Merah Kuning Hijau
di Langit yang Biru
Oleh Sinta Herlina
“Andi, bangun! Habis subuhan jangan tidur lagi” teriak ibu.
Pagi ini dingin. Sebetulnya aku masih ingin tiduran. Toh hari ini hari libur.
Gawat! Suara Ibu makin mendekat. Sekarang Ibu mulai mengetuk pintu dengan keras sambil memanggil namaku. Aku harus segera bangun.
Aku membuka pintu kamar. Setelah mencuci muka, aku melihat keluar. Ada kabut di luar rumah. Lebih baik aku main game saja. Kupinjam gawai ibu, lalu aku duduk di depan TV.
“Andi! Andi! ”
Itu suara Bayu. Aku keluar menemuinya.
“Cepetan! Nanti keburu mumbul! Kamu nyusul, ya!” katanya.
Tahu-tahu dia sudah berlari pergi. Bayu memang seperti Dewa Bayu, cepat sekali geraknya lalu menghilang. Dalam dunia pewayangan, Dewa Bayu adalah nama penguasa dan pengatur angin. Aku pamit pada ibu lalu bergegas mengikuti arah larinya.
Itu dia Bayu. Akhirnya dia terkejar juga. Bayu berlari cepat sekali. Badannya yang kecil dan gesit berlari melewati jalanan tanah berumput dan berbatu yang naik turun. Sesekali dia meloncat saat jalanan menurun. Tanah agak licin karena semalam hujan. Bau tanah dan rumput basah terasa segar.
“Brug!”
Bayu terjatuh karena terpeleset di tanah licin. Dia hanya meringis. Kulihat ada luka goresan di tangannya. Kami mencari air di dedaunan untuk membasuh kotoran tanah di tangan dan kaki yang luka.
Kuambil daun bandotan di sekitar kami. Kuremas daun itu menggunakan tangan. Setelah daun lemas, kuusapkan ke lukanya. Daun bandotan ini bisa menjadi antiseptik pada luka.
“Ayo, nanti keburu mumbul dan kehabisan tempe kemul!” kata Bayu sambil bangkit dan tersenyum lebar. Heran, anak ini kuat sekali! Kami kembali berlari tapi lebih hati-hati.
Sampai di pinggir tanah lapang desa Karangluhur, kami berhenti. Banyak orang yang sedang berkerumun mengelilingi onggokan kertas yang berwarna-warni. Ternyata sudah hampir jadi!
“Ayo, kita bergabung di sana!” kataku pada Bayu.
Kami mendekati kerumunan tapi tidak bisa berada di tempat paling depan. Aku benar-benar ingin melihat cara membuat balon udara ini.
Aku dulu heran, mengapa balon yang dibuat dari kertas bisa terbang tinggi. Sepertinya itu tidak mungkin. Kupikir, balon udara terbuat dari karet seperti balon mainan.
Agar bisa terbang, ternyata kertas yang dipilih bukan sembarang kertas. Kertas minyak adalah jenis kertas yang ringan dan murah. Kertas-kertas minyak itu disambung-sambung setelah diberi pola dan warna. Ujung-ujung sambungan dipertemukan agar berbentuk melingkar. Bagian atas ditutup dengan kertas agar berbentuk bola.
Nah, sekarang aku ingin lihat yang bagian bawahnya! Aku ingin tahu, mengapa sambungan kertas yang berat itu bisa terbang. Di luar negeri, balon malah bisa mengangkut orang. Aku benar-benar penasaran.
Kulihat sekeliling. Ada orang berlari-lari membawa batok kelapa mendekati balon. Aku mengajak Bayu ikut membantu membawa batok kelapa ke dekat balon. Itu caraku supaya bisa mendekat ke balon itu.
Batok-batok kelapa kubawa menuju onggokan balon.
“Letakkan di dekat kaleng biskuit itu, Le!” teriak seorang bapak.
Ya, di dekat balon ada kaleng biskuit. Kaleng biskuit itu menjadi tungku untuk membakar batok-batok. Asap batok diusahakan agar masuk ke dalam balon. Kami menyebut bahwa balon sedang diasapi. Ada tujuh orang yang mengasapi balon.
Ketika batok dibakar, orang-orang agak menjauh. Asap batok membuat mata pedih kalau kami terlalu dekat.
Cukup lama kami menunggu balon diasapi. Namun, aku sabar menunggu balon terangkat. Ini pertama kalinya aku melihat cara menerbangkan balon besar.
“Andi! Bayu! Cepetan ke sini! Mau nggak?” teriak teman-teman sambil menunjukkan tempe kemul dan geblek yang disediakan ibu-ibu. Bayu berlari menuju anak-anak yang duduk di pinggiran, namun aku tetap melihat balon.
“Nih, dimakan!” kata Bayu. Ternyata ia mengambilkan tempe kemul dan geblek untukku. Kuterima lalu aku makan sambil berjongkok. Tempe kemul masih hangat. Gebleknya juga masih panas, jadi belum alot saat dimakan.
Sambil makan makanan khas Wonosobo ini, aku melihat balon itu mumbul pelan-pelan. Kami semua bertepuk tangan. Tapi tunggu! Ada tali di bawahnya. Oh, balon ini tidak dilepas seperti yang pernah kulihat dulu.
Aku ingat artikel yang pernah kubaca. Balon yang dilepas akan mengganggu penerbangan. Balon bisa bertemu dengan pesawat terbang. Kalau balon masuk ke dalam mesin pesawat, bisa membahayakan keselamatan pesawat dan penumpangnya. Ngeri membayangkannya!
Kukatakan pada Bayu bahwa aku akan merancang balon udara yang kulengkapi dengan chip. Balon itu dapat diprogram dan dapat diatur gerakannya dengan remote control. Aku bisa mengarahkan balonku. Aku juga bisa mengatur ketinggiannya. Balonku tidak perlu diikat dengan tali tetapi tidak membahayakan penerbangan. Balonku akan terbang bebas tetapi tidak bertabrakan dengan yang lainnya.
“Kenapa kamu nggak bikin balon yang bisa kita tumpangi dan kita setir? Seperti pesawat terbang itu, lho!” kata Bayu. Boleh juga ya idenya!
Kalau begitu, kelak aku akan membuat keduanya. Aku akan membuat balon yang bisa disetir dan balon yang bisa digerakkan dari jauh. Jadi orang-orang akan melihat keindahan balon di udara seperti aku pernah melihatnya. Ada balon merah, ada balon kuning. Namun sebetulnya saat balon berada di langit yang tinggi, kita sudah tidak melihat warnanya lagi.
Lamunanku terhenti oleh suara-suara teriakan. Ternyata balon desaku sudah bisa mumbul. Besok lebaran ke dua, balon ini akan diikutkan festival balon. Aku yakin, balon ini akan menjadi salah satu juara.
Mumbul = istilah untuk balon yang naik.
Le = panggilan untuk anak lelaki.
Tempe kemul = sejenis mendoan khas Wonosobo yang diberi daun kucai dan berwarna kuning kunyit.
Geblek = makanan khas Wonosobo yang dibuat dari tepung kanji dan kelapa yang digoreng seperti cireng.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”