MARWAN SANG DETEKTIF DADAKAN

Marwan dan kawan-kawannya sedang berkumpul di rumah Rian. Mereka menaruh curiga kepada Mirza. Sebab beberapa hari belakangan ini Mirza suka bermain-main ke rumah mereka. Kadang Mirza bertandang ke rumah Marwan, besoknya ke rumah Syamil, begitu seterusnya dalam beberapa hari ini.Sebelumnya jarang sekali Mirza berkunjung ke rumah mereka kecuali memang ada keperluan penting.

Jarak antara rumah Mirza dengan kawan-kawannya memang tidak terlalu jauh. Karena mereka satu kampung, maka Mirza dengan mudah bisa berkunjung dengan leluasa. Padahal selama ini teman-temannya mengenal sosok Mirza sebagai anak yang jarang bergaul. Di sekolah, ia tergolong anak yang pendiam. Biasanya ia cuma mau bergabung dengan teman-temannya saat ada kerja kelompok. Selebihnya, ia cuma tersenyum bila disapa dan hanya mengobrol seperlunya.

“Janggal, ya?” tanya Rian penuh keheranan.

Marwan dan Syamil pun mengangguk serempak membenarkan.

“Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Mirza dari kita,” lanjut Rian.

Kedatangan Mirza kini sering mengganggu aktivitas mereka. Bahkan Marwanlah yang merasa paling terganggu karena di rumahnya banyak sekali tersedia mainan. Tak heran Mirza pun betah berlama-lama di rumahnya. Mirza baru akan pulang menjelang maghrib. Bila ditanya mengapa ia suka pulang telat ke rumah, Mirza selalu mengelak. Puluhan alasan dilontarkannya. Walaupun teman-temannya tidak langsung percaya atas kata-kata Mirza,tapi mereka tak enak hati bila menolak kedatangan Mirza.

Malam hari di rumah Marwan mereka berunding untuk mengatur siasat. Cukup lama mereka berempat membicarakan Mirza. Kesepakatan akhir mereka, diutuslah Marwan menjadi penyelidik. Bisa dibilang, Marwan akan menjadi detektif dadakan.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Marwan segera menjalankan misinya. Kebetulan besok libur, jadi dia bisa mengorek cukup banyak informasi dari tetangga Mirza.

Malam harinya mereka berkumpul kembali. Marwan pun segera melaporkan hasil pengintaiannya.

“Siang tadi aku pura-pura mencari rumahnya. Kata tetangganya, Mirza tidak ada di rumahnya. Nah, saat itulah kesempatan bagiku untuk menyelidik,” kata Marwan dengan bangga.

“Terus, apa yang dikatakan tetangga Mirza kepadamu?” cecar Rian tak sabar.

Kemudian Marwan pun menceritakan hasi pengamatannya siang tadi. Rian dan Syamil tercengang. Mereka tak percaya Mirza berbuat setega itu.

“Lalu bagaimana langkah kita selanjutnya?” tanya Syamil bersemangat.

Mereka berunding lagi. Sekarang mencari jalan keluar. Syamil pun menyampaikan idenya.Tak lama kemudian mereka menyetujui usul Syamil.

Esoknya, Mirza datang  lagi ke rumah Marwan. Tapi Marwan tidak mau menemui. Ia beralasan akan pergi bersama ayahnya. Lalu Mirza pindah ke rumah Syamil. Syamil juga tidak mau menemui. Begitu pula dengan Rian. Keduanya beralasan ingin latihan karate.

Mirza heran sekaligus bimbang, tidak tahu lagi hendak pergi kemana. Ia pun duduk sambil menyelonjorkan kakinya di sebuah bangku di pinggir jalan. Angin yang bertiup membawa angannya kembali memikirkan kondisi ibunya. Bagaimana keadaan rumah sekarang ini ya, pikir Mirza. Sebenarnya ia cukup gelisah karena meninggalkan sang ibu sendirian. Apa mau dikata, ia terlanjur bosan dan tak terima atas musibah yang sedang menimpa keluarganya saat ini.

Saat Mirza termenung sedih, mendadak Marwan dan kawan-kawannya sudah berada di dekatnya. Wajah mereka terlihat serius.

“Kok, kalian ada di sini? Katanya kalian sibuk,” kata Mirza terkejut bukan kepalang melihat kedatangan mereka.

Syamil menatapnya sedih. “Za, akhir-akhir ini kamu sering bermain ke rumah kami. Bukannya kami keberatan, loh. Cuma sebelumnya kamu kan jarang bermain ke rumah kami.” sahut Syamil menjelaskan.

“Sebetulnya apa yang terjadi dengan ibumu?” tanya Rian yang tampak tenang.

Mirza terkesiap, ia tak menduga ditodong pertanyaan seperti itu. Ia pun menggeleng lesu. “Ehm… tidak ada apa-apa kok.” tangkis Mirza.

“Jangan bohong, Za! Kemarin aku pergi ke rumahmu. Pura- pura mencarimu. Tetanggamu memberitahu bahwa ibumu sudah lima hari ini jatuh sakit. Tetanggamu juga bilang kalau sejak ibumu sakit kamu jarang di rumah kan?” jelas Marwan sambil merangkul bahu Mirza.

Mirza menunduk. Ia tak bisa mengelak lagi.

“Mengapa kamu tidak di rumah saja merawat ibumu?” tanya Rian gemas.

“Aku tidak kerasan.,” jawab Mirza sekenanya. “Ibu sering menyuruhku ini dan itu.”

“Piring  kotor menumpuk, rumahku berdebu karena tak disapu beberapa hari ini. Sementara ayahku baru pulang sore hari.” Lanjut Mirza kesal. Mukanya cemberut.

“Nah, itu namanya kamu lari dari masalah, Za. Apa kamu tidak kasihan pada ibumu?” tegur Rian.

Mirza diam seribu bahasa. Dalam hati ia mengakui kalau ia sudah berbuat salah.

“Menelantarkan ibu yang sakit kan berdosa. Apa kamu sudah lupa nasihat Ustadz Amir minggu lalu? Kita harus menyayangi orang tua apapun keadaan mereka. Apalagi ibumu sampai sekarang belum sembuh. Berarti kamu harus lebih telaten merawat beliau.” terang Syamil panjang lebar.

“Ayo, sekarang kita sama-sama ke rumahmu. Buktikan kalau kamu anak yang bertanggungjawab. Tenang saja, Za! Kami pasti membantumu. Kita kerjakan semampu kita. Oke?” saran Marwan sembari tersenyum.

Mirza pun mengangguk senang. Wajahnya kembali cerah. Ia berjanji dalam hati akan menjadi anak yang mandiri dan dapat dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Sungguh, ia sangat terharu atas perhatian kawan-kawannya. Ia pun bisa merasakan ketulusan dari ucapan mereka tadi. Terima kasih ya Allah, Engkau telah menganugerahkan padaku sahabat-sahabat yang baik,bisik Marwan dalam hati.

 

Sumber foto : pngtree

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar