Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 17

Part 17 – Upaya Meloloskan Diri

Dalam situasi yang genting itu Matahari dan Ujang tetap tenang, karena tidak ada orang lain yang bisa mendengar teriakan mereka. Justru berteriak dan memberontak akan menghabiskan energi dan membuat tidak bisa berpikir tenang. Jika tidak tenang, mereka tidak bisa menemukan cara dan celah untuk meloloskan diri.

Datang sebuah kapal. Kapal ini jauh lebih besar dari perahu kayu milik Ujang. Kelima anak itu digendong naik ke kapal. Dudung, Lilis, dan Bunga tidak lagi memberontak, mungkin mereka sudah kecapekan. Matahari dan Ujang masih tetap tenang, tapi tetap waspada.

Kapal berlayar membelah lautan. Tenaga mesin kapal mengantar mereka tiba di pantai Tanjung Lesung dengan waktu yang singkat. Tapi ini sisi pantai Tanjung Lesung lain. Bukan pantai Tanjung Lesung tempat pesta Paman Bunga kemarin. Ini tepi pantai di area hutan belantara. Tidak ada penginapan atau pun orang berkeliaran di sini.

Kelima anak itu digendong turun dari kapal. Mereka langsung dimasukan ke bak belakang mobil pick up. Bak belakang mobil itu dibuat semacam penutup berbentuk rumah-rumahan dari kain kanvas terpal yang tebal dan kaku.

Anak-anak dijaga dua orang pria berbadan kekar yang duduk di bagian ujung belakang bak mobil. Anak-anak harus melewati kedua pria kekar itu jika ingin keluar.

Supir mobil pick up memakai celana jeans biru, kaos hitam, dan topi yang hampir menutup wajahnya. Mobil pick up itu langsung melaju. Monster-monster itu kembali naik kapal, mungkin mereka kembali ke pulau.

Mobil awalnya bergerak pelan-pelan karena jalan tidak mulus. Bokong anak-anak itu harus merasakan sakit, terlonjak-lonjak terkena dasar bak belakang mobil yang terbuat dari logam.

Sejam perjalanan, jalanan kembali mulus. Anak-anak tidak tahu mereka sedang di mana. Kain kanvas terpal yang tebal dan kaku itu hanya punya dua lubang angin. Satu di sisi kiri atas mobil, yang lain di sisi kanan atas. Anak-anak harus berdiri untuk menggapainya, tapi kini mereka tidak bisa berdiri karena selain kaki dan tangannya sedang terikat, dua penjaga itu selalu mengawasi gerak-gerik mereka.

Dua jam perjalanan, Dudung, Lilis, dan Bunga tertidur dengan tangan terikat di belakang punggung, kaki terikat, dan mulut tertutup. Ujang dan Matahari pura-pura tidur.

Dua pria kekar yang menjaga mereka lama-lama tertidur juga. Matahari menyenggol Ujang yang duduk di sampingnya. Ujang membuka mata. Matahari memberi kode agar mereka saling membelakangi agar tangan mereka yang terikat di belakang punggung bisa saling bersentuhan. Ujang mengikuti perintah Matahari. Ujang berusaha membuka ikatan tangan Matahari. Berhasil!

Matahari lanjut membuka ikatan kakinya. Ia juga membuka ikatan tangan dan kaki Ujang. Mereka membuka ikatan Dudung, Lilis, dan Bunga.

Tiba-tiba mobil berhenti. Matahari mengintip dari lubang angin. Supir membeli air mineral di warung. Dua pria kekar yang menjaga mereka masih tertidur. Matahari mengendap-endap turun. Ujang menyusul. Ujang membaca dan menghapal nomor plat kendaraan yang ada di bagian belakang mobil itu. Saat Dudung dan anak-anak perempuan mau turun, mobil jalan kembali dengan cepat!

Matahari dan Ujang saling bertatapan. Mereka tidak mungkin mengejar mobil itu dengan berlari, tapi ketiga temannya ada di dalam sana!

Ujang menghentikan sebuah truk yang lewat, “Tiga teman saya ada di mobil pick up di depan itu. Kami terpisah. Maukah Bapak mengejar mobil pick up itu?”

“Ada-ada saja! Orang lagi kerja disuruh kejar-kejaran!” Supir truk itu tidak percaya. Truk pun melaju meninggalkan Ujang dan Matahari.

Untung tak berapa lama ada truk lagi lewat. Kali ini Ujang dan Matahari beruntung, Pak Supir dan kernetnya membolehkan mereka naik. Supir truk itu dengan baik hati mau membuntuti mobil pick up dengan nomor plat yang Ujang hapal.

Mereka melewati sebuah pom bensin di daerah Pamarayan. Truk berjalan pelan mengamati di barisan mobil yang sedang antri mengisi bensin.

“Itu mobilnya!” tunjuk Ujang pada sebuah mobil pick up yang sedang mengisi bensin.

Truk segera parkir. Matahari dan Ujang diam-diam mendekati Petugas pom bensin yang sedang kosong antrian pelanggan. Pak Supir truk dan kernetnya mendekati mobil pick up itu dan pura-pura mengajaknya ngobrol Supir mobil pick up untuk mengulur waktu.

“Pak, bisa minta tolong, teman-teman kami ada di dalam mobil itu. Mereka disekap. Bisakah Bapak dan teman-teman Bapak mencegah mereka pergi?” pinta Ujang.

“Dasar anak-anak! Jangan suka mengarang cerita!” bentak Petugas itu.

“Sumpah, Pak. Ketiga teman kami disekap di dalam mobil pick up itu. Tolong Bapak periksa. Kami tidak bohong! Itu ada Supir truk dan kernetnya sedang menolong kami, tapi mereka hanya berdua sedangkan di dalam mobil itu ada tiga pria dewasa, bahkan yang dua berbadan kekar,” tabah Matahari.

Pertugas pom bensin mengajak temannya. Mereka ikut mengobrol dengan Supir mobil pick up. Tiba-tiba Supir mobil pick up tersadar ia sedang dikepung. Ia segera naik mobilnya dan hendak melarikan diri. Untung kunci mobilnya sudah diambil oleh salah satu Petugas pom bensin.

Keributan itu mengundang masyarakat sekitar berdatangan. Para Petugas pom bensin dan masyarakat membuka kain kanvas terpal penutup bak belakang mobil pick up. Dua pria besar itu hendak menyendera anak-anak. Namun gagal karena banyaknya masyarakat yang mengepung.

Masyarakat mengontak polisi. Polisi datang memeriksa laporan masyarakat dan membawa ketiga penjahat itu, Supir truk, Petugas pom bensin, dan anak-anak ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

Matahari, Dudung, Bunga, Lilis, dan Ujang menceritakan apa yang mereka alami dengan lengkap. Mulai dari mereka pergi naik perahu hingga burung-burung yang dikandangkan di bangunan kayu dengan pintu depan yang dibuka dengan car ditarik, pintu geser, ruangan penuh burung-burung langka juga kapal, dan para monster berbintil serta Kakek yang dipanggil sebagai Bos.

Tak lupa Matahari juga menyerahkan surat ancaman dari para monster yang masih disimpannya di saku celananya. Matahari, Dudung, dan Ujang menceritakan kepada Polisi tentang bakteri ganas di tubuh mereka. Bunga dan Lilis yang baru tahu tentang surat ancaman itu ikut bergidik ngeri.

Polisi menghubungi orang tua anak-anak itu untuk datang ke Kantor Polsek (Kepolisian Sektor) Pamarayan. Kantor polsek jadi ramai dengan isak tangis para Ibu-ibu. Bapak-bapak juga terlihat kaget ada peristiwa itu. Semua bersyukur, anak-anak selamat walaupun Lilis dan Bunga masih terisak-isak.

Pertemuan para orang tua itu juga membahas perahu dan peralatan kemping yang tertinggal di Pulau Pamali. Ayah Ujang akan memperbaiki perahu dan membawanya kembali ke Tanjung Lesung. Peralatan kemping akan diganti uang patungan oleh orang tua Matahari, Dudung, Bunga, dan Lilis.

Ini pelajaran berharga bagi kelima anak-anak itu. Di luar sana, alam bisa berubah menjadi ganas, atau ada manusia-manusia yang punya kepentingan lain yang merugikan kita. Bukan berarti mereka tidak boleh bertualang, hanya saja jika ingin bertualang agar mempersiapkan semuanya lebih matang lagi.

“Ujang, kamu pulang ke Tanjung lesung dengan orang tuamu. Kami pulang ke Bandung. Kapan-kapan kita ketemu lagi, ya. Kau punya nomor ponsel?” tanya Matahari.

Ujang menggeleng, “Pakai nomor ponsel Ayahku saja.”

“Oh, oke. Eh, menurutmu siapa sebenarnya monster dan Kakek itu?” tanya Matahari.

“Entahlah. Aku juga baru tahu di pulau itu ada mereka,’ Ujang mengangkat bahunya.

Jadi siapakah monster-monster dan Kakek itu? Untuk apa mereka mengurung burung-burung langka di sana?  

(Bersambung…)

Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha

Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 17”

Tinggalkan komentar