Kisah Sebuah Buku Kuno (Bagian 3)

Aku melihat si bungsu menutup kepalanya dengan selimut, sementara si sulung merapatkan tubuhnya pada tembok. Setelah cukup lama diam, tiba-tiba si bungsu berbicara dengan suara yang pelan.

“Jadi parakang itu yang membunuh orangtua Tenri, Paman?” tanyanya.

Belum sempat aku menjawab, si sulung tiba-tiba memotongnya, “parakang itu siapa, Paman?

Sulili’ itu siapa?”

Parakang adalah manusia jadi-jadian. Kadang-kadang dia berubah menjadi hewan yang menakutkan dan kadang dia menunjukkan wujud aslinya berupa manusia utuh tetapi dengan sosok yang sangat menyeramkan. Dia bisa berubah-ubah disebabkan oleh ilmu gaibnya yang tinggi atau karena persekutuannya dengan iblis. Iblis yang dimaksud itu adalah Sulili’, Raja Iblis bagi parakang. Orang yang menjadi parakang harus selalu bisa membunuh manusia untuk dipersembahkan kepada Sulili’. Bagi yang mau menyempurnakan ilmu parakangnya, konon harus mempersembahkan nyawa bayi. Ada juga parakang yang hanya sekadar mau mencari kekayaan.

“Lalu kenapa parakang yang bertemu dengan ayah Tenri itu sangat membenci manusia yang tinggal di kampung dan hutan itu?” si sulung kembali bertanya.

“Dia dendam karena seluruh anggota keluarganya yang juga parakang seperti dirinya habis dibantai oleh warga. Mereka semua dibakar, kecuali wanita itu. Dia berhasil melarikan diri. Dia mau menyempurnakan ilmu parakangnya untuk balas dendam,” aku menjelaskannya dengan diliputi kengerian.

“Ih, ngeri juga. Untung saja parakang itu sudah tidak ada,” si bungsu memeluk erat gulingnya. Hampir saja aku tidak bisa menahan diri dan mengatakan bahwa sebenarnya parakang itu

masih hidup sampai sekarang dan di luar sana dia masih terus mencariku. Kalau saja si sulung tak menemukanku mengambang di sungai hari itu, mungkin saja aku sudah ditemukannya dan dipersembahkannya kepada Sulili’. Untuk cerita itu aku harus menyimpannya rapat-rapat.

“Apa ayah Tenri mati di goa itu, Paman?” si bungsu kembali bertanya. Untuk pertanyaan itu, aku harus menceritakannya.

Agar dia punya keluarga utuh yang sudah lama diimpikannya, akhirnya lelaki itu membuat kesepakatan dengan parakang. Setiap bulan istrinya harus bisa membawakannya sarung tenun dari kampung Ammatoa Kajang. Sarung itu diinginkan oleh parakang itu karena dia menyukai segala yang berwarna hitam dan akan digunakannya nanti saat ritual penyempurnaan ilmu parakangnya, dan setiap bulan keduabelas, istrinya harus membawakannya darah segar dari penduduk Ammatoa. Parakang itu menginginkannya karena dia percaya darah dari Ammatoa masih sangat murni semurni darah bayi. Itu sebagai pengganti darah bayi yang ketujuh.

Saat pulang, lelaki itu menceritakannya kepada istrinya. Betapa takut dan putus asa istrinya mendengar hal itu. Dia menangis bersedih. Mana mungkin dia bisa menempuh perjalanan jauh seorang diri untuk membuat sarung tenun. Terlebih lagi dia merasa mustahil bisa membunuh orang lain dan mempersembahkan darahnya untuk parakang itu. Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghindarinya. Meskipun terasa mustahil, jalan itu harus ditempuh demi memiliki keluarga yang utuh. Maka setiap bulan istrinya melakukan perjalanan jauh ke Ammatoa untuk menenun sarung dan setiap bulan ke dua belas, wanita itu membawa darah segar kepada parakang itu. Asal saran suaminya, sebenarnya dia tidak pernah membawa darah manusia. Itu adalah darah binatang. Jadi selama bertahun-tahun mereka telah membohongi parakang itu. Anak mereka akhirnya lahir dan diberi nama Tenri Raja. Saat usianya memasuki tahun kelima, parakang itu akhirnya mengetahui bahwa selama ini dia sudah dibohongi sebab tak sedikit pun dia merasa ilmunya bertambah. Betapa dia murka.

Dengan dipenuhi dendam yang semakin membara, parakang itu keluar dari persembunyiannya. Dia langsung mendatangi rumah pasangan suami-istri itu. Dia tak sendiri, ribuan pacci-pacci, sejenis burung gaib turut menyertainya. Dari jauh, suami-istri itu mendengar suara pacci- pacci itu dan betapa takut mereka tatkala suaranya semakin mendekat sebab itu pertanda bahwa parakang itu pun tidak berada jauh lagi.

Suami-istri itu menangis tersedu-sedu di samping Tenri yang masih tertidur. Mereka sadar bahwa kebersamaan mereka dengan anak semata wayangnya itu sebentar lagi akan berakhir. Tidak ada yang pernah selamat dari kemarahan parakang itu dan malam ini mereka juga pasti akan mengalaminya. Tapi tidak Tenri. Suami-istri itu sudah menyiapkan cara agar anak mereka tidak bisa

menjadi santapan parakang itu. Sejak awal tidur Tenri tadi, mereka mengumpulkan semua kulit kayu yang pernah ditulisi Tenri. Dengan mengorbankan darah dan jiwa mereka, Tenri bisa merasuk ke dalam buku itu bersama dengan cerita-cerita hidupnya sehingga Tenri akan kekal selama tulisan itu ada. Dan ilmu parakang itu tidak akan bisa sempurna selagi belum menyadari keberadaan Tenri.

Maka tepat sebelum parakang itu tiba, Tenri sudah merasuk ke dalam tulisan-tulisannya sendiri, ke dalam kulit kayu yang sudah diperciki darah orangtuanya. Cerita hidup Tenri akan tersimpan selama-lamanya di kulit kayu yang sudah tersusun rapi itu. Tenri akan abadi agar dia selalu ada dan bisa menceritakan kisah hidupnya kepada anak-anak manis yang menemukannya.

Begitu parakang itu sudah merenggut nyawa suami-istri itu dan memakan jeroannya, dia berjalan kesana-kemari mencari Tenri. Begitu memakan anak itu, sempurnalah ilmu parakangnya. Tapi sudah lama sekali dia mencari, Tenri tak kunjung ditemukannya. Dari balik tubuh barunya, Tenri bisa melihat jelas bagaimana kedua orangtuanya dihabisi dengan keji. Dia menangis penuh sedih tanpa suara. Parakang itu meninggalkan rumah Tenri dengan kemarahan yang semakin menjadi-jadi. Dia merasa sudah ditipu dan dikalahkan. Sejak saat itu, tidak ada yang paling diinginkannya selain menemukan dan memakan Tenri.

Beratus tahun kemudian, tumpukan kulit kayu berisi tulisan huruf lontarak itu ditemukan oleh seorang pengembara. Karena tertarik pada cerita di kulit kayu itu, dia menulisnya ulang menjadi sebuah buku yang besar menyerupai kitab dan jiwa Tenri ikut berpindah ke buku itu.

Tak lama kemudian, parakang yang masih tetap hidup itu menyadari keberadaan Tenri. Dia lalu mengejarnya tapi tak juga berhasil menemukannya. Hingga suatu hari, dua orang anak yang masih bersekolah menemukan buku itu mengambang di sebuah sungai.

Aku menutup cerita itu dengan perasaan haru dan sedih. Ammak, puang– aku merindukan

kalian.

Bulukumba, Agustus 2016

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar