Namaku Anggun. Aku suka menari. Sejak usiaku empat tahun sudah terlihat bakatku itu. Ketika nenek memainkan tihar aku dengan spontan langsung menari mengikuti irama. Ayah dan ibuku terheran – heran. Mereka tidak menyangka aku bisa menari.
“Akan kuajarkan dia menari Likurai.” Kata nenek pada kedua orangtuaku.
Ayah dan ibu mengikuti saja. Bagi mereka yang penting aku menyukainya. Dan, aku memang menyukainya. Karena itu aku berlatih sungguh – sungguh.
Di rumah aku biasanya berlatih bersama Anya, adikku. Dia juga suka menari tetapi Anya orangnya tidak sabar. Jika salah sedikit bawaannya marah – marah dan tak mau latihan lagi. Uh, menyebalkan.
Likurai itu tarian berkelompok. Kesabaran sangat diperlukan, bukan? Pasti saja ada salahnya. Pasti saja ada tidak harmonisnya. Harus diulang – ulang sampai kompak dan harmonis. Dengan begitu barulah jadi sebuah tarian yang indah.
Anya mana mau mengerti. Sebagai kakak aku terpaksa mengalah. Aku berusaha mengerti apa keinginannya.
“Kamu maunya bagaimana, Anya?” Tanyaku suatu hari ketika kami sedang berlatih bersama.
“Kakak, pukulannya jangan terlalu cepat. Sakit jari – jariku.” Jawab Anya.
“Memang seperti itu iramanya, Anya. Jika diperlambat mana greget tariannya”. Aku mencoba menjelaskan.
“Ya sudah, kalau kakak maunya begitu, kakak latihan sendiri saja. Aku tak mau lagi”.
Jika sudah begitu jawabannya. Anya akan berlari ke kamar tidurnya dan mengurung diri di sana. Karenanya semangat berlatihkupun langsung luntur.
***
“Dahulu Likurai adalah tarian untuk menyambut para pejuang yang pulang berperang.” Cerita nenek ketika kami sedang bosan berlatih.
. “Para penarinya semuanya perempuan, dan banyak. Satu kampung. Tidak hanya dua belas orang seperti sekarang.” Sambung nenek.
“Wah, suasananya pasti meriah sekali ya, Nek?” Aku bertanya dengan penasaran.
“Sangat meriah. Saat para perempuan menari, para pejuang itu akan ikut menari bersama. Mereka mengangkat kelewang-nya tinggi – tinggi ke udara sembari berteriak lantang.” Jawab nenek.
“Lalu mengapa kini hanya dua orang saja penari prianya, Nek?” Aku bertanya lagi.
“Anggun, sekarang kan bukan zaman berperang. Tak perlulah banyak – banyak prianya. Nanti orang – orang berpikir kita mau berperang lagi.” Jawab nenek sambil tertawa.
Aku dan Anya ikut tertawa bersamanya.
“O ya, katanya sebulan lagi akan ada Festival Fulan Fehan, apakah kalian mengikutinya?” Tanya Nenek pada kami.
“Aku belum tahu, Nek. Sekolah akan mengutus dua belas penari. Minggu depan baru akan ada seleksi. Aku ingin sekali menjadi bagian dari 12 orang itu. Semoga aku terpilih ya, Nek.” Jawabku.
“Bagaimana dengan kau, Anya. Apakah kau tertarik mengikutinya?” Tanya Nenek pada Anya yang duduk di sebelahku.
“Iya Nek. Aku juga ingin mengikuti Festival itu. Tahun lalu suasananya sangat meriah, Nek. Ada seribu penari dari semua sekolah di kabupaten ini menari di sana. Kali ini aku ingin menjadi bagian dari Festival itu.” Jawab Anya bersemangat.
“Kalau begitu kalian tidak boleh malas – malasan latihan. Tidak boleh marah – marah. Harus selalu semangat dan sabar.” Nenek menasehati.
“Iya baik, Nek.” Jawab kami serentak.
“Nah, kalau begitu ayo bangun. Kita latihan lagi!” Seru Nenek.
***
Seminggu berlalu, hari seleksi penari yang ditunggu pun tiba. Lima puluh orang telah mendaftar termasuk aku dan Anya. Namun para guru hanya akan memilih dua belas terbaik.
“Selamat sore anak – anakku. Kalian pasti sudah tidak sabar ya mengikuti seleksi ini?” Tanya Ibu Rosa membuka kegiatan sore itu.
“Iya bu.” Jawab kami serentak.
Seleksi pun dimulai. Kami lima puluh orang mulai berbaris. Ibu Rosa memberi contoh di depan, kami mengikutinya. Lalu beberapa guru seni budaya lain mengawasi kami. Mereka melihat, mendengar dan menilai dengan teliti.
“Ragam gerak pertama tebere.” Kata guru seni budaya itu.
Ibu Rosa kemudian berdiri dengan posisi pinggulnya membungkuk ke kanan dan kaki kanannya dimajukan ke depan.
Kemudian ibu Rosa mulai memukul tihar dengan jari – jarinya.
“Teberek, teberek, teberekeretek!” Terdengar suara tiharnya.
Ragam ini merupakan ragam pembuka. Hampir semua anak perempuan yang belajar Tarian Likurai bisa melakukannya. Jadi aku kira ini bagian yang termudah. Aku memperhatikan Anya dari jauh, ia juga sepertinya melakukannya dengan baik.
“Ragam gerak kedua, wesey wehali.” Kata ibu guru lagi.
Ibu guru pun mulai berdiri dengan posisi berbeda. Lalu memukul tihar sambil menghentakan kakinya dengan cepat diikuti gerakan badan yang meliuk – liuk. Gerakan ini termasuk gerakan inti Tarian Likurai. Agak sulit memang. Karenanya barisan menjadi kocar – kacir. Ternyata Anya pun kesulitan, ia tak terbiasa dengan gerakan – gerakan yang cepat.
Aku bisa melakukannya. Nenek sudah mengajarkan gerakan ini padaku. Walaupun ada beberapa pukulan tihar yang agak melenceng. Aku berharap tak didengarkan oleh guru penilai itu.
“Ragam gerak ketiga adalah be tae be tae toba lutuhun. Ini merupakan gerakan penutup dalam Tarian Likurai.” Ibu Rosa menjelaskan.
Gerakan ini mirip tarian inti tetapi badan agak membungkuk. Goyangan pinggul lebih lihai serta gerakan kaki dan tangan yang lincah. Ibu Rosa sangat menguasainya. Ia dahulu adalah penari Likurai yang andal di kota ini.
Aku tak mau kalah. Aku berusaha sebaik mungkin untuk bisa selincah ibu guru. Aku tak lagi memperhatikan Anya. Aku takut melakukan kesalahan yang berakibat fatal.
Seleksi pun selesai dilaksanakan.
***
Keesokan harinya, aku dan Anya tiba di sekolah masih pukul 6 pagi. Papan pengumuman di bawah pohon Angsana sudah penuh dengan orang – orang. Aku lihat wajah – wajah mereka, ada yang tertawa bahagia dan ada pula yang duduk di bawah pohon dengan wajah bersedih.
Jantungku berdegup kencang. Apakah ada namaku di situ? Aku penasaran. Aku berusaha menerobos puluhan temanku yang mengerumuni papan pengumuman hingga berada langsung di depan. Kubaca nama satu per satu.
“Santi, Marsa, Rita, Fauziah, Sella, Anisa, Lisa, Anggun, … Hore!” Aku bersorak kegirangan.
“Kak, tolong lihat namaku.” Teriak Anya yang terjebak di kerumunan itu.
“…, Alona, Bella, Bete, dan Tuti.”
Aku diam sejenak. Tak ada nama Anya di situ.
“Bagaimana Kak?” Tanya Anya lagi.
“Anya, namamu tak ada. Tapi, …”
Aku belum selesai bicara Anya telah pergi. Entah ke mana aku tak tahu. Aku akan mencarinya sampai ketemu.
Glosarium:
Tihar : Gendang kecil yang biasa digunakan untuk menari Likurai
Likurai : Tarian khas kabupaten Belu dan Malaka – NTT
Fulan Fehan : Sebuah obyek Wisata Alam berupa padang rumput yang luas di Kabupaten Belu.
Kelewang : Senjata tajam / pedang khas kabupaten Belu
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024