Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 4

Part 4 – Persiapan ke Tanjung Lesung

“Hai, Mat! Aku dan Lilis sudah menunggumu!” mata Bunga berbinar melihat sahabatnya yang berjambul itu datang.

“Kenapa? Nggak seru, kan, kalau pergi tanpa aku?” Matahari tersenyum sambil menurunkan tas ranselnya.

“Hu! Ge er!” seru Bunga.

“Eh, itu Abah dan Ambu kamu juga ikut?” bisik Lilis.

“Lho, Abah? Ambu?” Matahari terbelalak. Ia terheran-heran melihat Abah dan Ambu datang membawa tas ransel juga.

Ambu tersenyum, “Kenapa? Ambu nggak boleh ikut?”

“Ta-tapi apa Ambu dan Abah diundang? Ini, kan, acara keluarga besarnya Bunga. Matahari diundang karena temannya Bunga,” Matahari masih terheran-heran.

“Orangtua Bunga, kan, juga temannya Ambu dan Abah,” senyum Ambu semakin lebar buat Matahari meringis.

“Tempo hari saat Ambu tidak setuju kamu ke Tanjung Lesung, Abah menghubungi orangtua Bunga untuk menanyakan apa yang akan dilakukan anak-anak di Tanjung Lesung. Tak disangka-sangka, Ummi Bunga malah mengajak Ambu dan Abah ikut ke Tanjung Lesung,” jelas Abah.

“Tapi Kakek dan Nenek bagaimana?” tanya Matahari.

“Sepulang dari Tanjung Lesung kita langsung ke Sukabumi, Mat,” jawab Ambu lalu mengajak Abah menemui Tuan rumah.

Pantas kemarin Ambu dan Abah senyum-senyum, ternyata ini rencana mereka. Matahari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Di mana serunya pergi bertualang dengan Ambu dan Abah? Pastinya nanti serba tidak boleh, batin Matahari.

“Mana Dudung? Dia belum datang juga?” mata Bunga mencari-cari wajah Dudung.

“Iya, padahal kita sudah siap berangkat, nih!” Lilis juga ikut mencari.

“Nanti juga dia datang sendiri,” jawab Matahari cuek sambil mengunyah kue sagon. Kue buatan Ummi Bunga itu memang disuguhkan untuk sanak saudara dan tamu yang akan ikut mengantar pengantin ke Tanjung Lesung.

Kue sagon adalah kue tradisional warisan leluhur. Terbuat dari tepung ketan, gula pasir, dan kelapa parut yang dibasahi dengan sedikit air, diaduk rata lalu dioven. Bentuknya biasanya bulat pipih atau lonjong pipih.

“Tolong jemput Dudung, dong, Mat. Kita sudah mau berangkat, nih,” pinta Bunga.

“Tunggu saja, sebentar lagi dia datang, kok,” Matahari memeluk toples kue sagon.

“Mat, kalau Dudung telat datang, kita juga bakal telat perginya!” Lilis melotot.

“Iya! Iya! Tenang saja akan kujemput,” Matahari beranjak dengan malas.

“Toplesnya tidak usah dibawa pergi, Mat! Aku juga mau kuenya!” Lilis mencegah Matahari membawa pergi kue sagon.

Matahari meringis. Dia baru sadar setengah isi toples besar itu sudah habis dilahapnya.

Matahari sampai di depan rumah Dudung. Rumah itu sepi seperti tidak ada kegiatan. Jangan-jangan Dudung lupa kalau kita mau Ke Tanjung Lesung, batin Matahari. “Dung! Dudung! Ayo, ke rumah Bunga. Kamu sudah ditunggu banyak orang di sana!” panggil Matahari.

Dudung muncul dari balik pintu. Wajahnya tampak lesu.

“Ayo, kita segera ke rumah Bunga!” ajak Matahari lagi.

“Tanggung! Aku sedang menunggu masakan Emak matang, masakan khas yang dimasak khusus saat kumpul keluarga besar,” kata Dudung.

“Kita bisa kesiangan, Dung. Jalan keburu ramai. Kita bisa terjebak macet!” Matahari segera menarik Dudung ke luar rumah.

“Tunggu, sebentar lagi juga matang, kok,” tolak Dudung.

“Tidak bisa! Harus sekarang, Dung!”

Dudung menghela nafas, “Aku pamit Emakku dulu!”

Tak lama kemudian Dudung sudah kembali ke hadapan Matahari. Dia memanggul ransel besar di punggungnya.

Pasti ransel itu isinya makanan bekal liburan, tebak Matahari sambil senyum-senyum geli.

Matahari segera menarik tangan Dudung menuju rumah Bunga. Dudung yang membawa ransel besar itu terseok-seok mengikuti langkah kaki Matahari yang cepat.

Bunga dan Lilis lega melihat Matahari masuk ke halaman rumah bersama Dudung. Sedetik kemudian Bunga dan Lilis tersenyum-senyum geli.

“Kenapa senyum-senyum?” protes Dudung sambil menyeka keringatnya habis mengejar Matahari.

“Bajumu keren, Dung!” seru Lilis sambil tertawa lebar.

Dudung terbelalak. Ia masih pakai kaos dalam! Untung celananya selutut, “Aku pulang ganti baju dulu!”

“Sudahlah, tidak apa-apa! Kita sudah siap berangkat. Sesekali tampil gitu keren, Dung,” Bunga menahan tangan Dudung yang sudah mau pulang.

Dudung cemberut. Pantas dari tadi Matahari senyum-senyum.

“Lho, ada bus juga selain mobil? Mewah amat!” Dudung kaget ada mobil MPV (Multi Purpose Vehicle) dan Medium bus (bus medium) terparkir depan rumah Bunga. Mobil MPV sering disebut mobil serbaguna, karena muat banyak orang dan ada bagasinya sedangkan medium bus biasa disebut bus ¾.

“Itu mobil dan bus sewaan, Dung! Ini hanya untuk pernikahan Pamanku. Memangnya kamu mau jalan kaki ke Tanjung Lesung.”

Dudung meringis, “Ya, kali ada odong-odong seperti katamu kemarin, Bung!”

Beberapa orang dewasa memasukkan hantaran pernikahan ke dalam Bus. Bunga dan Lilis bergegas membantu.

“Jangan dijadikan bantal, Dung!” ujar Matahari melihat Dudung menepuk-nepuk hantaran selimut berbentuk angsa.

“Iya, iya, aku tahu, kok!” Dudung bersungut-sungut.

“Mat! Dung! Kalian berdua bantu masukan hantaran ke dalam bus, dong! Masih banyak hantaran di dalam rumah,” suruh Bunga sambil membawa hantaran berisi bahan kebaya dan kain batik.

Tanpa berkomentar, Matahari dan Dudung segera membantu Bunga. Mereka merasa harus ikut bantu-bantu keluarga yang mengajak mereka, karena tujuan utama ke Tanjung Lesung untuk hajatan.

Tak lama kemudian semua hantaran sudah masuk ke dalam bus. Semua handai taulan Bunga juga sudah duduk manis dalam bus.

Dudung dan Matahari duduk di bagian belakang bus. Dudung memangku hantaran berisi kebaya. Matahari memangku selimut berbentuk angsa.

Bunga dan Lilis naik ke mobil. Tangan kanan Bunga membawa alat pancing. Lilis membawa toples besar berisi kue-kue kering. Mobil itu dikendarai Abi (Ayah) Bunga. Ummi, Ambu, dan Abah juga naik ke mobil.

“Bunga! Lilis! Kalian tidak ikut bus ini?” protes Dudung dari jendela bus.

“Tidak!” jawab Bunga dari jendela mobil.

“Curang!” Dudung cemberut.

“Kamu benar-benar mau mancing di Tanjung Lesung, Bung?” Matahari penasaran melihat alat pancing Bunga.

Bunga tidak menjawab. Mobil yang ditumpangi sudah mulai jalan. Bunga hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Lilis juga begitu.

“Kok, kita yang ditugaskan mengurus hantaran? Ini, kan, urusan anak perempuan!”  bisik kesal Matahari sambil menatap selimut berbentuk angsa yang dipangkunya.

Bukannya terhasut Matahari, Dudung malah ketawa geli, “Kamu cocok, kok, dengan bebek-bebekan merah muda itu!”

“Cocok dari Hongkong!” Matahari meringis.

Bus membuntuti mobil yang dinaiki Bunga. Jalanan yang beraspal mulus membuat beberapa orang langsung tertidur, termasuk Matahari. Baru setengah jam perjalanan terdengar dengkuran halus Matahari. “Zz… zz… he… he… he..,” uniknya dengkuran Matahari bercampur tawa.

Dudung tersenyum geli, “Mat! Kita sedang di bus mau ke Tanjung Lesung. Bukan sedang nonton lawak stand up comedy.”

“Zz… Zz..,” tentu saja Matahari tidak mendengar kata-kata sahabatnya itu. Ia tetap asik ngorok.

Dudung terdiam. Tidak ada yang diajak ngomong. Tiba-tiba wajahnya berubah, “Mat! Mat! Tolong, Mat! Tolong!”

Mengapa Dudung membangunkan Matahari? Apakah perjalanan mereka lancar hingga ke Tanjung Lesung?

(Bersambung…)

Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar