Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – part 15

Part 15 – Bertemu Para Monster Berbintil

Matahari, Dudung, dan Ujang berusaha melawan dari yang menggendong mereka. Namun percuma saja, mulut terbungkam serta tangan dan kaki terikat. Lagi pula yang membawa mereka itu sangat kuat memegang. Entah mereka akan dibawa kemana.

Terdengar siulan dengan nada tertentu. Mungkin itu kode rahasia mereka.

“Masuk!”

Matahari tersentak. Suara itu mirip suara balasan dari tombol wireless intercom, alat komunikasi antar ruangan tanpa menggunakan kabel. Matahari tahu itu karena Abah pernah mengajaknya mampir ke kantor Abah. Abah berbicara dengan temannya yang beda ruangan memakai alat itu.

Terdengar sesuatu digeser. Mungkin itu pintu yang dibuka dengan cara digeser. Ketiga anak itu diturunkan. Mereka dipaksa duduk di bawah, sepertinya itu di sebuah lantai semen karena dingin dan rata.

“Lepaskan penutup mata mereka!” terdengar suara Pria dewasa bergetar memberi perintah.

Penutup mata Matahari, Dudung, dan Ujang dibuka. Ketiganya terbelalak, sudah ada Lilis dan Bunga duduk di pojokan sana juga. Wajah Lilis dan Bunga terlihat ketakutan dan kecapekan. Wajah mereka kotor, mungkin bekas air mata dan tanah. Mata keduanya ditutup kain.

Ketiga anak lelaki itu kaget saat ada makhluk-makhluk hendak membuka penutup mata Lilis dan Bunga. Berarti yang tadi membuka penutup mata ketiga anak lelaki itu juga makhluk-makhluk itu! Jangan-jangan mereka juga yang tadi memanggul mereka bertiga.

Makhluk-makhluk itu setinggi orang dewasa, berlengan dua, berkaki dua, tapi tubuhnya ditutupi kulit coklat hijau kehitaman berbintil-bintil kasar besar dan kecil, mengingatkan pada kulit buaya! Mata mereka juga besar dengan bola mata hitam semua. Helai-helainya rambutnya besar-besar berwarna hijau tua, sepertinya ditumbuhi lumut bertahun-tahun. Rambut itu acak-acakan, seperti rambut yang disasak asal-asalan.

Mereka berlima berusaha melawan walaupun tangan dan kaki terikat serta mulut terbungkam. Namun monster-monster berbintil itu berhasil menahan mereka.

Ruangan itu bercat putih. Di hadapan mereka ada sebuah meja besar. Di belakang meja besar itu ada sebuah kursi bersandaran tinggi yang membelakangi mereka.

“Inikah penyusup-penyusup itu?” kursi itu berputar.

Jantung anak-anak itu makin berdegup kencang. Mereka kompak memejamkan mata rapat-rapat sambil menahan nafas, saking takutnya.

“Mereka masih anak-anak,” suara yang sama tertawa renyah. “Pantas saja ada yang ngompol.”

Kelima anak itu membuka mata. Mereka saling pandang-pandangan dengan raut wajah terheran-heran. Duduk depan sana sesosok kakek-kakek berambut putih, berwajah bulat penuh senyum, pantas saja suaranya bergetar, ternyata karena usia. Tingginya setinggi badan anak-anak itu, tapi badannya lebih besar dari Dudung. Kulitnya kuning langsat dengan senyum yang tenang.

Siapa dia? bisik Dudung dalam hati. Ia melirik Ujang. Mungkin anak lokal itu lebih kenal, tapi Ujang justru sedang menatap tajam tak berkedip Kakek itu. Berarti Ujang juga baru pertama kali ini melihatnya. Tapi kenapa dia bahas yang ngompol, ya? Memangnya ada dari mereka berlima yang ngompol?

“Lepaskan ikatan di mulut mereka. Tolong ambilkan mereka kursi,” suruh Kakek itu pada para monster.

“TOLONG! TOLONG! ADA MONSTER” jerit kelima anak itu ketika mulut mereka terbebas dari ikatan.

“Percuma kalian berteriak. Pulau ini sudah kami kuasai. Sekuat apapun kalian berteriak tetap tidak ada orang yang datang membantu kalian di ruangan ini,” Kakek itu terkekeh-kekeh.

Lilis dan Bunga terisak-isak. Anak laki-laki terdiam.

“Jambulmu bagus. Siapa namamu, Nak?” tanya Kakek itu.

Matahari yang rambutnya berjambul diam saja. Dia enggan berbicara dengan orang jahat.

“Siapa namamu, Nak?” ulang Kakek itu kini dengan suara yang lebih keras.

“Matahari,” suara yang keluar dari leher Matahari terdengar serak.

“Apa? Saya tidak dengar!” tanya Kakek itu dengan suara lebih keras.

“Matahari!”

“Wah, bagus sekali namamu. Coba Matahari kenalkan, siapa saja teman-temanmu ini?” tanya Kakek itu lagi ramah.

Matahari diam. Dia enggan menjawab.

“Siapa saja nama teman-temanmu?” tanya Kakek itu lagi lebih ramah.

“Ujang, Dudung, Bunga, dan Lilis,” Matahari menunjuk ke teman-temannya dengan bibirnya karena kedua tangannya masih diikat di belakang punggung.

“Sedang apa Matahari dan teman-teman datang ke kandang burung malam-malam begini?”

Matahari diam. Walaupun Kakek itu ramah tapi kelima anak itu enggan berkata jujur. Apalagi para monster itu masih berdiri di dekat mereka.

“Ayo, cerita. Jangan takut,” senyum ramah sang Kakek merekah. “Kalau Matahari diam saja, Dudung, Ujang, Bunga, atau Lilis boleh menjelaskan.”

Kelima anak-anak itu tetap diam. Mereka bahkan tidak bergerak sedikit pun.

“Untuk apa kalian ke sini? Kalian memang sudah berencana mau liburan ke pulau ini? Bukankah masyarakat sudah mewanti-wanti siapa pun tidak boleh ke sini dengan menyebut pamali untuk nama pulau ini?”

Keempat anak-anak kota itu menunduk. Mereka ingat Ujang yang mengajak mereka ke pulau itu.

Ujang diam. Ingin sekali dia berkata mereka ke situ karena keadaan darurat.

“Kalian ke sini pakai perahu, kan? Perahu kalian rusak? Teknisi di sini sudah saya suruh untuk memperbaikinya. Bahan bakar solarnya pun sudah diisi penuh. Apa kalian sudah cek perahu kalian?” Kakek itu masih saja bertanya.

Anak-anak masih diam. Memang mereka tidak ada yang tahu jika perahu mereka sudah diperbaiki.

Dudung menelan ludah. Lehernya kering, haus.

Rupanya Kakek melihat tingkah Dudung. “Tolong beri mereka minum,” suruh Kakek itu pada para monster.

Dua monster meninggalkan ruangan. Tak berapa lama kemudian mereka datang kembali sambil membawa gelas-gelas berisi cairan berwarna kuning. Gelas-gelas itu diletakkan di atas meja di depan anak-anak. Tercium wangi jus jeruk.

“Buka ikatan tangan mereka!” suruh sang Kakek pada para monster.

“Jangan-jangan sudah dicampuri racun,” bisik Dudung cepat pada Matahari.

Rupanya bisikan Matahari terlalu keras hingga terdengar oleh sang Kakek. Kakek itu lalu mengambil gelasnya Matahari. Ia meminum air kuning itu hingga tandas.

“Mana mungkin saya beri kalian minuman beracun,” ujar Kakek itu terkekeh-kekeh lagi.

Tangan Dudung segera meraih gelas yang ada di hadapannya. Rupanya ia tidak lagi bisa menahan rasa hausnya.

“Dung!” bisik Matahari mencegah Dudung.

Glek! Glek! Glek! Dudung mengabaikan bisik Matahari. Ujang, Bunga, Matahari, dan Lilis menatap Dudung sambil melotot.

Dudung tersenyum. Minuman itu sungguh segar!

Matahari menelan ludah. Ia kini baru merasakan kehausan. Matahari mengambil gelas Ujang. Ujang diam saja. Bunga dan Lilis juga meraih gelas masing-masing. Glek! Glek! Glek! Cairan kuning dari gelas-gelas itu pindah ke perut mereka.

Salah satu monster membawakan satu gelas lagi untuk Ujang. Ujang mencicipi sedikit. Dia tersenyum lalu menghabiskan isi gelas itu. Nikmatnya!

Kelima anak itu saling melempar senyum. Jus jeruk itu rasanya enak sekali. Kakek itu kembali tertawa terbahak-bahak.

Apakah anak-anak itu aman-aman saja setelah minum jus jeruk buatan para monster berbintil itu?

(Bersambung…)

Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar