Ada kue yang bentuknya putih, menul-menul dan manis! Harganya? Tidaklah mahal, bermodal dua ribu rupiah saja, kalian sudah bisa menikmatinya. Para tetua yang tak memiliki gigi kerap memesan beberapa biji di pagi hari. Berteman dengan tah atau kopi, mereka bilang rasanya nikmat tiada tara.
Kira-kira, aku sedang bicara tentang apa ya?
Kalian pernah tau kue ampun?
Kue yang meminta ampun?
Oh bukan…
Nama kue ini memang berasal dari bahasa Arab. Kata Afwan disinyalir merupakan kata awal untuk nama si kue. Afwan dalam bahasa Arab berarti maaf atau ampun. Lidah orang Jawa tak terbiasa mengucap afwan hingga akhirnya menjadi terucap Apem.
Ya, APEM.
Kue Apem, lewat kue inilah, kami bisa bersekolah, mengontrak rumah yang cukup baik, membayar listrik dan tagihan-tagihan lain.
Kenapa demikian? karena Ibu kami, sejak ditinggal bapak, beralih menjadi penjual kue. Menghidupi ketiga anaknya dengan uang hasil berjualan apem. Tak tanggung-tanggung, sepuluh tahun kebersamaan kami dengan kue apem.
“Ayo, jangan melamun Sil, masukkan santannya,” kata Ibu.
Lamunanku buyar seketika. “Baik Bu,”
Kumasukkan santan secara perlahan. Oh ya, saat membuat kue, usahakan hati kalian dalam keadaan yang baik. Kondisi dapur dan peralatan juga jangan terlalu berantakan. Hati yang riang dan tempat yang bersih akan menambah lezat cita rasa kuemu.
Setelah memasukkan santan ke dalam tepung, aku menambahkan gula sesuai takaran resep Ibu. Kuaduk perlahan untuk memastikan gula sudah melebur bersama tepung dan santan hangatnya. Bahan terakhir yang dimasukkan adalah tapai kuning. Ibu sangat jeli sekali dalam memilih tapai. Warna dan tekstur tapai sangat mempengaruhi hasil akhir kue.
Kenapa harus tapai kuning? Tapai kuning adalah hasil fermentasi singkong mentega. Kue apem yang dihasilkan akan terasa lebih manis dan legit jika memakai tapai singkong mentega.
Jika penjual tapai membawa sekeranjang penuh tapai kuning. Tak sampai hitungan jam, mungkin dalam tigapuluh menit, dagangannya sudah habis. Beruntungnya Ibu, penjual tapai selalu mengingatnya. Pakdhe, begitu Ibu memanggilnya, akan mengirim pesan pada Ibu tentang stok tapai kuningnya.
Bagaimana jika tidak ada tapai kuning? Ibu akan mencarinya sampai dapat. Terkadang aku mengantarnya hingga pasar induk besar. Kue Apem tidak boleh dibuat sembarangan. Pesan Ibu, kue ini adalah warisan para wali dan ulama tanah Jawa, terutama di Surabaya. Simbol dari kesucian bulan Ramadhan.
“Kenapa setiap rumah membagi kue Apem sebelum Ramadhan bu?”
Ibu menjawab sambil menuang adonan diatas cetakan. “Simbol acara Megengan. Apem artinya maaf atau ampun, warna kuenya putih bersih, harapannya, kita semua saling memaafkan sebelum datang bulan penuh rahmat itu, itulah asal muasal cerita budaya Megengan”
“Kalau tidak membagi kue?”
“Ya tidak apa-apa, tidak ada paksaan harus membagi kue apem atau kue lainnya, rezeki masing-masing orang berbeda nak,”
Aku mengangguk, “tapi rata-rata semua berbagi kue sepertinya ya bu,”
“Sebab harga kue tradisional tidak mahal, jika tak ingin membeli, membuatnya pun sangat mudah,” kata Ibu sembari tersenyum.
Bau harum menyerbak di rumah kecil kami. Adik-adikku masih belum pulang dari kegiatannya masing-masing. Jika mereka sudah pulang, biasanya kami bersama-sama membungkus kue apem ini. 500 kue apem yang kami buat hari ini. Punggungku sedikit sakit juga, tapi membayangkan rupiah demi rupiah yang akan kami terima, aku membantu Ibu dengan penuh semangat.
