Mio Oh Mio

“Mio, ayo sini.”

Ninda menarik tubuh Mio yang sedang berbaring di bawah kursi dengan kasar. Kucing betina itu meronta. Mungkin ia lelah dan tak ingin bermain. Namun, Ninda tak paham itu. Menurutnya, seekor kucing pasti suka diajak bermain.

“Ninda, yang lembut dong pegang Mio-nya. Tuh lihat, Mio kesakitan. Kasihan, kan,” nasihat Mama.

Ninda memandang Mio. Wajah Mio masih tetap lucu. Ninda jadi tambah gemas. Dia menggerak-gerakkan kaki Mio seperti orang berjoget. Ninda makin girang. Tawanya memecah siang yang sepi.

“Sudah, dong Ninda. Mio jangan digitukan terus. Biarkan dia istirahat,” ujar Mama.

“Tapi Ninda bosan, Ma. Ninda masih ingin main sama Mio,” rajuk Ninda.

“Mainnya yang lain saja. Kamu elus-elus. Mio kan senang dielus.”

Nida mengikuti saran Mama. Benar, Mio mendekat ke Ninda begitu dielus-elus. Mata Mio terpejam, seakan menikmati.

Hanya sebentar Ninda mengelus-elus Mio. Saat Mama berlalu, ia kembali menggoyang-goyangkan Mio. Mio terkejut. Kembali ia meronta. Mio berhasil lolos. Namun, Ninda dengan sigap menangkapnya lagi.

Mio pun pasrah dijadikan mainan oleh Ninda. Sampai akhirnya Ninda mengantuk lalu terlelap di sofa. Mengetahui Ninda tidur, Mio pergi entah ke mana.

Mama menggendong Ninda untuk dipindah ke kamar. Ninda sempat membuka mata sebelum akhirnya terpejam kembali.

“Ma.” Ninda menghampiri Mama sambil mengucek mata.

“Eh, anak Mama sudah bangun. Tidurnya lama banget. Kamu capek, ya Nak?” tanya Mama.

Ninda mengangguk. Badannya terasa pegal, padahal ia merasa tak melakukan apa-apa.

“Kamu nggak main sama Tasya?”

“Nggak, Ma. Ninda pengen di rumah.”

“Ya udah, kalau gitu bantu Mama, yuk.”

“Bantu apa, Ma?”

“Metikin daun-daun dan bunga kering, biar tanaman hias kita tetap indah dipandang.”

Ninda mengekor Mama ke depan rumah. Mama memang punya tanaman hias. Tak terlalu banyak, tapi cukup membuat suasana asri.

Belum lama Ninda memetik daun kering, ada yang memanggilnya. Ternyata Tasya datang.

“Tasya?” seru Ninda agak malas.

“Main ke rumahku yuk, Nin. Aku punya mainan baru, masak-masakan. Ada kompornya, panci, pokoknya kayak yang buat masak beneran,” ajak Tasya semangat.

“Ehm… besok saja mainnya, ya. Aku sedang bantuin Mama.” Itu hanya alasan Ninda. Entah kenapa dia malas bermain saat itu.

“Besok aku mau pergi, Nin. Ayolah, main sebentar saja. Ya, ya, mau, kan?” Tasya setengah menarik tangan Ninda.

Terpaksa Ninda menuruti ajakan Tasya. Selama bermain masak-masakan, Ninda tidak semangat. Lama-lama Tasya bosan. Ia menyudahi main masak-masakan. Ninda pun pamit pulang.

“Kok mainnya cuma sebentar, Nak?” tanya Mama. Biasanya Ninda betah kalau main sama Tasya.

“Lagi malas saja, Ma. Rasanya nggak enak deh kalau dipaksa main pas lagi nggak pengen. Padahal main itu kan menyenangkan,” lanjut Ninda.

Mama tersenyum.

“Apa Mio tadi juga seperti itu, ya Ma? Lagi nggak pengen main, tapi diajak Ninda main.” Tiba-tiba Ninda teringat kucingnya itu.

“Bisa jadi. Apalagi kamu tadi kasar sama Mio. Pasti Mio nggak nyaman,” kata Mama.

Ninda termenung. “Mio mana, ya, Ma? Ninda pengen minta maaf.”

“Ehm … Mama juga belum lihat.”

Ninda masuk ke rumah mencari Mio. Di ruang tamu, kamar, dapur, bahkan kamar mandi dijelajah Ninda. Namun, Mio tak ada di sana.

“Duh, Mio ke mana, ya?” gumam Ninda sedih.

Ninda duduk di sofa. Mengingat ke mana lagi kira-kira si Mio pergi.

“Ninda, ini Mio di sini!” teriak Mama dari luar.

Ninda bergegas menghampiri Mama. Di sana ia melihat Mio mengunyah rumput. Ninda heran melihatnya. Setahunya yang makan rumput itu sapi dan kambing, seperti di rumah Mbah Kung di desa.

Sejurus kemudian Mio bertingkah aneh.

“Mio kenapa, Ma?”

Mio sepertinya mau muntah. Kepalanya bergerak maju mundur. Mulutnya terbuka. Tak lama kemudian keluarlah sesuatu dari mulutnya.

Setelah Mio tenang, Mama mengelus kepala Mio. Kucing itu menyambut tangan Mama. Ninda baru berani mendekati kucingnya.

“Mio sakit, Ma? Kok muntah?”

“Kucing muntah tak hanya karena sakit. Bisa saja karena dia ingin mengeluarkan sesuatu yang mengganggu pencernaannya, misalnya tulang, bola bulu, atau makanan basi. Ninda lihat tadi Mio makan rumput, kan?”

Ninda mengangguk.

“Nah, serat rumput itu berguna untuk mengeluarkan benda yang sulit dicernanya.”

Ninda mengamati muntahan Mio. Benar kata Mama, itu ada gumpalan bulu. Ninda lega, artinya Mio tidak sakit.

“Mio, maafin aku, ya. Tadi memaksamu bermain. Aku juga sudah kasar. Aku nggak akan gitu lagi deh. Sekarang kamu mau main nggak?”

“Ninda, Mio sebaiknya dikasih makan dan minum dulu. Kan habis muntah. Biarkan dia pulih dulu. Nanti baru diajak main.”

“Baik, Ma. Ayo, Mio, kita masuk rumah.”

Meong … meong. Mio mengikuti langkah Ninda.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar