Part 7 – Serunya Naik Perahu Kayu
Hari itu Bunga, Lilis, Dudung, dan Matahari sudah bangun pagi-pagi sekali. Mereka gelisah menunggu kedatangan Ujang. Saat makan sarapan pun keempatnya sibuk bergantian melongok ke jendela dan pintu. Ambu, Abah, Ummi, dan Abi sampai terheran-heran melihat tingkah keempat anak itu yang tidak tenang saat makan.
“Kami menunggu teman baru kami, anak Tanjung Lesung. Kami mau diajak jalan-jalan ke pantai,” jelas Matahari.
Keempat orang dewasa itu tersenyum. Maklum, Matahari dan ketiga temannya itu jarang liburan ke pantai. Tak heran mereka antusias sekali main ke pantai.
Pagi itu Abah akan mengantar Ambu ke Sukabumi. Akhirnya Ambu mengijinkan Matahari berlibur bersama teman-temannya dan keluarga Bunga di Tanjung Lesung. Ambu dan Abah menasihati anaknya agar menjaga sopan santun di tempat orang. Matahari mengangguk-angguk.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul di penginapan. Keempat anak itu menyambut Ujang dengan heboh. Langsung saja Ujang mengajak Matahari dan Dudung ikut dengannya pinjam perlengkapan kemping ke rumah teman Ayah Ujang. Bunga dan Lilis menyiapkan bekal makanan dan lain-lain.
Lilis dan Bunga sudah selesai mengemas ransel mereka dengan mie instan, korek api, air mineral, senter, dan lain-lain. Tak lupa Bunga juga membawa alat pancing miliknya.
Ujang mendorong perahu kayu milik Ayahnya yang ada di pantai ke arah laut, “Hey! Kok kalian malah bengong. Ayo, bantu aku!”
“Kita tidak jalan-jalan di pantai ini dulu?” tanya Matahari.
“Nanti saja kalau sudah di pulau-pulau sana. Di sana pantainya lebih bagus.”
“Oke, deh!” keempat anak-anak kota itu membantu Ujang mendorong perahu kayu dari pantai berpasir ke arah air laut. Barang-barang bawaan dimasukkan ke perahu.
Ujang duduk di bagian belakang perahu. “Kita mendayung dulu. Nanti kalau sudah sampai ke laut, kita nyalakan mesin tempelnya,” tunjuk Ujang pada mesin tempel yang ada di belakang perahu.
“Itu namanya mesin tempel? Untuk apa mesin itu?” tanya Lilis. Keempat anak kota itu menatap Ujang dan mesin tempel bergantian dengan tatapan bingung.
Ujang tersenyum, “Mesin tempel atau motor tempel ini penggerak perahu agar lari perahu lebih kencang saat di air. Mesin tempel dipasang di bagian belakang perahu. Di bagian bawah mesin tempel dilengkapi dengan baling-baling. Baling-baling ini harus masuk ke dalam air.”
“Lho, kenapa tidak sekarang baling-balingnya dimasukkan ke air? Kan, kita sudah di laut?” tanya Dudung.
“Aku tahu! Biar aku yang jawab!” seru Bunga tiba-tiba. “Kita masih di laut dangkal sehingga baling-baling bisa menabrak karang, pasir dasar laut, atau terjerat rumput-rumput laut yang tumbuh di dasar laut. Itu bisa merusak baling-baling. Karena itu Ujang menunggu hingga perahu ini sampai ke laut yang lebih dalam.”
“Betul. Nanti kalau sudah di laut yang lebih dalam, mesin tempel ini dipasang tegak lurus, jadi tidak ada yang menghalangi baling-balingnya berputar. Selain sebagai penggerak perahu, mesin tempel ini juga berfungsi untuk mengemudikan arah perahu,” jelas Ujang.
Anak-anak dari Bandung itu mengangguk-angguk. Mereka baru tahu tentang mesin tempel. Bunga yang rajin membaca pun baru mendengar kata ‘mesin tempel’.
Ujang tersenyum. Dia maklum, kehidupan anak kota dan anak-anak yang tinggal di pesisir pantai berbeda.
“Kalian bisa mendayung?” tanya Ujang pada keempat anak kota itu.
Keempat anak itu saling bertatapan sambil meringis. Pernah mereka naik perahu, tapi itu di danau buatan. Perahunya berkepala angsa dan dikayuh dengan kaki, seperti sedang mengayuh sepeda.
Perahu mainan itu tentu saja tidak ada apa-apanya dibanding perahu kayu Ujang. Perahu Ujang ini sanggup menyeberangi lautan luas dan dalam.
“Hei! Kok bengong lagi?” Ujang tertawa.
Keempat anak itu ikut tertawa. “Ini dayungnya?” tunjuk Matahari pada Ujang.
Diam-diam Matahari mencuri-curi pandang cara Ujang mendayung. Dudung juga begitu. Karena hanya ada tiga dayung, Lilis dan Bunga tidak ikut mendayung. Perahu bergerak membelah tengah lautan.
“HUAA..!! HUAA..!!”
Tiba-tiba perahu oleng ke kiri dan ke kanan! Keempat anak kota itu menjerit-jerit ketakutan. Bunga dan Lilis saling berpelukan. Dudung menutup matanya sambil memegang dayungnya erat-erat. Matahari menjerit-jerit sambil melotot.
“TENANG! TENANG!” seru Ujang, tapi keempat anak tetap menjerit-jerit. “DIAM! JANGAN BERGERAK! JANGAN BERTERIAK!”
Matahari mengigit pangkal dayung saking takutnya. Dudung masih menutup matanya dengan tangan gemetar. Bunga dan Lilis makin erat berpelukan. Akhirnya perahu kembali tenang.
“Syukurlah perahu sudah kembali tenang!” ujar Ujang.
“Ke-kenapa perahu kita oleng?” tanya Bunga.
“Matahari dan Dudung salah mendayung,” ujar Ujang, “ada aturan mendayung. Kalau tidak seirama, perahu bisa oleng lalu terbalik.”
“Kita bisa tenggelam?” tanya Dudung dengan sorot mata khawatir.
“Iyalah! Bahaya! Kita bisa mati tahu!” ketus Matahari sambil memegang pinggir perahu erat-erat.
“Kenapa kalian ketakutan, sih?” Ujang bingung.
“Kita tidak bisa berenang, Jang!” ujar Dudung jujur.
“Jangan diumumkan, Dung! Malu!” bisik Matahari.
“Astaga! Aku tidak berpikir sejauh itu!” Ujang menepok jidatnya sendiri, “Kalau begitu biar aku saja yang mendayung. Resikonya perahu ini akan berlayar sangat lambat.”
“Biar lambat asal selamat, kan, Jang,” ujar Lilis.
“Oke, jadi kita mau ke mana, nih?” tanya Ujang.
“Katamu kemarin mau lihat pulau-pulau dan kemping di sana,” tagih Matahari.
“Iya, katanya mau jalan-jalan di pantai pulau-pulau itu,” Lilis ikut mengingatkan.
“Kita mancing dulu, yuk, mumpung masih di lautan!” usul Bunga.
“Ke pulau-pulau kecil sekitar pantai Tanjung Lesung saja dulu. Pulangnya baru mancing,” tawar Matahari.
“Mancing dulu lebih asik!” Bunga bersikeras. Dia penasaran banget dengan serunya memancing di lautan yang sering dia baca di buku.
“Kalau mau mancing, di sini juga bisa, kok,” Ujang menunjuk laut di sekitar perahu.
“Pokoknya habis mancing kita kemping ke pulau!” seru Matahari dengan suara tinggi. Dia khawatir mereka tidak jadi berkemah.
“Kita ke Gunung Anak Krakatau saja, yuk!” usul Dudung.
“Hei! Kemarin, kan, sudah dijelaskan harus punya surat izin ke sana!” ketus Bunga.
“Ogah, Dung!” protes Ujang. “Itu, kan, masuk Lampung. Jauh. Kalau hanya aku yang mendayung perahu ini, bisa encok aku!”
“Nah, kan. Apa kubilang!” celetuk Bunga lagi.
“Bagaimana kalau kita ke Ujungkulon?” usul Dudung.
“JANGAN!” teriak Bunga.
Alis Ujang terangkat, “Kenapa?”
“Bunga takut badak!” Matahari tertawa.
Bunga tersenyum kecut. Sebagai teman akrab, tentu saja Matahari hapal hewan apa yang ditakuti Bunga.
“Badak itu pendiam, kok. Dia tidak akan mengganggu kalau tidak diganggu,” ujar Ujang tersenyum geli.
“Jangan tersenyum-senyum. Kamu senang, ya, ada orang takut dengan badak?” ujar Bunga kesal.
“Maaf, tapi kenapa kamu takut dengan badak?” tanya Ujang.
“Takut diseruduk. Badak, kan, hewan liar,” Bunga membela diri.
“Memangnya kalian yakin bisa bertemu badak? Badak, kan, hewan langka! Jumlah badak di Ujungkulon dikit banget. Jarang ada orang yang bisa ketemu mereka. Bisa lihat jejak kakinya saja sudah beruntung banget. Para peneliti badak bahkan sampai nginap berminggu-minggu di hutan Ujungkulon agar bisa ketemu badak. Itu pun belum tentu bisa melihat badaknya langsung,” jelas Ujang.
Bunga bengong, dia tahu badak hewan langka, tapi dia tidak tahu kalau hewan itu masih diteliti hingga sekarang. Jadi apakah yang akan dilakukan Bunga? Akankah ia pilih memancing, ke Ujungkulon atau pergi kemping seperti pilihan Matahari?
(Bersambung…)
Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha