Kisah Sebuah Buku Kuno (Bagian 1)

 

Pukul satu pagi, dua orang anak manis menghampiriku. Dengan sangat pelan, mereka berbisik di dekatku, “paman, janjinya mana?” tanya si sulung dengan sedikit meminta.

“Iya, sekarang saja ya, Paman!” si bungsu sedikit bersorak

“Hus. Jangan berisik, Adik,” si sulung menegur adiknya sambil meletakkan telunjuknya di bibir. “Nanti ibu bangun.”

“Uh, maaf,” si bungsu tiba-tiba membekap mulutnya sendiri dengan gerakan yang lugu khas anak- anak.

Karena aku menyukai kedua anak manis itu dan juga menyukai semua anak manis di dunia ini, maka baiklah, malam ini aku akan menceritakan sebuah kisah. Tentang seorang anak yang suka sekali menulis. Dia akan menulis di mana saja. Di kulit kayu, di atas batu, di batang pohon, atau di atas pasir. Tapi dia lebih suka menulis di atas kulit kayu dan di atas batu karena biasanya akan lebih gampang menyimpan kulit kayu dan batu yang sudah ada tulisannya. Pokoknya, dia suka sekali menulis, dan aku akan memberikan bocoran bahwa ratusan tahun kemudian, buku yang ditulisnya itu bisa bernyawa dan berbicara seperti manusia. Dengarkanlah terus kisah ini untuk mengetahui di mana sebenarnya buku itu. Siapa tahu kau bisa menemukan dan menyimpannya di rumahmu.

Anak itu tinggal seorang diri di rumahnya yang penuh tumpukan kayu. Keadaan rumahnya sangat berantakan dan banyak sekali bekas api. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal dengan mengerikan.

“Bagaimana kedua orangtuanya meninggal, Paman?” si bungsu bertanya, lagi-lagi dengan suara agak besar dan penuh semangat.

“Adik! Suaramu! Kau mau ibu mendengar kita, lalu menyuruh kita tidur, dan mengusir paman keluar dari rumah ini?” bentak si sulung dengan suara yang lebih kecil.

Si bungsu tersenyum kecil. “Maaf, maaf.” Dia tersenyum nyengir, memperlihatkan barisan giginya yang sudah tidak lengkap karena bolong di tengah. “Maaf ya, Paman.”

“Ya sudah. Tidak apa-apa. Adik sebentar suaranya jangan terlalu besar yah. Paman pasti akan menceritakan semuanya.”

Anak itu bernama Tenri Raja. Orangtuanya memberinya nama begitu agar dia bisa menjadi orang besar suatu hari nanti. Sementara ayahnya bernama Baso dan ibunya bernama Ramma. Ibunya bekerja sebagai pembuat sarung tenun di kampung Ammatoa Kajang. Kampung itu berada sangat jauh dari tempat tinggal mereka, sehingga ibunya harus menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai ke sana dan baru akan kembali satu bulan kemudian karena membuat sarung tenun itu biasanya butuh waktu selama sebulan untuk menyelesaikannya.

Setiap kali pulang dari Ammatoa Kajang, ibunya selalu bercerita kepada Tenri tentang bagaimana kampung itu, bagaimana orang-orangnya, dan termasuk bagaimana sarung tenun itu dibuat dan dijual dimana, tapi tak sekalipun ibunya bercerita tentang goa itu kepadanya. Ayahnya selalu melarang ibunya, dan memang ibunya merasa akan lebih baik apabila tak menceritakannya kepada Tenri. Entah sebab apa mereka merahasiakan itu kepada Tenri.

“Ada juga yang menyebutnya Tanah Toa,” kata ibunya suatu malam, sesaat menjelang tidur.

“Kenapa, Ammak? Kenapa namanya banyak sekali?” Tenri bertanya sambil terus memeluk dan memandangi wajah ibunya. Dia memanggil ibunya dengan sebutan Ammak dan ayahnya dengan sebutan Puang. Begitulah panggilan anak kepada orangtuanya dalam suku bugis.

“Karena kampung itu dipercaya sebagai tanah yang pertama ada di dunia ini,” kata ibunya menjelaskan.

“Tanah Toa artinya tanah yang paling tua,” ayahnya ikut melanjutkan.

Tenri mengangguk-angguk paham. Dia sekarang tahu tentang asal-muasal kampung tempat ibunya mencari nafkah itu. Dan dia kembali menemukan hal yang bisa ditulisnya besok begitu matahari terbit. Di kulit kayu dia akan menulisnya sebab dipikirnya apa yang baru saja dijelaskan ayah dan ibunya adalah sesuatu yang penting. Karena sudah larut malam dan ibunya juga capek sekali sehabis menempuh perjalanan jauh, maka mereka setuju untuk sama-sama segera tidur. Tenri berencana akan menanyakan yang lainnya besok malam lagi.

“Paman, bagaimana orangtua Tenri meninggal?” si bungsu kembali bertanya, kali ini dengan muka sedikit kesal karena aku memang menggantung pertanyaannya.

Aku dan si sulung sama-sama tertawa kecil.

“Sabar. Sebentar juga paman pasti ceritakan.”

“Dasar bocah. Sukanya yang begitu-begitu,” kakaknya mengejek. “Begitu apa?” matanya melotot.

Aku dan si sulung kembali tertawa. Sekarang dengan suara yang lumayan besar, tapi kami segera sadar dan cepat-cepat mengecilkan suara sebelum terdengar sampai ke kamar sebelah.

“Sebentar paman pasti cerita. Juga akan bilang bagaimana bukunya bisa bernyawa dan berbicara seperti manusia.”

“Benarkah, Paman?” si bungsu kelihatan senang.

“Iya, iya, tapi sekarang paman ceritakan dulu kampung tempat ibunya bekerja.”

Pagi itu Tenri benar-benar menulis apa yang dikatakan ibunya. Dia menulisnya di kulit kayu. Kulit itu dikerat dan diambilnya dari batang pohon jati. Dia menulis memakai huruf lontarak, huruf kuno suku bugis. Kepintaran menulisnya itu juga didapatkan dari ayah dan ibunya. Jadi, hal pertama tentang Ammatoa Kajang yang ditulis Tenri adalah asal-usul adanya kampung itu. Sebentar malam dia akan mendengar cerita yang lain lagi tentang kampung itu, ibunya sudah janji akan menceritakannya.

Malam pun datang, Tenri dan kedua orangtuanya tidur bersama di rumah mungil mereka. Dan sesuai janjinya, ibunya kembali menceritakan tentang Ammatoa Kajang.

“Orang-orang Ammatoa Kajang yakin di kampung merekalah manusia pertama kali diturunkan Tuhan. Dipanggil Tau Mariolo atau manusia pertama,” kata ibunya membuka cerita. “Manusia pertama itulah yang kemudian membangun kampung Ammatoa.”

Tenri mendengarkan dengan seksama. Tampak betul dari wajahnya kalau dia mengagumi cerita-cerita ibunya. Maka dia pun mengatakan ingin ikut bersama ibunya ke tempat itu.

“Tidak boleh. Kau belum boleh ke sana, Nak,” kata ibunya. “Kenapa, Ammak?”

“Karena kau masih kecil. Perjalanan ke sana tidak gampang. Jauh sekali. Kau tidak akan kuat, Nak. Lagipula puangmu akan sendiri di sini kalau kau ikut bersama Ammak,” jawab Ammaknya dengan jawaban yang dikarang-karang.

“Kau tidak punya baju hitam, toh?” ayahnya yang dari tadi hanya diam, tiba-tiba menyahut sambil membelai kepala anaknya. Dia pun ikut mengarang-ngarang alasan.

“Memangnya kenapa, Puang?”

“Kalau mau masuk ke kampung itu, harus pakai baju hitam dulu. Kalau tidak, kau akan disuruh pulang,” ayahnya kembali menyahut.

Tenri menoleh ke ibunya dengan muka seperti meminta penjelasan. Ibunya mengangguk pertanda membenarkan yang baru saja dikatakan ayahnya. Pembicaraan keluarga mungil itu terus berlanjut. Tenri semakin semangat bertanya dan kedua orangtuanya pun tak bosan-bosannya menjawab. Maka pada pagi harinya, dengan semangat, Tenri kembali mengerat batang pohon jati untuk diambil kulitnya dan dia akan mulai menulis lagi tentang Ammatoa Kajang.

 

Naskah Pemenang Sayembara  Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifan Lokal Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2016 Bulukumba, Agustus 2016

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar