Part 14 – Kandang Burung Misterius
Matahari segera melangkahkan kakinya, entah arah mana yang dia ambil. Dia sendiri tak paham.
Ujang segera menyusul Matahari. Ia sigap memimpin di depan Matahari karena dia tahu Matahari tidak begitu paham hutan, apalagi diwaktu malam begini. Dudung berlari-lari kecil menyusul Matahari dan Ujang yang setengah berlari.
Mereka makin masuk ke dalam hutan. “Ini bungkus keripik talasku!” Dudung memungut sesuatu dari tanah. “Kenapa bungkus ini ada di sini? Padahal keripik ini ada di dalam tenda. Berarti benar ada yang menyusup ke dalam tenda kita!”
Mereka terus berjalan kaki. Namun kali ini lebih perlahan-lahan. Tidak gampang berjalan kaki membelah gelapnya hutan. Cahaya memang hanya remang-remang karena bulan di atas sana hanya sepotong. Belum lagi dedaunan pohon menghalangi masuknya cahaya itu ke dasar hutan.
Ujang berhenti. Matahari dan Dudung juga ikut berhenti.
“Ada apa?” tanya Matahari pada Ujang yang mengamati tanah.
“Kalian tidak memperhatikan? Semakin kita ke dalam hutan, semakin banyak jalan setapaknya,” Ujang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kita harus ikut yang mana?” tanya Dudung.
“Yang ini saja, yang banyak tapak sepatunya,” tunjuk Ujang.
Matahari meringis. Ujang benar-benar jagoan. Dalam hutan yang sangat kurang cahaya ini dia bisa tahu tapak sepatu. Memang dia beda dengan anak kota!
“Bangunan apa itu?” bisik Matahari. Jalan setapak itu membawa mereka tiba suatu bangunan dari kayu.
“Ssstt..!” Ujang memberi kode agar teman-temannya berjongkok. Dia khawatir ada yang mengawasi mereka dari bangunan itu. Dia juga baru tahu ada bangunan misterius di tengah-tengah pulau kecil itu.
“Tempat apa itu?” tanya Dudung mengulangi pertanyaan Matahari.
“Nggak tahu. Ini, kan, pertama kalinya aku ke sini, seperti kalian,” jawab Ujang.
Matahari dan Dudung saling bertatapan. Betul juga jawab Ujang.
“Apa mungkin Lilis dan Bunga ada di dalam sana?” bisik Matahari.
“Mungkin ya, mungkin tidak,’ jawab Ujang.
“Jadi kita harus bagaimana?” tanya Dudung.
Mereka diam dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Matahari berdiri. Dia mengendap-endap menuju bangunan itu.
“Mat!” seru Ujang dengan suara tertahan. Ia bermaksud mencegah Matahari, tapi Matahari terus melaju. Terpaksa Ujang mengikutinya. Dudung membuntuti Ujang.
Hanya ada satu pintu kayu untuk masuk ke dalam bangunan itu. Tidak ada pintu lain atau jendela. Matahari mencoba mendorong gagang pintu itu. Terbuka hanya sedikit. Berat. Berarti pintu ini tidak dikunci.
“Mungkin pintu ini dari kayu pohon ulin. Kayu besi namanya. Kayu besi memang berat dan sangat keras,” Ujang membantu mendorong pintu itu.
Matahari memberi kode agar Dudung juga membantunya membuka pintu itu. Dudung menggeleng-gelengkan kepalanya.
Matahari dan Ujang tetap berusaha mendorong. Pintu tetap tidak bisa terbuka lebar! Mungkin karena terlalu berat. Matahari dan Ujang mencoba mendorong pintu itu sekali lagi sekuat tenaga, “Ughh! Ughh! Ughh!” Pintu itu tetap saja tidak terbuka lebar.
“Cukup! Cukup! Aku sudah tidak kuat!” Matahari terengah-engah mengelap keringat di keningnya.
Dudung mendekati kedua temannya itu. Ia menatap pintu itu lekat-lekat. Tangan memegang gagang pintu. Pintu terbuka!
“Ajaib!” seru Matahari berbisik. Matanya terbelalak. “Kamu hebat, Dung!”
“Dudung gitu, lho! Anak super!” Dudung menunjukkan otot lengan tangannya yang penuh lemak sambil tersenyum lebar.
Ujang menyolek perut Matahari, “Pintunya ditarik, Mat! Bukan didorong! Pantas dari tadi tidak terbuka,” bisiknya.
“Astaga! Dodol!” Matahari meringis.
KLIK! Pintu itu tertutup sendiri saat mereka bertiga sudah melewatinya!
“Kita terkunci!” bisik Matahari kaget dan panik.
“Tenang Mat, pintunya tidak terkunci, kok. Aku lihat di atasnya ada door-stop, alat penutup pintu otomatis,” bisik Dudung kalem.
“Iyalah, aku tahu! Hanya tidak nyaman saja,” Matahari mengelak, pura-pura tenang.
“Pintu yang aneh, pakai alat otomatis segala,” bisik Ujang.
Ruangan di dalam bangunan itu lebih gelap, tapi masih bisa terlihat walau samar-samar. Ujang meraba-raba dinding kayu. Bangunan ini berlantai tanah. Pintu masuk itu menghubungkan mereka dengan ruangan sempit. Eh bukan, ini bukan ruangan sempit. Ini lorong.
“Lepas alas kaki kalian agar tidak ada bunyi langkah kaki kita!” bisik Matahari sok tahu.
“Tapi ini lantai tanah, bunyi tapak kaki tidak terlalu terdengar, tapi jejak kaki kita bisa terbentuk jelas,” ujar Ujang.
Matahari diam. Hanya dia yang menjinjing alas kaki.
Tidak ada satu pun jendela di lorong itu. Matahari dan kawan-kawannya terus melangkah maju sambil meraba-raba. Jantung mereka berdegup kencang, tapi mereka tidak ingin putar balik sebelum mengetahui apa yang ada ujung lorong sana. Siapa tahu ada Lilis dan Bunga di sana. Lorong itu berakhir pada sebuah pintu.
“Kalau tidak bisa didorong, coba ditarik. Ingat itu,” bisik Dudung. Matahari dan Ujang tak menjawab.
Matahari dengan hati-hati memutar handel pintu itu lalu menariknya. Pintu terbuka. Matahari melirik Dudung. Dudung tersenyum lebar.
Kini anak-anak berada di sebuah ruangan lain yang sangat luas. Ruangan itu berjendela sangat lebar dengan kawat jala tebal yang berlobang-lobang kecil, cahaya bulan sepenggal jadi bisa menyelinap masuk.
Kawat jala halus menyekat ruangan besar itu menjadi ruangan-ruangan yang lebih kecil lagi. Ketiga anak itu mengamati isi tiap ruangan. Ada burung-burung di tiap ruangan! Burung-burung di setiap ruangan satu dengan ruangan lainnya berbeda jenis. Burung-burung itu terlihat diam, mungkin sedang tidur.
“Burung-burung apa itu?” bisik Matahari.
“Itu burung branjangan,” tunjuk Ujang, “yang itu burung bubut Jawa, madu gunung, cerecet jawa, celepuk jawa, cica matahari, ciung mungkal jawa, dan ciung air jawa. Nah, kalau yang di sana itu burung jalak putih gelatik jawa, kipasan bukit, kipasan ekor merah, poksai kuda, puyuh gonggong jawa. Yang pojok sana itu burung takur batutut, tepus dada putih, tesia jawa, trulek jawa, dan wergan jawa. Kalau yang lainnya aku tidak hapal.”
“Bisa-bisanya kau hapal jenis-jenis burung! Padahal ini remang-remang, lho!” bisik Dadang.
Ujang meringis, “Aku anak desa, mainnya di alam. Jadi sangat hapal dengan burung-burung liar.”
“Mengapa mereka dikandangkan di sini, ya?” Matahari penasaran.
“Nggak mungkin mereka diternakkan untuk dimakan, masih banyak ayam dan bebek di jual,” ujar Dudung.
“Nah, itu dia, apa mereka ini dijual juga?” tanya Ujang.
“Mana kutahu,” Matahari mengangkat pundaknya.
“Kita lepaskan, Yuk! Kasihan mereka di sini,” ujar Dudung.
“Bagaimana melepaskannya? Kalau kandang ini dibuka burung-burung ini akan kebingungan karena mereka burung-burung yang aktif di siang hari. Kalau dipaksa terbang malam hari mereka akan menabrak apa saja,” jawab Ujang.
“Oh, mereka hewan diurnal ya, hewan yang aktif siang hari. Beda dengan hewan nocturnal, hewan yang aktif malam hari,” ujar Matahari.
“Tumben kamu pintar, Mat!” ujar Dudung
“Aku memang pintar, bukan tumben.”
Hap! Hap! Hap!
“Hmf! Hmf!” tiba-tiba mulut ketiga anak itu terbekap. Mereka tidak bisa berteriak. Mata mereka ditutup, tangan mereka langsung diikat di belakang punggung, kaki mereka juga diikat. Mereka dipanggul entah oleh siapa dan akan kemana.
Siapakah yang telah menangkap Matahari, Ujang, dan Dudung. Akan dibawa ke manakah mereka?
(Bersambung…)
Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha