Suara canda tawa anak-anak di persawahan selalu terdengar oleh petani. Mereka bermain dengan gembira, membantu memilih padi yang telah dipanen. Namun, sore itu, lahan tersebut kosong dan padi sudah dipanen selama beberapa hari. Ibunya memanggil Dwi yang masih terdiam, tetapi dia terus memandang ke arah belakang meskipun sudah diingatkan oleh ibunya untuk pulang. Malam hari, saat semua orang tertidur, terjadi gerakan cepat di area persawahan. Para peronda masih berkeliling di kampung kecil dengan kentongan dan obor. Pencahayaan minim di daerah terpencil ini yang belum terjamah oleh pemimpin mereka. Suara “srak, srak” dari semak-semak semakin keras dan cepat, seolah-olah ada sesuatu yang sedang dikejar. Para peronda yang meronda di malam itu mendengar suara tersebut. Pukul 22:00 WIB, dua kelompok peronda dengan total enam orang dibagi menjadi dua untuk berkeliling. Tiga orang menuju sisi Barat dan tiga orang lainnya menuju sisi Timur. Di sisi Barat, suara tersebut berasal dari semak-semak yang bergerak sendiri, menimbulkan kecurigaan pada para peronda. Mereka bertanya-tanya apakah itu ular karena melihat gerakan semak-semak tersebut. Dengan menggunakan senter, mereka menyoroti gerakan yang semakin cepat. Mereka menyadari bahwa tempat tersebut sebenarnya adalah sawah yang baru saja dipanen. Tiga orang peronda saling bertukar pandangan dan mengucapkan hal tersebut.
“Drap, drap. Drap, drap, drap!”
“Ngeeong!!!” suara erangan kucing yang melompat dari balik semak mengagetkan mereka, namun juga membuat mereka lega karena hanya seekor kucing. Namun, salah satu dari tiga orang itu menemukan mayat musang yang masih mengucurkan darah segar. Mereka memutuskan untuk mencari pemangsa musang tersebut. Mereka masuk lebih dalam ke persawahan warga. Di sana, mereka menemukan sebuah kubangan air dari tumpukan padi kering yang belum dipilih. Ketiganya bertanya-tanya dan salah satu dari mereka menggunakan telepon genggam jadul untuk mengabari kelompok ronda lain yang berada di Timur. Terdapat sedikit lendir hijau di sekitar kubangan, yang membuat mereka jijik untuk menyentuhnya dan hanya diterangi oleh cahaya senter. Tak jauh dari area itu, terdapat rumah anak-anak yang sebelumnya bermain di sana, termasuk rumah Dwi. Suara “kraus, kraus” terdengar jelas di telinga Dwi dan anak-anak lainnya. Rumah-rumah tersebut terbuat dari anyaman bambu, sehingga suara dari luar dapat terdengar dengan jelas. Dwi merasa sangat terganggu, tidurnya tidak nyaman, begitu juga dengan anak-anak lainnya yang hadir di area persawahan sepanjang hari. Mereka semua menggaruk-garuk telinga hingga lecet dan memerah. Dwi yang merasa kesal, terbangun dari tempat tidurnya yang terbuat dari kayu. Dwi memutuskan untuk melihat melalui kain putih di jendela kamarnya untuk mencari tahu sumber suara yang sangat mengganggu tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh anak-anak lain, mereka berjalan perlahan menuju jendela kamarnya masing-masing. Kelompok ronda telah sampai di kubangan air tersebut. Kini jumlah mereka menjadi 6 orang. Mereka memberikan tanda dengan melingkari kubangan menggunakan ranting-ranting kering. Kubangan tersebut diberi garam dapur sebelum mereka melanjutkan patroli. Sambil melangkah, para peronda mendekati jendela dan suara “kraus, kraus” terdengar dari balik pohon pisang. Cahaya kuning dari balik kain putih jendela terlihat seperti dua bola mata yang siap menyambut mereka. Dwi berpikir untuk mengetapelnya, tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya karena ketapel berada di ruang depan dan dia tak ingin melewatkan pemandangan tersebut. Satu per satu mereka membuka jendela, namun tidak ada siapapun di sana dan cahaya itu menghilang saat para peronda berpindah tempat secara bergantian. Dwi merasa lega, bahkan dia melihat salah seorang peronda sedang kencing di bawah pohon pisang. Mereka kembali ke tempat tidur mereka, beberapa mengoleskan salep pada lecet di telinga agar tidak terasa perih saat terkena gesekan.
Pagi hari, keluarga kecil Dwi yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Dwi, disambut dengan suara burung. Ayahnya bersiap di kebun tomat sebelum pergi ke pasar pukul 07:00 WIB. Ibu memasak di dapur, sementara Dwi baru saja bangun dan bersiap untuk menyapu rumah. Setelah menyapu, Dwi membantu ibunya mengupas buah-buahan yang dibawa Ayahnya dari pasar kemarin, seperti apel, semangka, dan melon. Ibu kemudian menyuruh Dwi untuk segera mandi dan bersiap pergi ke sekolah. Pukul 06:15 WIB, Dwi dan teman-temannya berangkat bersama menuju sekolah dasar. Saat ini mereka masih berada di kelas 4 SD. Sekolah dasar tersebut memiliki papan nama sederhana yang bertuliskan “SD Harapan Bangsa”. Saat pelajaran dimulai, ada seseorang yang memantau Dwi, terlihat bahwa sosok tersebut telah memilih Dwi sejak malam hingga pagi dari anak-anak desa yang bermain di sawah. Dwi menjadi pilihan terbaiknya.
Saat pulang ke rumah, Dwi bertemu dengan makhluk imut berwarna hijau yang tampak seperti melon turun dari planet lain. Dwi senang karena dia memiliki teman bermain yang imut, dan si melon kecil itu membantu Dwi menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun, melon kecil tersebut ternyata sedang dikejar oleh temannya yang berbentuk seperti semangka dengan warna merah. Di malam hari, melon dan semangka bertengkar, dan Dwi serta kedua orang tuanya menyaksikannya. Dengan kekuatannya, semangka berhasil menangkap melon, dan Dwi terkejut. Semangka memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin kelompok Mells’ter dan mengatakan bahwa mereka akan membawa anak-anak mereka pulang ke kampung halaman. Melon berterima kasih pada Dwi atas pertemuan mereka hari ini. Dwi dan orangtuanya mengikuti arah pulang para Mells’ter. Mereka menemukan bahwa pesawat anak-anak Mells’ter telah rusak karena garam yang ditaburkan oleh warga. Untuk membawa anak-anak Mells’ter pulang, mereka menggunakan pesawat yang lebih besar. Saat para Mells’ter pulang, angin bertiup kencang, dan Melon melompat-lompat keluar dari pesawat sebagai tanda kebahagiaan karena telah bertemu dengan Dwi. Dwi dengan penuh kegembiraan melepaskan melon dari pelukannya.
- Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba cipta cerpen anak PaberLand 2024.