Ibu menuliskan alamat-alamat pemesan kue apem kami. Pekan ini memang bertepatan dengan sepekan sebelum Ramadhan tiba. Acara Megengan dilaksanakan di pekan ini. Setiap rumah akan berbagi apem dan kue lain ke tetangga dan saudaranya.
“Sil, Silmii.. Assalamualaykum,”
“Waalaykumsalam”
Aku membuka pintu, Hera, teman sekelasku di SDN Ngagel Rejo 01, dia membawa parsel buah-buahan.
“Ini untukmu Sil, Megengan kali ini kubawakan buah, biar kamu dan adikmu tidak makan apem terus,” canda Hera sambil tersenyum.
“Terimakasih Ra,” jawabku lalu menutup pintu.
Setelah Hera pergi, ternyata air mataku menetes. Aku menangis dibalik pintu. Walau hanya bercanda, rasanya kata-kata Hera cukup menyakitkan. Sudahlah lelah membuat kue seharian, perkataan Hera seperti mengejek keadaan kami.
“Tidak usah diambil hati Sil,” kata Ibu sambil memelukku. Rupanya Ibu mendengar percakapanku dengan Hera.
“Kita tidak bisa mengontrol omongan dan sikap setiap orang nak, tapi kita bisa mengontrol omongan dan sikap kita,”
Aku memeluk Ibu lebih erat. Ibu menepuk pundakku.
“Mungkin Hera memang hanya bercanda ya Bu,”
“Betul nak, mungkin juga Silmi capek jadi ingin menangis, mandi dulu sana, Ibu yang menyelesaikan sisanya,”
Aku menuruti perkataan Ibu, mandi akan sangat menyegarkan badan dan fikiranku.
“Sudah dikirim Agung pakai sepeda mba,” kata Yoyo saat kutanya kemana semua apem-apem di ruang tengah.
“Agung tahu alamatnya Yo?”
Yoyo mengangguk, “Sudah ditulis sama Ibu semuanya mba,”
Akhirnya selesai juga pekerjaan hari ini. Aku membantu Ibu mencuci dan membereskan perkakas di dapur. Rumah tukang kue yang sekaligus menjadi rumah produksi harus langsung dibersihkan. Rasanya juga tidak nyaman melihat tumpukan perkakas kotor atau menginjak lantai yang lengket.
“Assalamualaykum Sil,”
Seperti suara Hera…
“Waalaykumsalam..”
Aku membukakan pintu, “Ada apa Ra, ada yang ketinggalan?”
“Umm… kue apemmu masih ada tidak? Aku mau membeli lima puluh biji, kata nenekku yang barusan datang, megengan tidak baik tanpa kue apem,”
Kupersilahkan Hera masuk dan kupanggil Ibu. Ternyata, kue untuk hari ini sudah benar-benar habis tak bersisa. Ibu hanya membuat untuk pemesan hari ini.
“Kalau besok, kami bisa buatkan nak Hera,” kata Ibu tersenyum.
“Oh, besok juga tidak apa-apa tante, tadi nenek berpesan, kalau hari ini kuenya habis, mau pesan untuk besok siang,”
“Boleh nak,”
Hera tersenyum senang, “Terimakasih Silmi, tante.. ini uangnya,”
“Uangnya besok juga tidak apa-apa nak, saat kuenya sudah jadi”
Hera menggeleng, “besok atau sekarang sama saja tante, tadi nenek mencicipi kue buatan tante. Bu Madun membagi kue megengan dan cerita kalau apemnya buatan tante, enak sekali rasanya,”
Kami semua tersenyum, Ibu menerima uang dari Hera, “Syukur kalau enak dan suka nak, besok kami buatkan untuk nak Hera,”
“Terimakasih Bu,”
Setelah Hera berpamitan, kami mengucap syukur pada Tuhan yang Maha Kuasa atas rezeki yang diberikan. Kue Apem alias kue ampun ini akan selalu kami buat dengan cinta. Simbol kesucian bulan penuh rahmat di Surabaya.
- Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024