Legenda Lipan Raksasa

Tidak ada yang tahu bagaimana mulanya, tiba-tiba saja seekor lipan raksasa ketika itu muncul di salah satu pulau di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Pulau itu tidak terlalu luas dan dikelilingi oleh laut Selat Makassar yang tenang. Di sepanjang pesisir pulau, ombak datang sepanjang waktu melepas buih. Andaikan saja ombak tidak lembut, maka pulau itu tentu bagai dikepung gelombang dari segala penjuru dan terancam hilang suatu saat nanti.

Semula warga hidup dengan tenang dan damai. Mereka yang tidak lebih dari seratus kepala keluarga itu bisa nyaman menikmati pulau tanpa mengalami rasa susah. Mereka bahkan seperti sedang menikmati sepotong surga yang jatuh ke muka bumi. Para pendatang kerap merasa takjub dengan nikmat yang melimpah bagi para penghuni pulau.

Pohon-pohon kelapa tegak berdiri sejauh mata memandang di pulau itu. Hijau memenuhi pandangan sehingga yang tersisa di pikiran hanyalah kesegaran dan kesejukan. Kehijauan itu berpadu dengan laut biru dan langit luas yang jernih membawa harapan. Angin selalu berhembus dengan tenang, dan setiap saat pulau dibuai oleh suara desiran pantai, bagai musik alam yang senantiasa terputar untuk memberi ketenangan bagi para pendengarnya.

Namun, semua itu buyar ketika suatu waktu tersebar isu kemunculan seekor lipan raksasa. Rupanya bukan sekadar isu, tetapi benar-benar telah menelan korban. Hal tersebut adalah ujian terbesar dari Sang Pencipta untuk seluruh warga pulau yang kala itu larut dengan kenikmatan hidup.

Awalnya lipan raksasa itu muncul dan menyerang seorang pembuat kapal di pinggir pantai. Keheningan kemudian pecah di sepenjuru pulau. Dua orang saksi melihat dengan kepala sendiri bagaimana lipan yang berukuran raksasa itu menggigit kawannya hingga mati di tempat. Kapal yang sementara mereka kerjakan juga diobrak-abrik oleh si lipan.

“Tidak mungkin. Jangan mengada-ada,” kata kepala desa waktu itu.

“Serius, Pak. Kami tidak mungkin berbohong.” Salah seorang dari saksi berusaha untuk meyakinkan.

“Apa buktinya?” seorang warga di rumah kepala desa menyahut.

Meski dua orang saksi masih gagal meyakinkan orang-orang terhadap apa yang dilihatnya, ketakutan rupanya tidak bisa ditolak oleh mereka. Para penghuni pulau sejak itu mulai disergap kecemasan. Mereka berusaha untuk tidak meyakini ada makhluk raksasa yang bisa mengusik ketenangan warga. Namun, pada kenyataannya keyakinan itu selalu diliputi keragu-raguan. Mereka sungguh mengkhawatirkan kedatangan lipan raksasa yang suatu waktu bisa menyerangnya.

Beberapa hari kemudian, lipan itu muncul kembali dan mematikan seorang anak kecil yang bermain di tepi pantai. Esoknya, dua orang lagi menjadi korban ketika tengah asyik memanen kelapa muda. Seluruh warga kemudian benar-benar mempercayai sepenuhnya tatkala sebuah kapal yang hendak merapat turut diserang oleh si lipan jahat itu.

Pulau yang tenang dan dipenuhi kenikmatan itu lantas menjelma menjadi pulau yang mencekam. Kehidupan warga pulau menjadi terancam. Saat itu setiap rumah mulai diberi perlindungan dengan doa-doa. Mereka juga mulai membekali diri dengan parang-parang tajam nan panjang. Udara di sepenjuru pulau bagai dipenuhi aroma ketakutan. Tidak ada lagi aktivitas warga di malam hari. Kegiatan-kegiatan di siang hari pun mulai dibatasi, kecuali untuk hal-hal penting dan sangat mendesak.

Pulau itu kemudian menjadi sunyi sekali. Bila orang luar berkunjung, mereka mungkin akan mengira bahwa pulau itu tidak berpenghuni. Padahal, warga bersembunyi di dalam rumah-rumah panggung mereka. Jalan-jalan lengang. Di malam hari, nyaris hanya suara-suara binatang malam yang terdengar, bersahut-sahutan dengan deburan ombak di pantai.

Sampai suatu hari, sejumlah pemuda mulai geram dan kehilangan kesabaran. Beberapa hari terakhir itu memang tidak ada kabar mengenai kemunculan lipan raksasa lagi. Olehnya, para pemuda berani keluar untuk berkumpul di rumah kepala desa pada sore hari. Masing-masing pemuda membekali diri sendiri dengan senjata parang yang sudah diasah sedemikian rupa.

“Apa yang harus kita lakukan, Pak kepala desa? Mana mungkin kita terus berdiam diri di rumah,” ujar seorang pemuda.

Kepala desa kebingungan. Ia sudah mencoba berpikir mencari solusi, tetapi belum mendapatkan jawaban yang terbaik. Ia belum pernah menghadapi masalah seperti itu.

“Apakah ada di antara kalian punya kenalan yang bisa menjinakkan lipan itu?” kepala desa akhirnya berkata.

Para pemuda bertatap-tatapan. Bisik-bisik terdengar. Namun, kesemuanya menggeleng. Tidak ada yang tahu siapa yang bisa menjinakkan lipan.

“Tapi, sepertinya lipan itu tidak muncul lagi,” kata kepala desa lagi.

“Si lipan itu pasti akan muncul lagi, Pak kepala desa. Kita harus berbuat sebelum korban berjatuhan lebih banyak.”

“Kita lawan saja lipan raksasa itu!” seorang pemuda dari samping bersuara dengan lantang. Ia mengacungkan parang panjangnya yang berkilat tertimpa sinar matahari sore.

Kepala desa mengernyit, tak langsung menanggapi. Ia sendiri tidak yakin apakah langkah perlawanan itu bisa berhasil atau tidak. Ia juga mengkhawatirkan korban yang akan berjatuhan bila sampai para pemuda nekat melawan si lipan.

“Benar, Pak kepala desa. Kita bunuh saja lipan itu. Kita bisa,” sahut seorang pemuda lagi dengan acungan parang yang tak kalah menggeloranya.

“Ayo, kita lawan lipan raksasa itu!”

Semua pemuda yang hadir pada saat itu setuju untuk melakukan perlawanan. Mereka ingin berperang memusnahkan si lipan yang meresahkan itu.

Melihat semangat yang membara dari para pemuda, kepala desa tak bisa berkata banyak. Ia pun merestui para pemuda untuk melindungi pulau itu dari gangguan si makhluk asing. Kumandang perang diumumkan. Kepala desa juga mengajak seluruh pria dewasa untuk turut mengangkat parang.

Hari-hari berikutnya digelar pertemuan-pertemuan untuk mengatur siasat bagaimana memusnahkan si lipan. Mereka melakukan pertemuan-pertemuan dengan penuh kewaspadaan, tidak ada yang tahu kapan kemunculan si lipan. Bisa saja di tengah pertemuan si lipan raksasa itu datang dan menyerang semua orang.

“Kita akan bagi-bagi kelompok,” kata kepala desa memberi pengarahan. “Kelompok satu, bertugas memancing si lipan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Kelompok dua, memegang jaring raksasa untuk menangkap si lipan. Kelompok tiga, saat lipan sudah masuk perangkap, langsung serang dengan senjata-senjata yang kita punya.”

Semua orang mengangguk mantap.

Tibalah saat yang menegangkan itu. Belasan orang mulai berkumpul di pinggir pantai untuk mencari keberadaan si lipan. Mereka akan memancing si lipan agar memunculkan diri lagi. Hampir sebulan si lipan tidak tampak meskipun tetap saja memberikan rasa takut kepada seluruh warga.

Hari itu para perempuan dan anak-anak tetap berjaga di rumah masing-masing. Mereka tidak diperkenankan untuk terlibat atau menyaksikan pertempuran melawan si lipan.

Sementara itu puluhan orang lainnya bersembunyi di balik daun-daun kelapa. Mereka memanjat di atas sana untuk memantau dan menunggu perkembangan. Mereka memegang tali tambang yang kuat dan sudah dirangkai menjadi jaring untuk menangkap si lipan. Rencananya, bila lipan raksasa itu keluar dari persembunyiannya, ia akan diarahkan untuk masuk ke kawasan pepohonan kelapa, dan perangkap sudah menunggu di sana.

Tim yang lain juga menunggu di atas pohon kelapa dengan memegang parang masing-masing. Bila lipan sudah masuk perangkap, tim penyerang ini yang akan  memusnahkan si makhluk jahat itu.

Semua orang sudah siap di tempatnya masing-masing.

Para tim pemancing mulai memukul-mukul panci di sepanjang garis pantai. Bunyi-bunyian terdengar sangat ramai. Mereka menyusuri pantai sambil memanggil si lipan raksasa hingga mengelilingi pulau.

“Oy, Lipan raksasa, keluar kau!”

“Mari ke sini, Lipan raksasa, kalau berani.”

Namun, sampai matahari meninggi di atas kepala orang-orang, si lipan tidak menampakkan diri sama sekali.

Mereka semua heran. Orang-orang yang bersembunyi di balik pohon kelapa mulai turun kembali. Mereka berkumpul lagi di rumah kepala desa.

Sebagian dari mereka merasa kecewa karena gagal menangkap dan membunuh si lipan. Namun, sebagian lagi merasa bersyukur karena yakin bahwa si lipan sudah pergi dari pulau.

“Lipan itu sudah tidak akan muncul lagi. Kampung kita kembali aman,” kata seseorang yang hadir di situ.

“Belum tentu. Belum. Lipan itu pasti sedang bersembunyi sekarang. Kita harus buru terus,” seseorang yang lain melontarkan pendapat.

“Lalu bagaimana lagi caranya mengejar si lipan?” tanya kepala desa.

“Kita cari terus saja.”

“Sampai kapan?”

Kepala desa lebih percaya bahwa kampung sudah benar-benar aman. Orang-orang pun sudah kelelahan dan berharap supaya bisa kembali hidup dengan normal. Mereka yang hadir di rumah kepala desa lebih banyak yang setuju untuk menghentikan perburuan si lipan raksasa itu.

Situasi memang kembali normal hari-hari berikutnya. Para nelayan kembali melaut. Para pedagang kembali menggelar jualannya, dan menyeberang ke dataran Pangkep. Anak-anak sudah kembali ke sekolah, dan seterusnya.

Namun, semua itu hanya bertahan selama satu minggu. Si lipan raksasa tiba-tiba muncul lagi dari dalam tanah dan menyerang beberapa orang yang tengah menikmati pemandangan pantai.

Kampung geger lagi. Kabar kemunculan si lipan kembali menyebar di seluruh pulau. Tanpa butuh waktu lama, kaum laki-laki sudah berkumpul di lokasi kejadian dengan membawa senjata parang. Kaum perempuan dan anak-anak berlarian histeris menuju rumah masing-masing.

Lipan raksasa itu sungguh menyeramkan. Wajahnya sangat buruk. Ia menggerak-gerakkan taringnya yang tajam. Antena di kepalanya terjulur seperti pedang yang bisa mengancam siapa saja. Warna kulitnya merah seperti menyala-nyala terkena cahaya matahari. Kaki-kakinya mencengkeram pasir pantai, dan sewaktu-waktu menggeliat untuk menebar ancaman.

Si lipan raksasa dan warga sudah berhadap-hadapan di pinggir pantai itu. Satu melawan puluhan orang. Deru ombak menjadi latar dan saksi pertempuran mereka.

Parang-parang yang tajam sudah teracung. Ujung-ujung parang itu berkilat-kilatan di udara. Kemudian, dengan aba-aba kepala desa, orang-orang berlarian menyerbu si lipan. Debu dan pasir pantai bertebaran bersamaan dengan suara gemuruh dari para warga.

Si lipan raksasa seperti tidak takut dikepung orang-orang yang memegang parang. Ia meraung untuk  memberi peringatan. Namun, orang-orang tetap saja berlari menghampirinya. Dengan sekali sentakan, si lipan raksasa memanfaatkan kaki-kakinya untuk menerbangkan pasir putih ke hadapan mereka.

Para warga terpaksa menghentikan langkah tiba-tiba. Serangan pasir itu mengganggu pandangan. Banyak yang matanya kemasukan pasir sehingga harus berbalik arah sejenak. Mereka tidak siap dengan taktik si lipan.

Beberapa saat kemudian, mereka menyerbu lagi dengan strategi menyebar ke sekeliling lipan. Dengan sekuat tenaga, mereka menembus pasir yang beterbangan hingga mendekati si lipan. Namun, jarak terdekat yang sanggup mereka capai hanya di sekitar kaki-kaki lipan. Binatang raksasa itu langsung dengan sigap menendang orang-orang yang berjarak terlalu dekat. Sekali menghentakkan ekor, orang-orang bakal terlempar jauh.

Beberapa warga sudah mengayunkan parangnya, tetapi dengan mudah disingkirkan oleh si lipan. Parang yang sempat mengenai kulit kaki si lipan pun tak sampai melukainya.

Beberapa orang yang menyerang dari depan tidak berkutik sama sekali. Antena si lipan terlalu tangguh untuk dilawan. Beberapa orang bahkan harus meregang nyawa karena tergigit. Makhluk menyeramkan itu tidak tanggung-tanggung untuk mematikan lawannya.

Si lipan raksasa benar-benar mengamuk dan memporak-porandakan pasukan warga yang menyerangnya.

Orang-orang mulai mundur dan berlarian. Kepala desa turut berteriak supaya warga segera menghindar. Mereka menyerah. Mereka segera mencari tempat perlindungan. Mereka berlari pontang-panting ketakutan.

Beruntunglah karena si lipan tidak mengejar para warga. Lipan raksasa tampak puas telah memenangkan pertarungan dan membunuh beberapa orang penyerangnya. Tak lama, lipan itu menghilang lagi, membenamkan dirinya ke dalam pasir.

Suasana pulau kembali mencekam. Isak tangis terdengar dari beberapa rumah. Mereka menangis sedih karena kehilangan, mereka menangis sedih karena ketakutan. Mereka seperti sudah tidak punya harapan lagi.

Hari berikutnya orang-orang sudah mulai berpikir untuk meninggalkan pulau. Para pemuda yang dulunya bersemangat untuk melawan si lipan sudah tidak punya nyali lagi. Mereka kehabisan tenaga. Mereka kehabisan akal untuk menyerang.

Berbondong-bondong orang ke dermaga untuk menyeberang. Mereka masih sangat ketakutan. Sewaktu-waktu si lipan raksasa bisa muncul lagi dan menyerang. Tidak ada yang tahu. Namun, mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus keluar rumah dan menuju dermaga.

Syukurnya, si lipan raksasa tidak muncul ketika hampir semua penghuni pulau sudah menyeberang lewat kapal menuju dataran Pangkep.

Penghuni pulau yang bertahan hanya kepala desa dan tiga orang rekannya. Mereka bertahan semata-mata karena kecintaanya terhadap kampung halaman yang dulunya sangat makmur itu. Mereka tetap yakin bahwa suatu saat makhluk raksasa pengganggu itu akan hilang, dan kampung halamannya kembali seperti sediakala. Selain itu, mereka juga akan menjaga harta benda para warga yang ditinggalkan penghuninya.

**

Kabar mengenai lipan raksasa terdengar sampai di lingkungan istana kerajaan Bugis ketika itu. Raja memanggil para utusan dari warga pulau yang minggat mencari keselamatan.

“Benarkah ada seekor lipan raksasa di sana?” tanya raja.

“Benar Yang Mulia. Lipan itu sudah menelan banyak korban. Kami takut dan memilih untuk meninggalkan pulau.”

“Apa kalian sudah mencoba untuk membunuhnya?” raja kembali bertanya.

“Sudah, Yang Mulia. Tapi, kami gagal. Lipan itu tak bisa dikalahkan.”

Raja geram mendengarnya. Ia segera memanggil dua orang pendekar kerajaan yang hebat dalam bertarung. Keduanya adalah La Suman dan Sampean. La Suman sendiri berasal dari suku Mandar.

“Kalian saya percayakan untuk bisa memusnahkan makhluk raksasa itu. Kalian adalah pelindung rakyat yang bisa diandalkan,” tutur raja.

Mereka taat sepenuhnya kepada raja, dan langsung mempersiapkan diri untuk menyeberang ke pulau. Dua pendekar itu tidak punya senjata khusus kecuali pedang yang memang selalu menjadi senjatanya. Mereka juga tidak membawa pasukan.

Keesokan hari, La Suman dan Sampean berhasil merapat di pulau. Mereka miris melihat pulau yang kini kosong seperti tak berpenghuni akibat gangguan dari makhluk raksasa. Mereka pun bertekad untuk menghancurkan lipan raksasa itu.

Sesuai permintaan raja dan para utusan warga, La Suman dan Sampean terlebih dahulu mencari kepala desa dan orang-orang yang masih bertahan di pulau.

“Kalian siapa?” kepala desa sedikit terkejut melihat dua orang asing yang datang ke rumahnya. Ia belum pernah melihat mereka sebelumnya, dan sudah dipastikan bahwa semua warga sudah meninggalkan pulau.

“Saya La Suman, dan ini Sampean. Kami diutus oleh raja—.”

Belum selesai perkenalan dari La Suman, si kepala desa memotong sambil memasang ekspresi yang lebih terkejut dari sebelumnya. “La Suman dan Sampean? Sang pendekar itu?”

Rupanya nama La Suman dan Sampean pernah terdengar di kampung itu. Kehebatan mereka dalam bertarung sudah tidak diragukan lagi. Kepala desa dan tiga orang rekannya sangat gembira. Mereka dengan segera mempersilakan La Suman dan Sampean untuk masuk ke dalam rumah.

“Kami sangat senang raja mau menolong kami dan mengirim kalian ke sini,” ungkap kepala desa. “Kami sudah putus asa menghadapi lipan raksasa itu. Kami sudah coba melawan tapi gagal. Banyak orang yang sudah jadi korbannya.”

“Kami sudah mendengarnya, Pak. Kami akan menghancurkan lipan itu. Di mana biasanya dia berada?” Sampean bertanya.

“Tidak tahu. Lipan itu selalu muncul tiba-tiba. Tapi biasanya di pinggir pantai dan bersembunyi di dalam tanah.”

“Baiklah, kita akan cari besok.”

Keesokan pagi, La Suman, Sampean, kepala desa, dan tiga orang lainnya mulai berjalan menyusuri pantai. Mereka membawa senjata masing-masing.

“Kapan si lipan itu terakhir muncul?”  La Suman bertanya.

“Kira-kira dua minggu yang lalu. Waktu itu kami beramai-ramai melawan, tapi justru banyak yang jadi korban,” jawab kepala desa.

“Bagaimana caranya memancing si lipan itu keluar?” tanya La Suman lagi.

“Kami tidak tahu. Si lipan itu selalu muncul tiba-tiba. Dulu kami pernah pancing dengan suara pukulan panci, tapi tidak berhasil.”

“Saya tahu,” Sampean tiba-tiba menyahut. Ia menyarankan agar mereka bermain pedang-pedangan. Suara pukulan pedang atau parang bisa menarik perhatian si lipan untuk keluar dari sarangnya.

Rupanya berhasil. Si lipan itu benar-benar muncul dari dalam tanah. Pasir-pasir pantai di sekitar tempatnya muncul beterbangan. Lipan itu meloncat seperti naga yang terbang di udara.

Sontak kepala desa dan ketiga rekannya gemetaran. Tadinya mereka yakin bisa terlibat dalam peperangan melawan si lipan. Namun, mengingat kejadian tempo hari saat lipan mengamuk dan membunuh banyak orang, keberanian mereka menjadi surut.

Sementara La Suman dan Sampean sudah memasang aba-aba. Mereka berdua mengambil gaya kuda-kuda untuk bersiap-siap menghadapi serangan ataupun langsung menyerang si lipan.

La Suman menyadari ketakutan kepala desa dan ketiga orang itu. Ia menyarankan supaya mereka menjauh saja daripada nanti akan menjadi korban.

“Kalian sembunyi saja kalau mau. Kami berdua bisa mengatasi ini,” kata La Suman.

“Baiklah. Kami memang trauma menghadapi makhluk raksasa itu.”

Kepala desa dan rekan-rekannya segera menghindar. Mereka mencari perlindungan dengan memanjat pohon-pohon kelapa, tak jauh dari bibir pantai.

Si lipan mulai meraung dan memamerkan taringnya. Antena juga dimain-mainkan untuk memberi ancaman kepada La Suman dan Sampean.

Dua pendekar itu sama sekali tidak takut. La Suman mulai bersiap-siap. Ia genggam pedangnya dengan tangan kanan dan penuh kekuatan. Lantas ia berlari menyerang. Bagai harimau yang hendak menyergap mangsa, La Suman melayang di udara dan menebaskan pedangnya pada bagian kaki lipan yang paling mudah dijangkaunya. Setelah itu La Suman berguling di atas pasir dan bangkit lagi. Napasnya tersengal.

La Suman mengira sudah berhasil melukai si lipan. Namun, ternyata binatang itu tidak terluka, apalagi berdarah.

Giliran Sampean yang menyerang. Ia mengarahkan pedang ke bagian kepala lipan. Tetapi antena lipan di bagian depan lebih dulu menerjangnya. Sampean terlempar dan tersuruk di pasir.

Lipan raksasa mulai mengamuk. Ia uring-uringan mengibaskan kaki sehingga debu dan pasir beterbangan.

La Suman dan Sampean tidak begitu terganggu dengan pasir-pasir itu. Mereka kembali menyerang secara bersamaan di bagian yang terpisah. Pertarungan berlangsung sengit. Tebasan demi tebasan dua pendekar itu layangkan untuk melumpuhkan si lipan. Namun, si lipan memang sangat tangguh.

Berkali-kali La Suman dan Sampean tersungkur. Keringat bercampur debu sudah memenuhi tubuh mereka. Napas mereka tersengal-sengal di antara kelelahan bertarung selama berjam-jam.

Kepala desa dan ketiga rekannya di atas pohon kelapa mulai gelisah. Mereka khawatir La Suman dan Sampean akan kalah.

Namun, dua pendekar itu belum menyerah. Keduanya kini sama-sama tengah mencari titik lemah dari si lipan.

“Sepertinya di bagian perut,” ujar Sampean. Tanpa menunggu respon dari La Suman, ia maju mencari jalan menuju perut lipan. Ia melempar pedangnya untuk mengecoh perhatian si lipan. Kemudian dengan cekatan ia sudah sampai di perut lipan.

Sampean memukul dan menendang berkali-kali pada perut lipan, dan binatang itu bereaksi kesakitan. Sampean semakin yakin telah menemukan titik lemah si lipan. Ia berteriak memanggil La Suman untuk segera ikut menyerang.

Sebelum La Suman sempat sampai ke dekat Sampean, lipan itu menggelinjang, merebahkan diri, dan menjerat Sampean menggunakan kaki-kakinya. Si lipan melilit tubuh Sampean, seperti sedang memeluknya ke atas perut. Sampean berontak namun tak kuasa melepaskan diri.

Tanpa menunggu lama-lama, La Suman segera menebaskan pedangnya ke kaki lipan agar bisa melepas jeratan Sampean. Tapi, gagal. Kaki-kaki lipan sama sekali tidak mempan oleh pedang. La Suman mulai kebingungan. Ia terengah-engah. Ia mencari cara untuk menusuk bagian perut lipan.

Tampak lipan itu melindungi dirinya dengan mencengkeram Sampean sehingga tidak ada jalan bagi La Suman.

“Ayo tusuk,” Sampean masih bisa menjerit.

La Suman masih bingung. Tidak ada celah untuk menusukkan pedang ke perut lipan.

Sampean lantas memberi isyarat agar La Suman menusuk tubuhnya supaya tembus ke perut lipan. La Suman menggeleng tidak ingin. Tidak mungkin ia membunuh rekannya sendiri.

Terlihat si lipan semakin mencengkeram tubuh Sampean. Bahkan Sampean sudah tercekik dan lemah. Sekali lagi ia memberi isyarat kepada La Suman agar mengikuti anjurannya.

Kemudian setelah berpikir tidak ada jalan lain, La Suman dengan terpaksa menerabas dan menusuk perut Sampean sampai tembus ke perut lipan. Darah memuncrat. Sampean tampak tersenyum sebelum akhirnya kehilangan nyawa. Lipan itu menggeliat, menggelepar, dan tak lama juga mati tak berdaya.

**

Mendengar kabar terbunuhnya lipan raksasa itu, orang-orang mulai kembali ke pulau. Mereka bersuka cita karena tidak ada lagi makhluk pengganggu yang mengusik ketenangan warga. Sekaligus juga mereka berduka atas kematian sang pendekar Sampean.

Untuk menghormati Sampean sebagai pahlawan dan mengenang pengorbanan serta keberaniannya, mereka mengubur  jasad si lipan raksasa bersama dengan jasad Sampean.

Sampai sekarang kuburan lipan raksasa dan Sampean masih meninggalkan jejak di pulau. Pulau itu lantas dinamai oleh La Suman sebagai Pulau Marasebe. Dalam bahasa Mandar, ‘mara’ artinya marah, dan ‘sebe’ artinya terbang, untuk mengingatkan tentang pertempuran melawan si lipan yang terbang dengan penuh kemarahan.  Sekarang, oleh karena perkembangan pengucapan, nama pulau itu dikenal dengan Pulau Marasende, Kecamatan Liukang Kalmas, 10 jam berlayar dari dataran Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar