya berangkat sekolah bersama temannya, Gita. Belum terlalu jauh mereka berjalan kaki, Gita mengingatkan sesuatu. Ia bertanya apakah Maya telah membawa kain batik untuk tugas prakarya. Yang ternyata, Maya lupa membawanya.
Maya berlari kembali ke rumah. Namun, ia tidak memiliki banyak waktu untuk mencari di dalam rumah. Ibunya juga bisa marah apabila Maya mendadak lupa tentang tugasnya. Alhasil, Maya mengambil kain batik kesukaan ibunya di jemuran. Ia langsung berlari kembali ke sekolah.
“Fyuhh! Hampir saja aku terkena hukuman jika tidak membawanya,” ucap Maya lega.
Maya mengerjakan tugas prakaryanya membuat tempat pensil dengan bahan kain batik itu. Awalnya, Maya takut ibunya akan marah. Namun, ia juga takut bila tidak segera menyelesaikan tugasnya.
Tiba pulang sekolah. Maya melihat ibunya termenung di ruang tamu. Maya mengerti jika ibunya khawatir sebab kain batiknya hilang. Dengan berani, ia mengatakan yang sejujurnya.
Tentu saja, Ibu Maya sangat marah dan sedih. Kain batik miliknya tinggal setengah. Ia sempat meneteskan air mata pada kain batiknya. Maya meminta maaf atas kesalahannya. Maya sungguh menyesal.
Ibu Maya memaafkan Maya dan berterima kasih karena sudah berani jujur. Tetapi, tetap saja Maya merasa bersalah. Maya bergegas pergi ke rumah Bulek Turi. Ia adalah seorang pembatik sama seperti Nenek.
Sambil menangis, Maya menceritakan masalahnya ke Bulek Turi. Mendengarnya, Bulek Turi pun menenangkan Maya. Dirinya berjanji hari ini akan membantu Maya membuatkan kain batik pengganti milik ibunya.
Bulek Turi mempersiapkan alat dan bahan sederhana. Sebab, ini pertama kali Maya belajar membatik. Mula-mula Maya diajarkan untuk memegang canting. Ia juga diingatkan untuk selalu berhati-hati dengan cairan batik yang disebut dengan cairan malam. Cairan itu panas dan digunakan seperti pewarna untuk menggambar motif.
Setelah itu, Maya mulai dituntun membuat motif sederhana menggunakan canting. Maya sangat senang membuat motifnya karena sama seperti sedang menggambar.
Setelah motifnya terbuat, Bulek Turi menanyakan warna kain batik apa yang diinginkannya. Dengan lantang Maya menjawab, “Cokelat!”, sesuai warna kain batik milik ibunya.
Dibantu dengan Buleknya, kain batik itu diwarnai cokelat. Maya takjub melihat kain batik buatannya yang tak kalah bagus. Bulek Turi juga bangga atas hasil karya Maya.
Sedihnya, Maya tak bisa membawa kain batik ini sekarang karena harus dijemur. Bulek Turi bilang paling cepat besok sore Maya bisa mengambilnya. Maya menurutinya. Yang penting kain batiknya jadi. Ia mengucapkan terima kasih kepada Bulek Turi untuk bantuannya hari ini.
Saat malam tiba, Ibu Maya tetap terlihat lincah menyiapkan makan malam. Sama seperti hari-hari biasanya yang lincah. Namun, wajahnya masih terlihat sedih. Maya semakin tidak sabar ingin memberikan kain batik buatannya besok.
Keesokan harinya, Maya pulang sekolah langsung ke rumah Bulek Turi. Dirinya sangat tidak sabar. Sayangnya, kain batik itu belum terlalu kering. Maya harus menunggu lagi. Sembari menunggu, Maya diajak membantu Bulek Turi membatik dengan tugas yang ringan tentunya. Sehingga Maya merasa senang dan tidak bosan di sana.
Sampai sore hari, Bulek Turi pun memberikan kain batik buatan Maya. Maya berterima kasih lagi dan bergegas pulang. Ia ingin segera memberikan kain batik itu kepada ibunya.
“Ini, kain batik buatan aku kemarin, Bu.”
“Ya, ampun, sayang. Ini indah sekali! Bagaimana Maya membuatnya?”
“Kemarin, Maya membuatnya bersama, Bulek Turi.”
“Terima kasih banyak, Maya. Ibu bangga dengan mu, Nak.”
Ibu Maya memeluk anaknya sembari memegang kain batik baru itu. Ia tidak menyangka anaknya akan membuatkannya kain batik. Ibu Maya sangat terharu dan bahagia. Kini, kain batik buatan Maya dipajang di ruang tamu. Lalu, kain batik buatan Nenek yang sisa setengah disimpan.
Maya pun menceritakan pengalaman asyiknya ketika membatik. Batik adalah karya indah budaya Indonesia. Pembuatannya sepenuh hati, hasilnya juga sangat cantik. Maya ingin terus belajar membatik. Ia ingin melestarikan karya budaya Indonesia.
“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”