“Boneka ini punyaku!” teriak Prisa sambil menarik boneka Barbie ke arahnya.
“Enggak! Ini punyaku! Aku yang mainin lebih dulu!” balas Ditya tak mau kalah.
Krek! Boneka Barbie yang dipegang Prisa dan DItya patah. Mereka saling menatap dengan marah.
“Tuh, kan! Gara-gara kamu, Barbie-nya jadi rusak!” bentak Prisa.
“Kakak sih yang enggak mau ngalah! Yang tua harusnya yang ngalah ke adeknya!” Ditya tidak mau kalah.
“Setop!” Ayah yang sudah lama bersabar mendengar tingkah kedua putrinya di dalam mobil akhirnya melerai mereka. “Kita udah sampai di rumah Aki dan Nini. Jangan bertengkar lagi, malu dilihat sama Aki dan Nini.”
Prisa dan Ditya akhirnya diam, meski mulut mereka masih cemberut.
“Sudahlah. Nanti kita main permainan yang lebih seru di rumah Aki dan Nini,” hibur Ibu.
Mereka pun turun dari mobil. Prisa dan Ditya melihat sebuah rumah bergaya lama. Rumah ini disebut Imah Badak Heuay yang dalam Bahasa Sunda berarti “rumah badak menguap”. Namanya memang terdengar lucu, tetapi nama rumah ini tidak dibuat asal-asalan. Atap rumah ini kalau dilihat dari samping, seperti mulut badak yang terbuka lebar, seperti sedang menguap. Selain itu, kata Ibu, rumah ini dibuat untuk melindungi dari serangan binatang buas.
“Wah, incu kuring parantos sumping,” sambut Aki dengan Bahasa Sunda.
“Apa itu artinya, Bu?” tanya Ditya.
“Artinya, wah cucuku udah datang. Masa begitu saja kamu enggak tahu,” kata Prisa sombong.
“Apaan, sih! Bu, Kakak sering ngajak ribut!”
“Sudah, cukup!” Ayah kembali menegur putri-putrinya. “Bapa, kumaha kabarna? Damang? (Ayah, bagaimana kabarnya? Sehatkah?)” Ayah menyalami Aki dan Nini.
“Sae, sehat. Kumaha sawangsulna? Sae oge? (Baik, sehat. Bagaimana sebaliknya? Sehat jugakah?)”
“Sehat,” jawab Aki.
“Indung mana?” tanya Ibu.
“Indung lagi masak. Katanya enggak sabar tunggu cucu-cucunya datang..” Aki akhirnya berbicara dengan Bahasa Indonesia. “Ayo, masuk. Kalian istirahatlah.”
Mereka semua masuk ke dalam rumah. Nini yang sudah selesai memasak mengajak anak dan cucunya untuk makan di ruang makan. Mereka disuguhkan nasi dengan berbagai lauk-pauk yang dihidangkan di atas daun jati, tidak menggunakan piring.
“Kenapa enggak pakai piring, Ni?” tanya Ditya. “Emangnya enggak tumpah?”
“Enggak bakalan tumpah, kok. Ini namanya nasi jamblang. Nasi ini khas dari Jamblang, Cirebon. Bungkus nasi ini pakai daun jati, mengingatkan kita dengan sulitnya orang-orang di masa penjajahan dulu yang harus membawa bekal dengan bungkus daun jati.”
“Oh, begitu, ya, Ni.”
Mereka semua menyantap makanan mereka dengan lahap. Prisa dan Ditya pun sangat menyukai masakan Nini mereka.
Setelah makan. Prisa dan Ditya merasa bosan. Akhirnya, Prisa kembali mengungkit soal boneka Barbie yang sudah rusak itu.
“Gara-gara kamu, sih! Kita jadi enggak ada mainan!” gerutu Prisa.
“Kakak, sih, enggak mau ngalah sama aku!” Ditya tidak mau kalah.
“Sudah, sudah! Jangan berantem lagi. Kita main yang lain aja, ya?” saran Ibu.
“Main apa kita, Bu?” tanya Ditya penasaran.
Ibu berjalan masuk ke dalam kamar, kemudian mengeluarkan papan kayu panjang dengan 16 lubang dan menaruhnya di lantai. Ada 14 lubang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya.
“Apa itu, Bu?”
“Ini namanya congklak.” Lalu Ibu mengeluarkan biji-bijian berwarna hitam dari plastik.
“Apa ini?”
“Ini namanya biji sawo. Sebenarnya untuk main congklak ini enggak harus pakai biji sawo, kok. Bisa pakai kerang, biji kopi, bahkan kerikil,” jelas Ibu. “Nah, sekarang kalian duduk berhadap-hadapan, ya.” Prisa dan Ditya menuruti perkataan Ibu. Ibu memberikan mereka biji sawo dalam jumlah banyak. “Kalian isi 7 lubang kecil di sisi depan kalian. Tiap lubang diisi dengan 7 biji. Jangan sampai kurang dan lebih, ya. Terus untuk lubang yang besar, kalian jangan isi biji. Dibiarkan kosong aja.”
“Kenapa enggak diisi, Bu?”
“Ini namanya ‘rumah’. Yang sebelah kiri Prisa ini rumah Prisa. Yang di sebelah kiri Ditya, ini rumah Ditya,” jelas Ibu sambil menunjuk tiap rumah milik anak-anaknya, “kalian baru bisa isi ini selama permainan berlangsung.”
Prisa dan Ditya menurut. Setelah mereka mengisi setiap lubang kecil di sisi mereka, Ibu mulai menjelaskan peraturan bermain congklak.
“Sekarang kalian suwit dulu, siapa yang main duluan.” Prisa dan Ditya melakukan suwit batu-gunting-kertas, dimenangkan oleh Ditya.
“Nah, Ditya pilih lubang yang mana?”
“Yang ini!” Ditya menunjuk lubang ketiga dari sebelah kanan.
“Kamu ambil semua biji di lubang itu, lalu kamu masukkan 1 biji ke lubang di sebelah kiri”
“Habis itu?”
“Lanjutkan lagi taruh 1 biji ke lubang sebelah kirinya lagi, berlawanan arah jarum jam, sampai biji di tanganmu habis. Jangan lupa masukkan 1 bijimu ke rumahmu, jika melewati rumah. Tapi jangan menaruh biji di rumah lawan. Ditya sudah paham?”
Ditya mengangguk. Ia mengikuti perkataan Ibu, lalu bijinya habis di lubang pada sisi Prisa.
“Habis itu gimana, Bu?”
“Kamu bisa ambil biji itu. Isi lagi seperti tadi. Tapi kalo kamu mengisi lubang yang kosong dengan 1 bijimu di sisi lawan, kamu harus berhenti main karena itu giliran lawan. Kalo kamu berhenti mengisi biji di rumahmu, kamu bisa lanjut mengambil biji di lubang sisimu. Tapi kalo kamu berhenti mengisi biji di lubang sisimu, kamu bisa ambil biji yang ada di seberangmu, punya lawan. Ini istilahnya nembak.”
Ditya terus mengisi biji, hingga dua putaran ia kehabisan biji-bijinya. Prisa memulai permainan, hebatnya Prisa selalu bisa mengisi setiap lubang dengan biji dan tak pernah kehabisan biji dalam genggamannya.
Hingga akhirnya, permainan dimenangkan oleh Prisa. Ia berhasil mengumpulkan 53 biji sedangkan Ditya mengumpulkan 46 biji.
Tak disadari, ternyata hari sudah berganti menjadi sore. Prisa dan Ditya yang mengira akan bosan di rumah Aki dan Nini-nya justru mendapatkan permainan baru yang dapat dimainkan berdua.
“Kenapa, sih, Ditya kalah?” Ditya cemberut.
“Ini cuma permainan, kok. Yang penting Ditya sudah main dengan jujur dan sabar,” hibur Ibu, “bagaimana? Seru main congklaknya?”
“Iya, Bu! Seru banget!” jawab Prisa sambil tersenyum.
“Jadi apa pelajaran yang bisa diambil dari permainan ini?” tanya Ibu.
“Melatih kesabaran dan kejujuran!” seru Ditya.
“Lalu?”
“Melatih kemampuan berpikir dengan hati-hati dan memperhitungkan segala sesuatu!” sahut Prisa tidak mau kalah.
“Yak, benar kalian semua! Putri-putri Ibu memang pintar-pintar!” Ibu mengelus kepala kedua putrinya.
“Ternyata main congklak lebih seru daripada main Barbie, ya, Bu! Prisa mau ajak teman-teman main congklak pas di rumah nanti!” ucap Prisa penuh semangat.
“Ditya juga! Nanti Ibu belikan papan congklak sama biji-bijinya, ya!”
Ibu mengangguk sambil tersenyum melihat kedua putrinya akhirnya akur.
Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024
Cerita yang bagus, bahasanya mudah dipahami dan memberikan pesan yang baik untuk anak-anak, serta membuka wawasan bagi anak mengenai permainan tradisional, yang saat ini makin ditinggalkan.