Kesaktian Puyang Bujang

(Cerita Rakyat dari kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, direkonstruksi kembali oleh Fitriani Eka)

Alkisah di sebuah desa yang terletak di pinggir hutan, tinggalah seorang laki-laki bernama Ujang yang sudah berusia empat puluh tahun bersama ibunya. Namun, orang-orang memanggilnya dengan sebutan Bujang karena semua teman seusianya banyak yang sudah berkeluarga.

Bujang hanya berteman dengan anak-anak kecil. Setiap hari ia bermain gasing dan kelereng bersama mereka. Ia pula suka menolong siapa saja dengan kesaktian yang dimilikinya. Namun, Bujang memiliki sifat yang sangat pemalas. Ia tidak pernah membantu ibunya bekerja di sawah.

Suatu pagi, Bujang dibangunkan oleh ibunya.

“Bujang, lah siang ahi. Bangunlah, Nak!”

Bujang tidak menjawab dan tidak mempedulikan ibunya. Namun meski begitu, ibu tidak pernah marah kepadanya bahkan sangat menyayangi Bujang. Melihat sikap Bujang tersebut, ibunya terpaksa pergi ke sawah meskipun dalam keadaan sakit.

***

Ketika hari sudah siang, beberapa orang teman Bujang datang ke rumah. Mereka ingin mengajak Bujang mencari buah-buahan di hutan.

“Besok pagi kita pergi ke hutan, yuk!”

“Apakah letaknya jauh dari sini?” tanya Bujang.

“Iya. kita harus menyeberangi sungai untuk bisa ke sana.”

“Wah, seru! Aku mau ikut,” ungkap teman Bujang yang lainnya.

“Hmm, aku juga mau ikut,” ungkap Bujang.

Keesokan pagi. Bujang dan teman-temannya berjalan menelusuri hutan. Ada banyak pohon besar, semak belukar dan hewan buas. Semua ketakutan dan ingin pulang, kecuali Bujang. Mereka ingin mencari jalan pulang. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba, ada seekor ular besar terlihat di balik semak.

“Apakah itu ular?”

Bujang lalu berjalan mendekat.

“Tenang. Ia sudah tidak bergerak.”

“Apa dia sudah mati?”

Satu persatu berjalan mendekati ular untuk membuktikan ucapan Bujang.

“Wah, benar. Dia sudah mati!”

Setelah memastikan ular tersebut sudah mati, mereka kemudian melanjutkan perjalanan pulang. Langit sore yang terlihat hampir gelap membuat teman-teman Bujang panik karena tidak juga menemukan jalan keluar.

“Hari sudah sore. Ayo, kita harus cepat keluar dari hutan ini!” kata salah seorang teman Bujang.

Tap! Tap! Tap!

Bujang berjalan menjadi pemimpin paling depan. Namun tiba-tiba terdengar suara aneh.

Aummmmnnn!

Tak lama kemudian, seekor singa besar berjalan mendekat. Semua menjadi ketakutan, kecuali Bujang.

“Tenang, Teman-teman! Tidak perlu takut. Singa itu tidak bisa melihat,” ucap Bujang.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Tetaplah berjalan tanpa bersuara,” jawab Bujang.

Teman-teman Bujang pun mengikuti perkataannya. Mereka berjalan pelan-pelan hingga akhirnya singa itu pun pergi. Bujang dan teman-temannya selamat dan kembali berjalan untuk mencari jalan keluar hutan.

Di tengah perjalanan, Bujang mengatakan sesuatu.

“Kita tidak perlu lagi pergi ke hutan, Teman-teman!”

“Betul. Hutan adalah tempat yang tidak aman untuk anak-anak,” jawab salah seorang teman Bujang.

“Selain membahayakan, semua yang kita cari ada di belakang rumah.”

Semua teman Bujang tidak mengerti maksud ucapannya. Namun, mereka ingin membuktikan ucapannya. Setelah sampai di rumah, pada malam hari, teman-teman Bujang pergi ke halaman belakang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada sebuah pohon yang berbuah sangat lebat. Sejak itu, mereka jadi mengetahui kesaktian Bujang.

***

Hari berganti hari. Ibu Bujang semakin sering sakit-sakitan. Usia yang sudah tua membuatnya tidak bisa lagi bekerja di sawah. Ibu pun menjadi sering meminta bantuan kepada Bujang.

Saat Bujang sedang bermain gasing dan kelereng dengan teman-temannya, ibu datang menemuinya.

“Bujang, tolong ibu, Nak! Ibu sudah tidak kuat lagi bekerja di sawah.”

“Iya, Mak. Apa yang bisa aku lakukan?” tanya Bujang.

“Sebentar lagi musim bertanam tiba. Tolonglah umak membersihkan sawah.”

“Tenang, Mak. Sawah sudah bersih dan siap untuk ditanami padi.”

Ibu merasa tidak yakin dengan ucapan Bujang. Namun untuk membuktikannya, Ibu pun pergi ke sawah. Ternyata benar. Bujang tidak berbohong. Sawah sudah bersih dan siap ditanami padi. Ibu pun pulang ke rumah dan meminta bantuan lagi kepada Bujang.

“Nak, besok pagi tolong tanam padinya ya!”

“Sudah, Mak. Kita hanya tinggal menunggu panen,”

Ibu kembali merasa tidak yakin. Bagaimana mungkin Bujang bisa menanam padi di sawah yang sangat luas. Untuk membuktikannya, ibu pun pergi ke sawah di keesokan harinya. Ternyata benar, padi sudah ditanam dan tinggal menunggu panen. Sejak itu, ibu pun akhirnya menyadari kesaktian putranya tersebut. Dengan ucapannya, Bujang bisa membuat semuanya menjadi kenyataan.

Sayangnya, beberapa orang desa iri dan tidak menyukai Bujang. Apalagi ketika ia ditinggal oleh ibunya. Bujang jadi hidup sebatang kara dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desanya hingga ia dianggap sudah meninggal karena tidak pernah pulang. Konon, makam Puyang Bujang masih sangat terawat dan menjadi warisan masyarakat Muara Enim.

*

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar