“Fitra, kebetulan kalian kemari. Besok malam ada festival Kentongan di Jalan Sudirman depan Kabupaten,” kata Mbah Kung.
“Kentongan itu, kan cuma mukulin kentongan. Apa serunya, Mbah?”
“Oalah Le … Fitra belum pernah nonton, ya? Memang mukul-mukul kentongan, tapi beberapa kentongan dengan ukuran berbeda, jika dipukul dengan nada tertentu bisa menghasilkan irama bunyi yang bagus.”
“Memang bisa, mbah?” tanya dik Icha.
“Musik Kentongan itu terdiri dari beberapa ukuran kentongan yang tadi Mbah Kung katakan. Ditambah angklung, gendang dan calung, menghasilkan musik seperti sebuah Band.”
“Wah asyik Mbah,” kata dik Icha kagum.
Malamnya, kami jalan-jalan ke alun-alun sambil mencari tempat untuk nonton festival besok malam. Sebelum ke alun-alun kami makan soto khas Purwokerto. Orang sini bilangnya sroto. Di situ juga jual mendoan, asyik. Mino makanan khas Purwokerto juga ada. Mino adalah Nopia bentuk kecil. Kependekan dari Mini Nopia. Pastinya, Nopia juga dijual di situ.
“Bun, mendoannya rasanya beda sama yang di Jakarta, ya?”
“Tempenya kan beda, Fit. Bumbunya juga nggak sama.”
“Memang tempenya dari apa?”
“Ya dari kedelai, cara pembuatannya sama. Tempe dibuat tipis, setebal satu kedelai, dan dibungkus daun pisang. Itu memang tempe khusus untuk mendoan dan kripik.”
“Berarti nggak usah diiris ya? Bun, pulang beli tempe mendoan sekalian bumbunya kalau ada. Nanti digoreng di rumah. Biar makannya puas.”
“Kamu suka to, Le? Nanti Mbah Ti pesenin.”
“Nggak usah Bu, sampe sana busuk. Eman-eman,” sergah Bunda.
“Beli yang mondol, sampai sana mateng, tinggal nggoreng. Diangin-angin sampai dingin, baru masuk kulkas.”
“Mondol? Tempe apa itu?” tanyaku heran.
“Mondol itu setengah mateng. Belum jadi – eh – hampir jadi tempe, sampai sana sudah jadi,” jelas Mbah Ti.
Bunda mengangguk, aku dan dik Icha tersenyum lebar. Kemudian, Bunda menjelaskan tentang mendoan dan kripik. Mengapa disebut mendoan karena digoreng tidak sampai kering. Makanya harus segera dimakan, dan enaknya memang selagi hangat. Berlawanan dengan kripik yang digoreng hingga kering, jadi tahan lama.
Setelah makan, kami mengitari alun-alun. Mbah Kung bilang, “besok pertunjukan kenthongan di gelar di situ,” katanya sambil menunjuk pendapa berbentuk Joglo.
Kami mau mampir sebentar di mall seberang alun-alun, tapi dik Icha sudah lelah dan ngantuk, kami lalu pulang.
Paginya, sehabis sarapan, kami, aku, ayah dan Mbah Kung duduk di ruang tamu. Mbah Kung menceritakan peran kenthong saat masa-masa perang gerilya kemerdekaan dulu.
“Setelah terjadi pertempuran dahsyat di lereng gunung Slamet, tepatnya di dusun Prompong, mengakibatkan banyak anggota pasukan gerilya dan masyarakat desa Prompong terkorban. Pasukan mundur ke arah barat dan timur.
“Pengalaman ini, mengilhami pimpinan tertinggi pasukan didukung para tetua desa untuk memata-matai Belanda. Sebagai alat komunikasi, desa-desa yang terlewati oleh pasukan belanda, masyarakatnya akan menabuh kentongan. Dengan demikian, pasukan gerilya akan mengetahui dari arah mana musuh datang.
“Untuk mengelabui Belanda, masyarakat menabuh kentongan dengan berirama. Musuh tidak mengetahui jika tetabuhan itu adalah kode bahaya bagi pasukan kemerdekaan.
“Wah ternyata kentongan sangat berjasa,” sahutku kagum.
“Dulu kan alat komunikasi belum seperti sekarang. Kentongan itu yang digunakan, dengan nada-nada irama tertentu yang disepakati bersama untuk memberitahu sesuatu. Misalnya nada titir, kentongan dipukul terus tanpa henti, untuk tanda bahaya. Yang mendengar akan meneruskan, yang lain mendekat ke lokasi awal kentongan ditabuh. Di dusun-dusun sampai sekarang masih ada yang membawa kentongan saat meronda. Apalagi bulan puasa, mereka keliling membangunkan warga untuk sahur.”
“Hebat ya, Mbah, nenek moyang kita. Padahal cuma sepotong bambu.”
“Makanya jangan meremehkan sesuatu yang tampaknya sepele.”
“Mas! Bunda mau ke pasar Manis. Mau ikut nggak?” teriak dik Icha.
“Ikut!” aku langsung berlari masuk.
Kami ke pasar Manis hanya 10 menit jalan kaki. Udara cerah dan segar. Di kejauhan gunung Slamet tampak gagah membiru. Segumpal awan putih mengapung melintas, menghiasi badan gunung.
Pasar Manis besar dan bersih. Bunda membeli sate ayam, buntil dan jajan pasar. Banyak deh macamnya. Dan tidak ketinggalan mendoan dan gorengan dage. Makanan satu ini, gorengan dage, nggak ada di Jakarta. Bentuknya tidak menarik, tapi rasanya enak. Ada lagi Themlek, ampas tahu diberi bumbu dicelupin adonan tepung lalu digoreng. Rasanya unik, tapi enak.
Setelah makan siang, kami tidur biar malamnya kami nggak ngantuk. Sedang asyiknya menonton orang bermain kentongan sambil menyanyikan lagu-lagu dangdut, tiba-tiba …
Thong thong thong … dung … dung … dung, thong thong dung.
Terdengar bedug masuk waktu asar dari masjid di dekat rumah. Disusul suara azan. Aku terbangun. Ternyata mimpi.
“Mas … Adik … bangun! Cepat mandi! Tuh, kan! Fitra ketinggalan salat jamaah,” kata Bunda.
Ayah dan Mbah Kung sudah berangkat. Aku segera lari ke kamar mandi. Kami berebut kamar mandi.
“Mas dulu Dik! Mas mau ke masjid. Adik, kan, salat di rumah,” kataku langsung masuk kamar mandi.
Selesai mandi bergegas lari ke masjid. Sampai halaman masjid sudah terdengar komat. Untunglah masih sempat ikut salat jamaah, walaupun dengan napas memburu. Selesai salat kami langsung pulang.
“Mbah Kung, jam berapa ke kabupatennya?”
“Habis sholat magrib. Jangan lupa bawa sarung, kita salat Isya di masjid Agung.”
Alun-alun bagian selatan dibuat panggung kehormatan tempat pejabat daerah dan tamu undangan. Masyarakat sudah memenuhi pinggir jalan sepanjang arak-arakan peserta Festival lewat. Kami makan malam di mal seberang alun-alun. Dari situ kami bisa melihat langsung jalan di depan mal. Ternyata, grup kentongan yang sesungguhnya jauh berbeda dari yang ada di mimpiku tadi siang.
________________
Jakarta, April 2024.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”