Kerajaan Mangkubumi mengalami kekeringan panjang. Hujan sudah lama tak menyapa. Sumber air menyusut. Tanaman-tanaman layu. Banyak penduduk yang gagal panen.
Mbok Minah menggiling gabah sambil bersenandung. Untung Mbok Minah masih memiliki persediaan gabah di lumbung. Jadi, ia tidak perlu membeli beras yang harganya kian melambung.
“Mbok, kapan sih hujannya turun? Aku sudah rindu main di sungai,” keluh Bima.
“Sabar ya, Nak. Kali ini Tuhan sedang menguji kita. Bima harus selalu berdoa kepada Tuhan. Agar kita bisa melewati ujian ini dengan baik.”
Bima mengangguk.
“Tolong ambilkan tampah, Nak.”
Bima mengambil tampah yang tergantung di dinding dapur. Bima menepuk-nepuk tampah sebelum diberikan pada Mbok Minah. Debu halus beterbangan membuatnya bersin.
“Gerah sekali, ya Mbok. Pasti enak kalau minum minuman yang segar,” celetuk Bima sambil menyerahkan tampah ke Mbok Minah.
Mbok Minah seperti mendapat ide mendengar ucapan Bima barusan. Ditampinya beras yang sudah digiling. Sekam-sekam pun berhamburan. Meninggalkan butiran-butiran beras di tampah. Mbok Minah melakukan berulang kali hingga semua beras bersih dari sekam.
Mbok Minah memasukkan beras yang sudah bersih di tempayan. Sebagian lagi ditumbuk hingga halus.
“Kenapa berasnya ditumbuk, Mbok?” tanya Bima.
“Mbok mau bikin sesuatu yang menyegarkan.”
Bima tertarik. “Bikin apa, Mbok?”
“Nanti Mbok beri tahu. Sekarang tolong ambilkan wadah untuk meletakkan beras yang sudah halus ini.”
Bima segera menuruti permintaan ibunya. Diambilkannya sebuah wadah besar.
Mbok Minah memasukkan sebagian tepung beras ke wadah. Air panas ditambahkan secukupnya. Mbok Minah mengepal-kepal adonan membentuk bulatan besar-besar. Bulatan itu dikukus beberapa menit. Selanjutnya, bulatan diparut.
“Sekarang tolong ambilkan garam, Nak.”
“Ini, Mbok.”
Mbok Minah menambahkan sedikit garam pada parutan adonan lalu mengaduknya. Adonan siap dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil. Bulatan itu kembali dikukus.
Sembari menunggu bulatan matang, Mbok Minah membuat adonan kedua yang hampir mirip. Bedanya, adonan kedua ini ditambahkan sedikit gula merah. Adonan diuleni hingga bisa dipulung. Selanjutnya, sejumput adonan diletakkan pada belahan bambu. Adonan dipipihkan lalu diplirit.
“Aku mau mencoba, Mbok,” ujar Bima.
Mbok Minah mengambilkan belahan bambu dan memberikannya pada Bima. Bima mengikuti cara Mbok Minah membentuk adonan kedua.
“Kok susah ya, Mbok. Lebih mudah membentuk yang pertama tadi,” ujar Bima.
“Coba saja terus. Nanti lama-lama juga bisa,” kata Mbok Minah.
Bima terus mencoba hingga akhirnya ia berhasil. Adonan kedua selesai dibentuk. Saatnya adonan dikukus hingga matang.
Bima mengamati hasil buatan mereka. “Kayak gini apa bisa menyegarkan, Mbok?”
“Ini belum selesai, Nak. Masih ada proses selanjutnya.”
Bima manggut-manggut. Ia pamit bermain dulu sama teman-teman.
Mbok Minah kemudian memasak air dan diberi gula merah. Setelah itu, ia memasak larutan santan. Mbok Minah memasukkan daun pandan agar santannya harum.
“Mbok! Mbok! Ada orang terluka di tepi hutan. Ia kesusahan berjalan,” seru Bima sambil berlari menghampiri Mbok Minah.
“Coba susul bapakmu di ladang. Minta tolong bapak untuk memapah orang itu ke sini.”
Bima segera pergi ke ladang. Tak lama kemudian, Pak Karto, bapak Bima sudah membawa orang itu ke rumah mereka.
“Bu, kenalkan ini Tuan Wisesa, utusan Kerajaan Mangkubumi,” kata Pak Karto.
“Raja menyuruh saya mencari sumber air. Saya berkeliling naik kuda hingga tiba di desa ini. Namun, di tengah hutan tadi kuda saya tersandung akar pohon. Karena terkejut, kuda itu berlari tak terkendali hingga saya terjatuh,” cerita Tuan Wisesa.
“Sekarang kuda Tuan di mana?” tanya Pak Karto.
“Entahlah. Mungkin sudah pergi jauh,” jawab Tuan Wisesa lirih.
Mbok Minah menghidangkan minuman yang tadi dibuatnya.
“Kebetulan saya baru selesai membuat ini, Tuan. Silakan dicicipi.”
Pak Karto, Bima, dan Tuan Wisesa mencicipi minuman buatan Mbok Minah.
“Iya, segar, Mbok,” ujar Bima.
“Menyegarkan sekaligus mengenyangkan. Saya baru sekali mencobanya. Ini namanya minuman apa, Bu?” tanya Tuan Wisesa.
“Ini gempol pleret, Tuan. Yang bulat-bulat putih itu gempol. Yang pipih kecokelatan itu pleret,” jelas Mbok Minah.
Tuan Wisesa dirawat di rumah Bima hingga lukanya sembuh.
“Saya akan melanjutkan tugas saya. Semoga bisa segera menemukan sumber air baru.”
“Mbok, aku boleh menemani Tuan Wisesa mencari sumber air?” tanya Bima.
“Kalau masih di sekitar desa kita boleh,” kata Mbok Minah.
Tuan Wisesa berjanji akan menjaga Bima selama menemaninya. Bima mengajak Tuan Wisesa ke sungai.
“Sungainya saja mengering, Tuan. Lalu, di mana ada sumber air?” tanya Bima.
Tuan Wisesa berjalan di bawah pepohonan dekat sungai. Ia mengeluarkan serbuk putih dari tas dan menebarkannya di tanah. Kemudian, ia menutupinya dengan daun.
“Kita tebarkan garam di beberapa tempat. Besok kita kembali ke tempat-tempat itu. Jika garamnya habis, kemungkinan ada sumber air di bawahnya,” jelas Tuan Wisesa.
Keesokan harinya, Tuan Wisesa ditemani Bima mendatangi tempat yang sudah ditaburi garam. Di tempat pertama, garam masih ada. Demikian pula dengan tempat kedua dan ketiga. Mereka menuju tempat keempat.
“Garamnya habis, Tuan. Berarti, di sini ada sumber airnya,” seru Bima senang.
Tuan Wisesa mengajak beberapa warga untuk menggali tempat tersebut. Benar saja, begitu mencapai kedalaman beberapa meter, air menyembur ke atas.
Tuan Wisesa berhasil menyelesaikan tugasnya di desa Bima. Saat Tuan Wisesa berpamitan pada keluarga Bima, Mbok Minah membawakan gempol pleret untuk diberikan kepada Raja.
“Untuk kuah santannya maaf tidak saya bawakan, Tuan. Takut basi di jalan,” kata Mbok Minah.
“Iya, Mbok. Terima kasih atas pemberiannya. Saya yakin Raja akan menyukainya.”
Benar dugaan Tuan Wisesa. Dengan segera Raja menyukai minuman gempol pleret. Raja bahkan mengundang Mbok Minah ke kerajaan. Mbok Minah diminta untuk mengajarkan cara membuat gempol pleret pada tukang masak kerajaan. Raja pun memasukkan gempol pleret menjadi salah satu menu untuk menjamu para tamu kerajaan. Tak ayal kepopuleran gempol pleret semakin meluas hingga keluar Kerajaan Mangkubumi.
Cerpen Ini Diikutsertakan Dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024