Mesin Jahit Nek Siti

Laras terpaku, kepalanya mendongak menatap spanduk dengan tulisan warna-warni yang dibentangkan di dekat gerbang sekolah.

“Laras, ada apa? Ayo, bergegas, aku sudah lapar.” Prabu menggamit lengan adiknya untuk segera pulang bersama.

Laras berjalan beriringan dengan Prabu, tetapi langkahnya gontai. Kepalanya menunduk dalam dan tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Itu tentu membuat Prabu sang kakak merasa khawatir.

Prabu memegang kening Laras. “Apa kamu sakit? Suhu badanmu tidak panas. Sebenarnya, apa yang terjadi, Laras?”

Laras mengangkat wajahnya dan menatap kakaknya.

“Kak Prabu lihat spanduk di sekolah tadi?”

Prabu mengangguk merespons pertanyaan adiknya. “Itu tentang lomba fashion show untuk hari Kartini, ‘kan?”

“Benar, Kak. Aku ingin mengikutinya, lomba itu. Tapi, harus punya pakaian yang bagus, ‘kan? Aku tidak ingin merepotkan ayah dan ibu untuk membelinya. Namun, aku ingin berada di atas panggung untuk menjadi salah satu peserta. Bahkan memenangkannya.” Mata Laras berkaca-kaca.

Prabu memahami keinginan Laras karena ia tahu sejak kecil adiknya itu sangat menyukai hal-hal seperti itu. Bahkan cita-cita Laras adalah menjadi seorang model terkenal.

“Hmm … pakaian bagus, ya?” Prabu mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. Ia sedang berpikir keras untuk mencari solusi.

Laras terkejut ketika tiba-tiba Prabu menggandengnya seraya berlari. “Ada apa, Kak Prabu?”

“Aku ada ide, ayo cepat!” seru Prabu dengan senyum lebarnya.

Sesampainya di rumah, Prabu tampak mencari-cari sesuatu. Laras bingung dengan tingkah laku kakaknya. Namun, ia tetap mengekor di belakangnya.

“Apa yang kakak cari?” tanya Laras menyuarakan rasa penasarannya.

“Nek Siti!” panggil Prabu pada seorang wanita tua yang sedang duduk di beranda samping rumah.

Laras semakin tidak mengerti dan terus mengikuti kakaknya yang kini bersama neneknya.

“Oh, kalian sudah pulang. Ada apa Prabu, Laras?”

Prabu menceritakan kepada neneknya perihal lomba yang ingin diikuti Laras, berikut masalah pakaian yang menjadi kendalanya.

“Bagaimana kamu tahu kalau nenek menyimpan kain untuk kebaya itu, Prabu?”

“Kain apa, Kak?” tanya Laras kepada Prabu.

“Jadi, Laras, saat kita membantu ibu membereskan lemari. Aku tidak sengaja melihat kain yang memiliki corak begitu indah. Ketika kutanyakan pada ibu, katanya itu punya nenek. Dulu nenek adalah seorang penjahit. Jadi, menyimpan banyak kain yang bagus,” jelas Prabu kepada adik dan neneknya.

“Itu benar, Prabu. Tapi, sangat disayangkan mesin itu kini sudah usang. Terlalu lama tidak dipakai. Nenek juga sudah lama tidak menjahit, apa mungkin masih bisa membuat pakaian seperti dulu?”

“Kata ibu, pakaian hasil jahitan nenek memiliki kualitas yang bagus. Jadi, meskipun lama tidak melakukannya, aku rasa nenek tidak kehilangan bakatnya. Mengenai mesin itu, aku bisa membantunya, Nek. Aku sering membantu di toko reparasi ayah.”

Nenek mengangguk setuju dengan ide Prabu. Kain untuk kebaya itu diperlihatkan kepada Laras selagi Prabu membantu memperbaiki mesin jahit.

Mata Laras berbinar takjub. “Wah, Nek, ini indah sekali.”

Nenek tersenyum menanggapi kekaguman cucunya atas kain tersebut.

“Kain ini untuk bawahannya, ya, Nek?” tanya Laras memastikan.

“Benar, motif ini namanya Batik Kawung.”

“Kawung?” ulang Laras seraya memiringkan kepala. Tidak mengerti.

Nenek membentangkan kain batik itu di hadapan Laras. “Benar, sepengetahuan nenek, motif batik ini berasal dari Yogyakarta. Bentuknya berupa bulatan geometris mirip buah kawung. Pasti kamu tidak tahu buah apa itu?”

Laras mengangguk. Nenek melanjutkan penjelasannya. “Itu sejenis kelapa atau banyak juga yang menyebutnya aren atau kolang-kaling.”

Laras mengangguk-angguk paham.

“Nek, mesinnya sudah siap!” teriak Prabu dihiasi senyum lebar andalannya.

“Wah, terima kasih, Prabu.” Nenek mulai mencoba mesinnya. Beberapa macam warna benang digunakannya menyesuaikan warna kain. Kaki dan tangan renta Nek Siti masih cekatan dalam menggunakan mesinnya.

***

Lomba fashion show yang diadakan sekolah untuk memperingati hari Kartini telah dimulai. Prabu dan Nek Siti duduk di kursi penonton bagian depan. Mereka tidak sabar menunggu giliran Laras tampil.

Saat Laras maju ke panggung dengan kebaya buatan neneknya. Tepuk tangan dan sorak-sorai penonton bergemuruh. Kebaya dengan bawahan bermotif batik kawung itu sangat cocok untuk Laras. Gadis itu tampak anggun juga luwes. Para juri terkesima dengan penampilannya.

Pembawa acara mengumumkan pemenang lomba dengan semangat yang menggebu. Para peserta juga penonton berdebar antusias.

“Juara pertama lomba fashin show untuk memperingati hari Kartini adalah …”

Laras, Prabu, dan Nek Siti menahan napas untuk sesaat saking tegangnya.

“Selamat kepada Laras Ayunda Putri!” teriak sang pembawa acara diiringi tepuk tangan meriah orang-orang.

Prabu dan Nek Siti memeluk Laras yang menangis terharu.

“Kamu luar biasa, Laras. Keren,” puji Prabu membuat Laras tersipu.

“Ini berkat kerja keras kalian.” Laras menyeka ujung matanya yang mengeluarkan cairan bening. “Kak Prabu, Nek Siti, terima kasih. Laras akan menyimpan kebaya ini baik-baik.”

“Berterima kasih juga pada mesin jahit nenek. Dia sangat tangguh meski sudah tergerus zaman,” ucap nenek seraya terkekeh.

Prabu dan Laras mengangguk setuju. Tawa bahagia menyelimuti mereka.

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar