Part 10 – Serunya Bakar-bakar Ikan
“Apa itu, Pan?” tanya Matahari.
“Masyarakat nelayan biasa memakannya, tapi harus dibersihkan dulu. Ini namanya rumput laut. Mereka mengandung banyak gizi,” jelas Ujang.
“Lapar, nih! Kita masak rumput laut itu dan ikan yang Ujang tangkap tadi, yuk!” Dudung memegangi perutnya.
“Memang kau tahu cara memasak ikan?” tanya Bunga.
“Lilis yang masak. Kau, kan, tidak tahu masak” Dudung tertawa.
“Anak perempuan biasanya bisa masak,” ujar Ujang.
“Kalau anak perempuan yang ini beda, Jang!” bisik Dudung senyum-senyum sambil menatap Bunga yang melotot.
Ujang menatap langit lalu memandang bayangan mereka sendiri, “Sepertinya baru jam 10 pagi, sih! Kalau Dudung sudah lapar bolehlah kita masak.”
“Dari mana kamu tahu ini jam 10 pagi? Memangnya ada jam digantung di langit, sampai kamu bisa tahu hanya dengan memandang langit?” Matahari penasaran.
Ujang tersenyum. Ia menunjuk ke tanah, “Lihat bayangan kita ini. Belum pas tepat di bawah kita. Itu berarti belum jam 12.”
Matahari dan anak-anak lainnya mengangguk-angguk. Anak kota terbiasa melihat jam, sedangkan anak-anak desa bisa melihat waktu dari bayangannya sendiri di bawah sinar matahari.
“Dudung dan Matahari cari ranting-ranting dan daun-daun kering untuk bikin kompor. Aku bersihkan rumput laut. Lilis dan Bunga bersihkan ikan,” suruh Ujang.
“Lis, ajarin aku bersihin ikan, ya?” bisik Bunga.
“Bisa masak itu keterampilan bertahan hidup, lho, Bung. Kayak sekarang ini, nggak ada warung,” Lilis meringis.
Semua anak mengerjakan perintah Ujang. Tak berapa lama mereka kembali dengan hasil kerjanya masing-masing.
“Matahari dan Dudung keluarkan panci dan korek yang kita bawa. Mie instan kita masak nanti saja karena ikan dan rumput lautnya sudah banyak,” perintah Ujang.
Anak laki-laki terlihat seperti sedang bahu-membahu membuat kompor, tapi yang sebenarnya yang terjadi adalah Ujang sedang mengajari Dudung dan Matahari. Ujang menjelaskan cara menyusun batu dan menata ranting kayu serta daun-daun keringnya.
“Yang tidak bantu, jatah makannya dikit,” celetuk Lilis yang sedang menusuk ikan dengan ranting kayu.
“Iya, aku bantu,” Bunga meringis.
Gotong-royong membuat pekerjaan mereka segera selesai. Ikan bakar dan rumput laut rebus sudah tersaji. Semua wajah terlihat senang.
“Jatahku dilebihkan sedikit, ya?” pinta Dudung sambil menyodorkan piring plastik yang dibawa dari Tanjung Lesung.
Semua anak tertawa. Tak apa-apa Dudung makan lebih banyak. Lebih baik begitu daripada dia kekurangan makan lalu pingsan di pulau kecil ini.
“Ini tadi semua tidak dimasak pakai bumbu, kan? Tapi rasanya enak banget!” ujar Dudung.
“Iya, seperti ada manis-manis, apalagi ikannya,” ujar Bunga.
“Kalau makanan segar langsung dimasak memang begitu, rasa khasnya masih kuat,” jawab Ujang.
“Iya, rumput laut rebusnya enak,” ujar Lilis.
“Siapa dulu, dong, yang menangkap ikan, mencari rumput laut, dan memasaknya,” ujar Ujang.
“Tentu, Mataharilah orangnya,” jawab Matahari sambil tersenyum geli.
“Huuu..,” anak-anak menyoraki Matahari.
Ujang meletakkan piring plastiknya yang telah kosong, “Kita perlu bahan bakar untuk perahu. Aku tadi lupa mengecek bahan bakar. Kalau pulang dengan mendayung, aku tidak yakin kuat mendayung sendirian sampai di Pantai Tanjung Lesung. Kita juga tidak bisa mengandalkan angin dan layar. Ini bukan musim angin.”
“Jadi bagaimana?” wajah anak-anak kota terlihat bingung.
“Berdoa, moga-moga ada perahu atau kapal lain yang lewat sini, jadi kita bisa minta bantuannya,” kata Ujang lagi.
Ujang membongkar tempat masak tadi. Ia minta teman-temannya mencuci piring dan membersihkan peralatan masak lainnya. Mereka lalu asik main di pantai. Hanya Ujang yang tidak semangat bermain.
“Sebentar lagi malam. Lebih baik kita pindah lebih ke darat untuk berkemah,” suruh Ujang sambil menatap sinar matahari yang sudah mulai tergelincir ke arah barat.
“Kenapa kita tidak mendirikan kemah di pantai sini saja? Kan, lebih seru,” tanya Matahari.
“Kita tidak tahu seberapa jauh air pasang akan naik saat malam hari. Kita bisa kebanjiran. Lebih baik kita naik lebih ke darat agar aman,” Ujang lalu minta anak-anak kota menarik perahunya jauh ke darat.
Ujang memimpin anak-anak itu masuk ke hutan. Setiap anak kebagian membawa peralatan mereka. Dudung, Lilis, dan Bunga mengikuti langkah kaki Ujang walaupun ada rasa takut masuk ke dalam hutan itu.
Beda dengan Matahari yang selalu tersenyum menikmati aktivitas mereka. Baginya semua itu adalah petualangan seru. Apalagi saat masuk hutan, burung-burung ramai berkicau seolah-olah sedang menyambut kedatangan Matahari.
Bagaimana nasib kelima anak itu? Apakah ada perahu atau kapal lain yang melewati pulau itu dan bersedia menolong mereka?
(Bersambung…)
Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha