Aku sangat menyadari betapa perhatiannya Ibuku akan derasnya arus teknologi dan globalisasi masa kini, sehingga mengikis perlahan kearifan lokal negeri. Sering sekali terjadi, Ibuku mengomeliku kalau aku kelamaan main game di kamar seharian. Tapi,aku kan, sudah kelas 6 SD, umurku juga sudah 13 tahun.
Kalau Ibu sudah naik oktaf menasehatiku untuk bermain di luar, ataupun mencoba main mainan tradisional tanpa gadget di tanganku, aku suka ngeles.
“Ibu sayang, lelaki itu pasti punya hobi. Hobiku main game, bu” ujarku berkelit.
Ya, mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa menghindar perbedaan zaman yang terjadi karena hadirnya teknologi. Karena beda zaman, berbeda pula hiburan yang dipilih di kala senggang. Kalau dahulu, tampak anak-anak berlarian main karet, bentengan, ataupun bermain layangan di sore hari.
Berbanding terbalik dengan zaman sekarang yang melahirkan generasi ‘menunduk’ yang asyik dengan dunianya di sosial media atau game online. Aku akui, minimnya interaksi sosial sering terjadi, karena dari anak hingga dewasa lebih senang menghabiskan waktu dengan gawainya dan terus asyik menunduk dengan smartphone di tangannya.
Inilah yang Ibuku khawatirkan. Biasanya dari luar kamar ibuku sudah teriak-teriak “Aldi, Jangan main game terus, nak.”
“Coba sesekali main futsal atau apalah sama teman-temanmu. Dulu, waktu ayah ibu kecil kami sering bermain di lapangan bersama teman-teman. Ibu main karet, ayahmu main layangan, lho”, ucap Ibu panjang lebar.
“Iya, bu” jawabku sekedarnya.
Mau tak mau aku menurutinya walaupun rasa malas menghantui. Aku jalan-jalan ke lapangan dekat rumah.
“Hmm…Enakan main game online di rumah” ucap Aldi dalam hati.
Nah, apalagi sekarang memasuki bulan puasa dan cuti bersama Idul Fitri. Rasanya bisa malas dan ngantuk seharian. Menurutku, lebih enak menghabiskan waktu main game sambil ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa tiba. Jadi,aku diam-diam main game terus pura-pura tidur, kalau Ibu tiba-tiba sidak di kamar.
Tak terasa lebaran sebentar lagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tiga hari sebelum lebaran, aku akan mudik. Aku mudik ke Bantul, Yogyakarta, untuk menginap di rumah Eyangku dan mengunjungi saudara Ibuku.
Aku dan keluargaku berangkat sekitar pukul 03.00 dini hari dan menghabiskan waktu sehari penuh di perjalanan karena macet yang aku alami bersama dengan pemudik lainnya. Aku sampai di rumah Eyangku sekitar pukul 06.00 pagi.
Sesampainya di rumah Eyang, aku membantu Ibu menurunkan barang bawaan.
“Ibu, badanku sakit semua. Aku istirahat di kamar dulu ya.”
“Salim gih sama Eyang, Bude dan Pakdemu dan sepupumu. Setelah itu ganti baju baru istirahat ya nak”, kata Ibu sambil tersenyum.
Aku pun menuruti perkataan Ibuku.
Pas aku keliling rumah Eyang, aku bertemu dengan Raka. Ia mengajakku bermain ke desa sebelah.
“Aldi, nanti sore kalau sudah tidak capek, temani aku ke Desa Pandes ya. Itu yang dikenal sebagai Kampung Dolanan. Kampung Dolanan dekat sekali dari sini. Aku ingin mencoba banyak permainan disana” pinta Raka memohon.
“Oh, iya boleh. Aku pernah dengar soal Kampung Dolanan yang membuat banyak permainan tradisional mulai dari wayang kertas, kitiran, hingga othok-othok. Aku cuma tau beberapa namanya, tapi belum pernah secara langsung melihatnya. Aku dengar pengrajinnya sudah tua semua.”
“Iya, betul yang itu. Lagi hits sering diliput TV juga, Al” tambah Raka.
Sorenya, Aldi dan Raka ikut ngabuburit ke Kampung Dolanan. Mereka berpamitan akan pulang sebelum Maghrib kepada orang tuanya.
“Ibu sewaktu kecil dulu, sering main di sana Al. Bawakan Ibu kitiran ya, buat oleh-oleh nanti,”
pesan Ibu.
“Oke, bu!” jawab Aldi.
Memang benar jaraknya ke Kampung Dolanan dekat sekali. Tak sampai 15 menit jalan kaki. Ternyata, sesampainya disana di Kampung Dolanan sedang ada kunjungan turis lokal. Aldi dan Raka ikut mendaftar ke pengelola desa untuk ikut paket wisata. Paket wisata yang mereka dapat diantaranya kunjungan door to door ke rumah para pengrajin, outbond, dan rangkaian acara permainan tradisional yang dilakukan anak-anak setempat.
Saat berkeliling, Aldi dan Raka melihat cara membuat Kitiran atau kincir angin warna-warni yang bisa digenggam dan juga othok-othok. Othok-othok merupakan mainan bisa dijalankan dengan cara didorong dan akan mengeluarkan suara tokotokotok saat berjalan.
Saat sedang memperhatikan cara membuatnya, Aldi pun teringat titipan Ibunya.
“Oh, iya aku harus beli satu untuk dibawa pulang” gumamnya.
Setelah disuguhkan cara membuat mainan, pemandu wisata Pak Heru juga mengajak kami untuk menonton pertunjukan permainan tradisional yang sedang dilakukan oleh anak muda di Kampung Dolanan.
Ada yang sedang bermain egrang, congklak hingga bermain gobak sodor. Dan di bagian panggung pertunjukan ada pula yang sedang menari tarian tradisional hingga yang diiringi dengan pertunjukan gamelan.
Setelah asyik menonton pertunjukan, Aldi daritadi penasaran ingin mencoba egrang. “Seumur-umur aku belum pernah mencobanya, Rak. Cobain, yuk!” pinta Aldi.
“Tanya dulu Pak Heru, Al” ujar Raka.
Wah keren sekali, ada egrang! sorak Aldi.
“Pak Heru, apakah saya dan Raka boleh mencobanya?”
“Tentu, saja. Silahkan.”
Aldi dan Raka keasyikan main egrang sampai lupa waktu.
Di akhir paket wisata Pak Heru juga menceritakan sedikit kisah Kampung Dolanan. Ternyata, di Yogyakarta sendiri, Kampung Dolanan Pandes pernah viral beberapa tahun belakangan. Kampung ini menawarkan beragam mainan anak tradisional sebagai daya tarik bagi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Masyarakat setempat bekerja sama dengan Dinas Pariwisata ingin menghidupkan kembali Dusun Pandes pernah menjadi pusat pembuatan dolanan anak sejak dulu. Namun, sayangnya tidak ada regenerasi untuk melanjutkan pekerjaan tersebut.
Nah, Pak Heru juga berpesan kepada para pengunjung sedari kecil, anak perlu ditanami rasa bangga atas nilai kearifan lokal dan sering diajak untuk mengunjungi lokasi wisata kebudayaan demi mengenalkan ragam budaya Indonesia. Hal ini sebagai upaya mewariskan budaya, memupuk kerjasama dan toleransi serta dapat mengurangi dampak negatif penggunaan gadget berlebihan
“Bapak, Ibu dan adik-adik sekalian, kita harus mengajak anak untuk mengisi waktu luang dengan bermain mainan tradisional yang sederhana daripada kecanduan gadget” ujar Pak Heru mengingatkan.
Raka pun mencolek Aldi sambil tersenyum meledek. Aldi hanya tersenyum kecut.
Setelah acara paket wisata di Kampung Dolanan selesai tepat sebelum Adzan Maghrib berkumandang, Aldi dan Raka kembali pulang ke rumah Eyang.
Dan tiba-tiba Aldi nyeletuk “Rak, terimakasih, ya aku sudah diajak kesini. Daripada Ibuku ngomel terus aku main game.hehehe Ternyata, permainan tradisional Indonesia tidak kalah seru.”
Iya, kamu harus mengurangi kebiasaan itu, Al. Main game sih sah-sah saja, tapi kalau terlalu berlebihan juga tidak baik” ujar Raka sambil menepuk bahu Aldi.
Di perjalanan dua bersaudara itu bertukar kisah dan tertawa bersama.
*****
“Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”
Sumber gambar : iStock