Danu dan ketiga temannya yang semula berjalan bersama-sama dengan riang gembira sejak keluar dari gerbang sekolah, seketika terdiam dengan wajah takut. Serentak mereka melangkah sambil berjinjit dengan mata mengarah pada pos ronda yang ada di pojok tikungan jalan.
Sudah dua minggu ini, pos ronda yang sudah lama terbengkalai itu didiami oleh seorang lelaki berambut gimbal yang entah darimana datangnya. Orang gila itu memang tidak jahat dan tidak pernah mengganggu. Dia hanya suka mengagetkan orang dengan keluar dan menyapa tiba-tiba orang yang lewat di depan pos ronda.
Orang-orang sekitar SD Negeri Beru 03 menyebut lelaki berambut gimbal itu dengan panggilan Mbah Bento.
Saat langkah mereka semakin mendekati pos ronda, Danu memberi isyarat agar ketiga temannya jangan sampai menimbulkan suara. Mereka melangkah sambil menahan rasa takut yang kian mendera. Sedetik pun mata mereka tak berani beralih dari pos ronda.
Selangkah demi selangkah, Danu dan ketiga temannya terus melangkah sambil berjinjit sembari menahan napas. Saat jarak mereka dengan pos ronda sudah lebih dari 5 meter, tanpa dikomando serentak mereka berlari sekencang-kencangnya.
Namun, sial! Lantaran tak begitu memperhatikan jalan, tahu-tahu kaki Danu tersandung sebongkah batu. Bruukk! Danu jatuh terjengkang.
“Toloong!” teriak Danu dengan suara bergetar.
Ketakutan semakin tampak jelas di wajah Danu. Ia hanya bisa meringis kesakitan sambil memegangi lututnya yang lecet dan berdarah. Dengan susah payah, Danu mencoba bangkit agar bisa segera menyusul teman-temannya yang semakin menjauh.
Setelah mengelap keringat dingin yang mengucur di wajahnya, dengan berpegangan pada pagar tembok seorang warga, Danu berusaha berdiri. Saat itulah ia terkejut. Tahu-tahu sebuah lengan kekar dengan baju compang-camping memegangi pundaknya.
Seketika Danu menoleh. Astaga! Serta merta wajah Danu pucat pasi. Betapa tidak! Orang yang memegangi pundaknya itu ternyata tak lain dan tak bukan adalah Mbah Bento. Tak sempat Danu berteriak. Mbah Bento menyeret Danu ke dalam pos ronda.
Ketakutan yang dirasakan Danu semakin tak terkira.
***
Dengan wajah pucat pasi, Danu duduk di lantai semen pos ronda yang berdebu. Mbah Bento berdiri tegak di sampingnya. Lelaki bertubuh dekil itu mengambil sikap sempurna kemudian menghormat khidmat bendera sebentuk bendera merah putih dengan tiang sepotong bambu di pojok pos ronda. Setelah itu barulah ia mengambil kotak obat usang dari bawah tiang bendera itu.
Danu hanya tertunduk lemas. Tubuhnya gemetaran saking takutnya. Sedikit pun Danu tak berani melihat apa yang dilakukan Mbah Bento.
“Lepaskan saya, Mbah! Lepaskan saya …!” pinta Danu gemetar dengan suara menghiba.
“Diamlah! Aku gak akan menyakitimu. Aku hanya ingin menolongmu,” sahut Mbah Bento dengan suara serak.
Danu tak berani membantah lagi. Ia malah memejamkan mata rapat-rapat. Perlahan Mbah Bento membersihkan luka di lutut Danu dengan cairan dingin dari dalam kotak usangnya. Setelah itu, Mbah Bento meneteskan yodium ke kapas dan langsung mengoleskannya ke luka di lutut Danu.
Danu meringis kesakitan. Luka yang ditetesi yodium itu teramat perih.
“Tahanlah, perihnya hanya sesaat. Setelah itu lukanya akan mengering dank au bisa segera pulang,” kata Mbah Bento sambil meletakkan kembali kotak obat usangnya di tempat semula. Tak lupa ia kembali menghormat bendera dengan sikap sempurna.
Benar saja apa yang dikatakan Mbah Bento. Sesaat kemudian rasa perih di lutut Danu sudah hilang. Mbah Bento membantunya untuk berdiri.
“Terima kasih, Mbah,” ucap Danu lirih.
“He he …, kau gak takut lagi padaku kan?” Mbah Bento mengekeh.
Danu menggeleng sambil tersenyum kaku.
“Tid-tidak, Mbah. Tap-tapi sebenarnya siapakah Mbah Bento ini? Kenapa selalu menghormat pada bendera merah putih?”
Sejenak Mbah Bento tersenyum menyeringai.
“Bendera ini sangat berharga bagi saya. Demi untuk mempertahankan agar bendera ini tetap bisa berkibar di tanah air ini, saya sempat hampir kehilangan nyawa. Karena itu saya sangat menghormatinya,” jawab Mbah Bento dengan wajah keruh. Sudut matanya mengeluarkan butiran air bening.
“Jad-jadi … Mbah Bento ini dulunya adalah seorang pejuang? Veteran perang begitu?” Baru kali ini Danu berani memandang wajah Mbah Bento. Sisa-sisa keperkasaan masih bisa Danu lihat di wajah Mbah Bento yang dekil.
“Ah, itu enggak penting. Sekarang cepat pulanglah, orang tuamu pasti sudah cemas menunggu.”
Danu mengangguk. Perlahan ia melangkah pergi dengan banyak pertanyaan yang memenuhi hati.
***
“Danu, kau kemarin diapakan saja sama Mbah Bento? Apakah orang gila itu menyakitimu?” tanya Tyo saat mereka sama-sama berangkat sekolah.
Danu hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Iya Nu, kami kemarin sebenarnya ingin menolongmu tapi kami takut banget sama Mbah Bento yang menyeramkan itu.” Rangga ikut pula penasaran.
Sejenak Danu tersenyum lagi, baru kemudian menjawab.
“Kita dan orang-orang selama ini telah salah sangka pada Mbah Bento. Dia sebenarnya bukan orang gila. Bahkan dia mantan seorang pejuang kemerdekaan.”
“Hah! Mbah Bento seorang veteran?” Seketika Tyo dan Rangga ternganga bibirnya.
“Ya.” Danu mengangguk mantap.
“Kalau begitu aku ingin minta maaf pada Mbah Bento sekarang juga.” Tyo menyesal. Ia pernah mengolok-olok Mbah Bento dengan sebutan orang gila.
“Aku juga,” sahut Rangga.
Mereka pun sepakat untuk mampir ke pos ronda guna meminta maaf. Namun sayang, mereka harus kecewa. Saat mereka masuk pos ronda, ternyata sudah kosong. Mbah Bento serta bendera merah putih yang selalu dihormatinya dengan khidmat sudah tidak ada lagi di dalam pos ronda.
Ingin rasanya mereka mencari keberadaan Mbah Bento di sekitar pos ronda itu. Tetapi bel tanda masuk sekolah telah berbunyi. Mereka segera menghambur ke sekolah sebelum pintu gerbang sekolah dikunci.
***
Jam pertama waktunya pelajaran IPS. Setelah mengabsen muridnya, Bu Devi berdiri di depan kelas dan mulai berbicara.
“Anak-anak dalam pelajaran IPS kali ini, kita akan membahas tema perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Untuk itu supaya kalian tahu bagaimana besarnya pengorbanan para pahlawan, kali ini kalian akan mendengar secara langsung sejarah perjuangan itu dari seorang pelakunya. Silakan masuk, Pak!”
Serentak mata semua anak kelas V itu tertuju ke pintu. Masuklah seorang lelaki bertubuh tegap lengkap dengan setelan baju warna putih khas jaman colonial. Sebuah peci dengan lambang veteran melengkapi penampilannya.
“Mbah Bento …,” gumam Danu, Tyo, Rangga, dan juga Eko yang duduk saling bersebelahan.
Mereka berempat langsung menyambut Mbah Bento dengan tepuk tangan yang gemuruh. Diikuti pula oleh seisi kelas. Mendengar cerita perjuangan Mbah Bento dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan, membuat semua murid merasa bangga. Bahkan sebagian ada yang jadi malu pada dirinya sendiri.
Tak seharusnya seorang siswa kurang menaruh hormat pada bendera Merah Putih pada saat upacara. Karena sebuah bendera untuk bisa berkibar telah menelan korban jiwa raga para pahlawan.
Alurnya membuat penasaran dan ingin segera membaca hingga akhir. Kereeeeen
Terima kasih, semoga bisa menginspirasi pembaca
terima kasih, semoga menginspirasi