Layang-layang

Akhirnya layang-layang merah itu putus juga. Ini saatnya berjuang untuk merebutnya, pikir Andri. Secepat kilat ia pun berlari menyusuri pematang. Apapun yang terjadi Andri bertekad untuk memilikinya. Namun ia gagal. Rikolah yang berhasil membawa pulang layang-layang warna merah itu. Andri tak patah arang, ia berjanji akan berusaha lebih keras esok hari.

Siang itu sepulang sekolah Andri bersiap di pinggir lapangan. Ia menatap waspada ke arah langit siang. Rupanya ia mencari layang-layang mana saja yang sedang beradu di atas sana.

“Tunggu saja, kalau salah satu putus aku langsung merebutnya!” gumam Andri penuh semangat.

Tak lama kemudian layangan biru melayang. Andri berseru senang. Sambil membawa galah ia melesat mengejar layang-layang. Namun tidak hanya dia yang melakukannya. Anak-anak lain pun berbondong-bondong mengikuti ke mana perginya si layang-layang. Namun mereka harus kecewa karena mainan dari kertas itu tersangkut di pohon aren yang tinggi.

“Ah, susah kalau begini. Galah pun tak sampai,” gumam Andri.

“Iya. Mau ngambil ke atas, pohonnya setinggi ini. Ngeri!” sambung yang lain.

Dengan wajah kecewa anak-anak itu kembali ke lapangan. Tak terkecuali Andri. Ia kembali duduk di pinggir lapangan dan menunggu layang-layang lain putus. Tiga puluh menit kemudian harapannya terkabul.

Semua anak berlari, memburu layang-layang yang melayang tak tenttu arah. Andri yang bertekad memilikinya berusaha lebih cepat dari yang lain. Namun badannya yang kecil tak mampu bersaing dengan kawan-kawannya yang bertubuh tinggi besar. Ia tersingkir, kesempatan mendapat layang-layang pun hilang.

“Huff, gagal lagi,” keluh Andri kecewa.

Dengan bahu tertunduk ia berjalan pulang. Sesampai di rumah ia merenung di bawah pohon nangka Belanda. Ia mencari cara bagaimana bisa mendapatkan layangan dengan segera.

“Kalau beli nggak punya uang. Kalau minta ibu kasihan. Aduh, gimana ini?”

Andri menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Lama ia berdiam sampai angin membawa selembar daun gadung terbang dan mengenai wajahnya.

“Aih!” Andri menepis daun gadung itu.

Saat itulah ia ingat almarhum kakeknya. Beliau orang yang kreatif dan menyenangkan. Andri sering dibuatkan mainan. Salah satunya layang-layang dari daun umbi gadung.

Caranya gampang. Pertama cari daun gadung tua yang lebar. Bagian kanan dan kiri daun juga harus seimbang. Setelah itu ditusuk dengan lidi yang menjadi kerangka layangan. Selanjutnya lidi diikat dengan benang jahit yang ringan, sehingga tidak memberatkan layang-layang. Nah, setelah itu layangan dari daun gadung bisa langsung diterbangkan.

Sampai di situ Andri tersenyum lebar. Sambil menjentikkan jari ia berkata,”Ah, kenapa aku tidak membuatnya sekarang?”

Sambil menyanyikan lagu “Layang Layang” ciptaan A.T.Mahmud, Andri mulai bekerja. Ia membuat layang-layang dari daun gadung seperti yang dilakukan kakeknya. Tidak lama kemudian ia berlari ke lapangan untuk menerbangkan layang-layang.

Semula tak ada yang memperhatikan. Namun, begitu layangan mengudara, semua orang langsung memperhatikan Andri. Mereka takjub melihatnya menerbangkan layang-layang dari daun gadung.

“Kau ini ada-ada saja, Ndri! Baru kali ini ada yang bikin layang-layang dari daun umbi gadung.”

Andri tertawa. “Tak ada rotan akar pun jadi, Ram. Tak ada kertas minyak, daun gadung pun bolehlah,” katanya jenaka.

“Ah, gimana caranya? Apa kau mau mengajariku?” tanya yang lain.

Andri mengiakan. *Datang saja ke rumahku besok, aku akan mengajari kalian,” katanya disambut kawan-kawannya de

ngan riang.

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar