Part 9 – Kemping di Pulau Misterius
“Kita mau berlabuh di mana?” Matahari menatap laut di sekelilingnya.
“Sebenarnya aku akan mengajak kalian ke pulau yang biasa dipakai untuk berwisata. Pulau Umang, Pulau Panaitan, juga Pulau Peucang. Di sana didirikan berbagai macam fasilitas keren untuk liburan. Ada rumah-rumah penduduk juga di sana,” jawab Ujang.
“Kita ke sana saja!” ujar Dudung bersemangat.
“Tidak! Terlalu jauh. Kita akan ke pulau itu!” Ujang menunjuk sebuah pulau.
“Apakah pulau itu ada fasilitas untuk liburannya juga?” Lilis penasaran.
“Tidak, sepertinya tidak ada orang yang tinggal di pulau itu, tapi kita harus berlabuh. Mesin tempel perahu ini sepertinya rusak setelah ngebut menghindari hiu tadi. Kita harus bersandar segera agar aku bisa mengecek perahu ini. Daratan yang paling dekat dengan kita hanya pulau itu,” jelas Ujang.
“Apa pulau itu aman? Tidak ada hewan buasnya?” selidik Bunga.
“Entahlah, semoga tidak ada,” ujar Ujang tanpa ekspresi.
“Tidak ada badaknya, kok, Bung!” Matahari berusaha melucu agar suasana tidak tegang, tapi sayang, tidak ada yang ingin tertawa. Matahari salah tingkah.
Perahu mereka merapat ke pulau terdekat itu. Yang terdengar hanya suara debur ombak, burung-burung berkicau, dan desik daun-daun pohon kelapa yang tertiup angin.
“Yuhuuu….!! Akhirnya kemping juga kita!” seru Matahari saat kakinya turun dari perahu menyentuh air pantai.
Ujang memerintahkan keempat temannya itu untuk membantunya mendorong perahu naik ke pasir pantai. Ujang mengecek kerusakan perahu. Mesin tempelnya ngadat dipaksa ngebut tadi.
“Apa nama pulau ini, Jang?” tanya Bunga yang berdiri di samping Ujang yang sedang memeriksa mesin tempel.
“Entahlah, hanya saja orang-orang tua menyebutnya Pulau Pamali.”
“Pamali? Bukankah kata ‘pamali’ itu untuk menyebut sesuatu yang tabu atau tidak boleh dilanggar dalam masyarakat Sunda?” tanya Bunga.
“Iya.”
“Kau tidak takut ke sini?”
“Kan, tadi aku sudah bilang. Perahu kita rusak,” jawab Ujang datar.
Bunga diam. Dia membiarkan Ujang fokus memeriksa perahu kayu.
Matahari membawa sebatang kayu dengan secarik kertas di atasnya. Tak lama kemudian tangannya sudah menggenggam spidol dari dalam ransel. “Ayo, kita tulis nama-nama kita di sini.”
“Hah? Kamu sedang apa sih, Mat?” Lilis meringis.
“Ini penemuan besar! Kalian tahu Columbus? Dia jadi pahlawan saat menemukan Amerika. Nah, kita yang pertama kali berlabuh di pulau ini jadi kita harus menuliskan nama-nama kita!” dengan semangat Matahari menuliskan namanya besar-besar di kertas secuil itu.
“Apa? Pulau Hijau katamu?” Bunga mengernyitkan dahi. “Tadi aku tanya Ujang, pulau ini namanya Pulau Pamali.”
“Sudah ganti karena kita datang ke sini. Sekarang namanya jadi Pulau Hijau,” jawab Matahari kalem. “Hijau karena ada banyak pohon kelapa tumbuh di sini. Buahnya apa lagi, banyak banget!”
Ujang tersenyum. Anak-anak kota ini heboh, maklum baru pertama kali mengunjungi pulau. Sebenarnya tidak hanya pohon kelapa, ada banyak pohon cemara laut dan ketapang juga di sini.
“Pulau Hijau? Green Island saja biar kayak Greenland yang ada di luar negeri itu. Bagaimana?” usul Lilis.
“Greenland, apaan, sih?” dahi Dudung berkerut.
“Itu, lho, Dung, Greenland itu pulau terbesar di dunia, terletak di Samudera Atlantik Utara, bagian dari Kerajaan Denmark. Walaupun namanya Greenland yang berarti tanah atau daratan hijau, tapi kenyataannya hampir 80% wilayah Greenland tertutup salju,” jelas Bunga.
“Pakai Bahasa Indonesia saja kenapa, sih? Heran, deh, kenapa anak-anak jaman sekarang sok pakai Bahasa Inggris padahal Bahasa Indonesia juga keren, kok!” Matahari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lilis tertawa, “Memangnya kamu anak jaman kapan, Mat?”
Ujang yang sibuk memperbaiki perahu ikut tertawa. Anak-anak kota itu malah sibuk membahas tentang nama baru untuk pulau ini.
“Ada yang bisa aku bantu, Jang?” tanya Dudung.
“Mesin tempel perahu ini rusak lumayan parah. Dinding perahu belakang juga ada yang retak. Harus tunggu kayunya kering dulu untuk memperbaikinya. Sepertinya kita harus menginap di sini,” ujar Ujang.
“Horee… Kita bertualang!” Matahari bersorak-sorai.
Lilis, Bunga, dan Dudung saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka membayangkan malam-malam gelap di pulau yang tidak ada manusianya ini.
“Nikmatin saja,” bisik Dudung sambil meringis.
Dudung mengeluarkan tas-tas dan perlengkapan kemping yang ada di dalam perahu. Ia tidur-tiduran di atas pasir. Damai rasanya mendengar suara burung ramai berkicau merdu. Sepertinya ada banyak jenis burung yang tinggal di sini. Apalagi ditambah suara desik gemerisik dedaunan kelapa tertiup angin.
Dudung menutup matanya agar fokus mendengar suara-suara itu. Namun suara-suara itu terusik dengan suara langkah kaki. Bunga datang dan duduk di samping Dudung. Dudung cuek dan membalikan badannya.
“Ha… ha… ha..,” terdengar tawa renyah Bunga.
Dudung melotot. Bunga mengganggu kosentrasinya menikmati suara burung-burung bernyanyi!
Dudung memperhatikan Bunga yang duduk di sampingnya. Bunga sedang membaca komik humor miliknya!
“Kembalikan bukuku!” teriak Dudung.
Bunga cuek. Dia malah merubah posisinya tidur-tiduran membelakangi Dudung. Terdengar kembali tawanya.
Dudung sudah tidak semangat lagi menikmati suara kicauan burung. Ia bergabung dengan Matahari yang sedang mencari-cari sesuatu di karang tepi pantai. Anak berambut jambul itu sedang asik memasukan sesuatu ke dalam kantung yang dibawanya.
“Kamu sedang mencari apa, Mat?” Dudung penasaran.
“Nih!” Matahari mengacungkan seekor kumang, bentuknya unik berwarna putih dengan cangkang mengerucut.
“Buat apa ngumpulin kumang?” selidik Dudung.
“Buat dibawa pulang ke Bandung. Nanti dijual ke teman-teman kita yang suka main kumang. Pasti laris! Duit, Dung, duit,” Matahari tersenyum-senyum.
Dudung garuk-garuk kepala, “Tapi kasihan, mereka, kan, tinggalnya dekat laut, bagaimana jadinya kalau mereka dibawa ke kota?”
“Ya, jadi kumang kota,” jawab Matahari asal.
“Biarkan saja mereka di sini. Mereka bahagia di sini. Daripada dibawa di kota mereka bisa mati karena jauh dari sanak saudaranya yang ada di sini. Coba bayangkan kamu dipisahkan dari keluargamu. Pasti sedih, kan?”
Matahari terdiam mendengar kata-kata Dudung. Dia lalu melepaskan semua kumang yang sudah ditangkapnya. Dudung meringis, dia tidak menyangka kata-katanya bisa menyihir perasaan anak keras kepala itu.
Di ujung pantai sana, Lilis sedang memperhatikan sela-sela karang pantai. Ada ikan-ikan kecil berwarna-warni sedang berenang. Bunga ikut bergabung bersama Lilis mengamati ikan-ikan karang. Air laut di tepi pantai pulau itu begitu jernih dan hangat.
Ujang datang dari jauh dengan tergopoh-gopoh. Dia membawa sesuatu berwarna hijau. Matahari, Bunga, Dudung, dan Lilis terbelalak. Apakah yang Ujang bawa Itu?
(Bersambung…)
Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha
Satu pemikiran pada “Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 9”