Komik, Si Anak Bawang yang Jadi Pahlawan?

Sore itu, sepulang sekolah, saya ke Togamas Bandung bersama dua anak saya yang masih berusia 7 dan 9 tahun. Saya memang lebih senang belanja di toko ini daripada di toko seberangnya karena sering memberi harga miring.  Hehe. Begitu sampai, anak-anak langsung melengang ke bagian belakang. Ada apa di sana?

Di sana ada dua rak panjang, khusus untuk komik anak. Kebanyakan yang dihidangkan adalah komik NEXTG, Princess Academy, dan KKPK, semua dari Mizan. Saya menuliskannya berdasarkan urutan favorit anak-anak saya. Senang sekali mereka, dengan uang 100 ribu bisa bawa pulang 8 komik karena kebetulan sedang cuci gudang!

Tak semua kalangan pendidik setuju untuk mengenalkan komik di usia dini, atau lebih spesifik lagi di usia pre-operasional yakni di bawah 7 tahun, ada pula yang menunggu sampai anak berusia 9 tahun, baru diperkenankan membaca komik. Pokoknya, komik adalah urutan terakhir saat mengenalkan bahan bacaan literasi.

Saya juga menanyakan alasan-alasannya. Beberapa alasan yang dikemukakan ternyata menarik untuk dipikirkan.

Yang pertama adalah pengenalan kata dan kalimat yang baik. Anak-anak di bawah 9 tahun masih mulai belajar menyusun kata dan kalimat yang baik. Bahasa komik cenderung berupa bahasa percakapan sehingga kerap menggunakan kalimat yang tidak sempurna.

Yang kedua adalah kekhawatiran akan terdampaknya daya tahan membaca. Daya tarik komik adalah visual yang kuat dipadu dengan kalimat-kalimat pendek. Menjadi kekhawatiran bahwa nantinya anak akan keburu malas membaca teks-teks panjang tanpa ilustrasi, sehingga kemampuan membacanya akan sulit meningkat.

Yang ketiga adalah pengaruh pada kemampuan imajinasi. Ini karena mereka belum terlalu mampu membayangkan hal-hal yang tidak inderawi, namun imajinasinya sangat berkembang luas. Komik memiliki penggambaran visual yang detail, dikhawatirkan imajinasi anak malah terbatasi pada gambar yang sudah ditentukan ilustrator alih-alih mengembangkan imajinasinya sendiri.

Akan tetapi, pengalaman pribadi saya malah menemukan teman-teman yang bisa dibilang literasinya lebih tinggi –baik bacaan maupun numerasi– dari rata-rata kelas, justru penggemar komik. Bahkan sampai dewasa pun masih membaca komik. Lho, kok malah begitu?

Saat saya coba menyambung-nyambungkan benang biru (bosen dong merah terus), saya jadi menemukan hal yang juga menarik. Berdasarkan skor PISA tahun 2023, 31 persen dari siswa Indonesia dinilai setidaknya mampu memahami makna dari sebuah teks, dan mampu mengembangkan ide kreatif . Namun, hanya 5% dari siswa Indonesia yang mampu berpikir kreatif (artcallsindonesia.com, 2023)

Kembali ke komik, komik membantu menyediakan konteks bagi pembacanya. Manusia memang lebih dahulu familiar dengan gambar daripada dengan huruf. Orang-orang jaman prasejarah biasanya menuliskan cerita mereka dalam bentuk gambar , baru kemudian simbol, hingga berkembang menjadi huruf. Pembaca komik tidak perlu repot-repot mengimajinasikan konteks percakapan yang berlangsung, karena sudah tersedia. Sehingga, lebih mudah bagi pembaca untuk memahami makna kalimat-kalimat dalam percakapan itu.

Tak heran, orang dewasa juga menganggap komik sebagai sarana hiburan, karena kerja otak pun menjadi ringan, apalagi dalam komik sering terselip adegan-adegan atau ucapan yang lucu.

Tampaknya para penulik Korea Selatan sudah lebih dahulu melihat potensi ini. Mereka menciptakan komik untuk edukasi, seperti Why? atau keluarga super irit, yang juga mendapat tempat istimewa di hati anak-anak. Walau sebenarnya, Indonesia sudah lebih dulu membaca peluang ini melalui komik Kuark.

Maka, bisakah komik membantu meningkatkan kemampuan anak memahami bacaan? Iya, jangan-jangan justru si komik , anak bawang bacaan anak ini, yang mungkin tak akan dapat penghargaan sastra ini, yang menjadi perancah pemahaman konteks bacaan?

Tentu nggak boleh main asal sambung menyambung. Perlu dilakukan penelitian yang baik untuk membuktikan apakah komik berdampak baik atau buruk bagi kemampuan literasi anak? Yang kemudian akan berlanjut pada pertanyaan, komik seperti apa? dan dalam sistem seperti apa sehingga bisa mengoptimalkan kemampuan literasi anak?

Bagaimana pendapat Kakak-kakak?

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar