Rasanya sudah tak sabar, kumasukkan kaos dan celana ke dalam ranselku. Hmm.. apalagi ya? Tidak boleh ada barang yang tertinggal. Jajanan, peralatan mandi juga handuk sudah dimasukkan. Besok hari Minggu, aku dan teman-temanku akan pergi berenang di kolam renang baru. Desa sebelah punya kolam renang yang jernih airnya. Kami tak perlu berenang di sungai yang airnya belakangan ini mulai keruh.
Air sungai sudah tak sebanyak dulu, belum lagi batu-batuan tajam membuat kami tak leluasa untuk berenang. Banyak warga yang bilang, ada buaya yang mengintai di sungai. Entah siapa yang membuat kabar itu, aku sendiri tak pernah melihatnya.
Kami memang pernah berlari ketakutan saat bermain di sungai. Awalnya karena Yuda, salah satu temanku berteriak. Ia berkata, seperti melihat hantu. Semak belukar di sekitar sungai bergemerisik keras, seperti ada sosok yang bersembunyi di belakangnya, apakah itu buaya yang bersembunyi? Entah.. aku juga takut saat memikirkannya.
“Yo, Aryo, sudah tidur belum?”, suara Ibu terdengar dari depan pintu kamarku.
“Dereng Bu”, aku membuka pintu kamar dan menemui Ibu.
“Persiapan e wis rampung?”
“Sampun Bu” jawabku singkat.
“Sarungnya jangan lupa yo, biar kalau baliknya kesiangan, kamu ndak kesulitan buat sholat di masjid terdekat, wis ndang tiduro ya”
Aku mengangguk, “nggih Bu”
Kurebahkan badanku di kasur. Nyaman sekali rasanya tidur sambil berselimut. Aku harus bangun pagi-pagi. Besok kami akan berjalan kaki sekitar tiga kilo menuju kolam renang baru.
———————————————–
“Aryo, aryo…’’
Baru saja selesai sarapan, suara teman-teman sudah memanggilku. Aku bergegas mengambil ranselku dan berpamitan pada Ibu dan Bapak. Kami berlima melewati kebon dan sawah dengan riang.
Satu jam perjalanan, sampailah kami di kolam renang. Dahiku mengerenyit saat menunjuk papan kolam tersebut.
“Kolam Renang Berhantu”
“Iki jenenge bener Berhantu Dim?” tanyaku pada Dimas yang meletakkan sandal diatas rak.
“Lha iku wocoe ngunu, wes ayo mlebu Yo” jawab Dimas singkat.
Kami berlima pun segera melepas baju dan masuk ke kolam renang. Aku, Dimas, Tito, Heru dan Jodi pun senang sekali. Sepertinya hari masih sangat pagi. Kolam renang masih sepi pengunjung sehingga serasa milik pribadi.
“Sepi ya?” kata Heru sambil memainkan kakinya di pinggir kolam.
“Apa nggak ada penjaganya?” sahut Tito.
“Coba tak lihatke ya,” Jodi berjalan menuju warung di sebelah kolam. Ada bapak tua yang sedang menyapu.
“Astagfirullahhhh…………”
Teriakan Jodi membuat kami semua berlari ke arahnya. Sosok tua itu sedikit bungkuk dengan janggut yang memutih. Dia menyeringai memperlihatkan giginya yang ompong dan kuning, mungkin karena banyak menguyah suruh.
“Iki meh podho renang?” sapa si Bapak tua.
“Iiiya pak,..” jawab kami terbata.
“Sijine mbayar lima ribu, nek wis rampung, dibayar mrene,” ucap si Bapak singkat sambil meneruskan menyapu.
“Bapak jual mie instan?” Tanya Heru memberanikan diri.
“Kowe gelem?”
“Boleh pak, mie instan goreng tiga ya, teman – teman saya juga mau”
Bapak tua tersebut masuk ke warung tanpa berkata-kata, sama sekali tidak menimpali pesanan Heru. Kami kembali masuk ke kolam sambil menyalahkan Heru. Seharusnya kami segera pulang saja, tidak usah pesan mie instan segala.
Matahari mulai terik, tapi tak seorang pengunjungpun selain kami yang datang. Berenang memang seru, sejenak kami melupakan ketakutan dan keanehan kolam renang ini dengan lomba berenang. Siapa yang sampai ujung kolam duluan, dialah pemenangnya.
“Huaaaaaaa….”
Teriakan Dimas menggema di kolam renang.
Kami berenang menuju tepi kolam, Dimas tampak kaget dengan kedatangan seorang perempuan.
“Maaf, cuma mau antar pesanan mie instan”, perempuan muda itu berkata. Kaos dan rok nya berwarna hitam, kontras sekali dengan wajahnya yang putih pucat dengan lingkaran hitam dibawah matanya. Perutnya juga sedikit buncit, rambut tergerai yang kusut menambah seram penampilan perempuan ini. Pantas, Dimas kaget bukan kepalang.
“Oh iya mba, taruh saja” kataku memecah keheningan.
Kami akhirnya bergegas menghabiskan mie dan segera mandi bergantian. Tempat ini benat-benar mencurigakan. Hingga matahari meninggi, tak ada pengunjung selain kami.
Setelah semua selesai, kami saling menyikut, tak ada yang berani bayar ke Bapak tua di warung itu.
“Yasudah, biar aku saja”, Jodi mengalah. “Kesananya bareng-bareng tho?”, rupanya Jodi takut juga.
Kami berlima pergi ke warung tersebut menemani Jodi.
Bapak tua itu duduk diatas dipan sambil merokok, didepannya terhidang kopi dan sukun goreng.
“Maaf Bapak, kami mau bayar”. Jodi mengulurkan uangnya.
Bapak tua itu menoleh, “Ningsih, ningsihh, iki bocah-bocah podo bayar, aku ra ngerti”
Perempuan muda tadi keluar, tersenyum pada kami dan mengambil uang Jodi. Ia juga sudah menyiapkan uang kembalian seraya mengucapkan terima kasih.
“Maaf mbak, apa mbak nya ini hantu?” tanyaku tiba-tiba.
Bapak tua dan perempuan tadi tertawa, benar-benar keras sampai terkekeh-kekeh.
“Opo hantu ki ayu koyo puthuku le?”
Aku menggeleng, “tapi jeneng kolam renang e berhantu kok”
“Berhantu itu, nama dusun kami, dusun berhantu. Entah kenapa dinamakan demikian, kalau cerita kakek sih, dulu zaman Belanda memang tempat ini banyak hantunya. Bukan hantu sungguhan, hanya rakyat jelata yang kerap menakut-nakuti rombongan Belanda yang lewat”
Perempuan tadi melanjutkan ceritanya, seperti bisa menebak jalan fikiran kami “kalau kalian kaget melihat penampilan saya, ini hanya seni peran. Semua warga desa sedang berkumpul di lapangan untuk menonton drama penjajahan yang dimainkan pemuda-pemudi desa. Ini sedang pulang sebentar, eh disuruh masak mie instan”.
“Oh makanya itu, kenapa tidak ada yang berenang hari ini,” sahut Tito.
“Betul dek, semua warga ada di lapangan, kakek setiap pagi memang sering menyapu di warung saya, jadi para penjaga kolam menitipkan kolam renang ini pada kakek”. Perempuan itu tersenyum kemudian tertawa.
Kami berlima pun akhirnya ikut tertawa mengingat ketakutan kami yang tidak beralasan. Setelah berpamitan pulang, kami berjalan dengan langkah yang lebih riang. Sungguh lega rasanya, menyimpan ketakutan yang tidak beralasan atau berprasangka buruk memang tidak baik. Lagipula, manusia lebih kuat dari hantu, jadi.. siapa takut!
Sudah deg-degan baca horror, eh malah ngakak ?
Lanjutkan mbak ?
makasih mba 🙂
Awalnya mau merinding endingnya jadi ikutan senyum
yuk senyum mba 🙂