BAB 11
Penyergapan
Kerumunan itu terhenti di luar perbatasan Hutan Larangan. Tak ada seorang pun yang berani melangkah lebih jauh lagi. Nyala lampu senter dan obor membuat tempat itu berpendar terang.
“Kenapa berhenti? Ayo jalan terus!” teriak Pak Wahyu yang malam itu memimpin pencarian anak-anak yang hilang. Di sebelahnya terlihat Pak Duyo yang wajahnya masih terlihat sedih karena kehilangan putra bungsunya.
“Tapi ini Hutan Larangan, Pak. Kita tidak boleh memasukinya,” teriak seorang warga.
“Kata siapa tidak ada yang boleh memasukinya?” kata Pak Wahyu kesal. “Saya kan sering mengatakan pada berbagai kesempatan, hutan ini adalah hutan biasa. Tidak ada sesuatu yang membuat hutan ini tidak boleh dimasuki. Sudah beberapa tahun ini hutan kita ini dijadikan hutan lindung oleh pemerintah. Hutan Lindung saudara-saudara, bukan Hutan Larangan!”
“Pak Kades, sudah banyak orang yang melihat penampakan-penampakan penunggu Hutan Larangan ini.”
“Dan kalian percaya serta takut dengan cerita-cerita itu?” Pak Wahyu menggelengkan kepalanya. “Allah Swt. memang menciptakan jin dan manusia, tapi keduanya hidup berbeda alam. Selain itu, manusia diciptakan tidak lebih rendah derajatnya dari mereka, jadi kenapa harus takut? Kita datang ke sini dengan tujuan baik, mencari anak-anak yang hilang, bukan untuk mengganggu mahluk lain.”
Sebagian warga terdiam mendengar ceramah singkat Pak Kades itu. Tapi belum ada seorang pun yang berani melangkahkan kaki lebih jauh lagi.
“Kalau anak-anak dilarang atau ditakut-takuti memasuki hutan ini, itu bisa dimaklumi. Tapi bukan karena hutan ini dipenuhi hantu, monster, atau cerita-cerita seram yang sering saya dengar. Anak-anak tidak sepatutnya masuk ke hutan ini karena hutan ini masih terjaga kelestariannya. Mereka bisa tersesat di dalamnya kalau tidak tahu jalan. Belum lagi ditakutkan masih banyak binatang liar dan berbisa di tempat ini. Kalau mereka tidak waspada, mereka bisa celaka karenanya. Masa orang dewasa juga mau ditakut-takuti seperti itu juga?”
“Tapi Pak Kades ….” masih ada teriakan protes lagi.
“Tidak ada tetapi.” Pak Kades mulai kehilangan kesabaran. “Begini saja, siapa yang mau ikut saya mencari anak-anak itu ke dalam hutan? Yang penakut silakan pulang kembali ke rumah masing-masing.”
“Saya ikut!” Pak Duyo langsung mengacungkan tangannya. Bagaimanapun dia harus segera menemukan Sandi.
“Saya juga, Pak Kades!” Ayah si Kembar Jalu dan Jali, serta Ayah Bima mengacung berbarengan.
“Saya siap, Pak!” Pak Cecep, kepala keamanan kampung bersiaga dengan obornya yang menyala-nyala di tangannya.
“Saya boleh ikut, Pak?” Panca menyeruak dari kerumunan, dan mengacungkan tangannya takut-takut. Dia takut tidak diperbolehkan ikut dalam pencarian ini.
Pak Wahyu langsung berseru melihat tangan Panca teracung. “Lihat, anak kecil saja berani, kenapa orang dewasa malah menciut ketakutan seperti itu?” Pak Wahyu langsung melirik Panca. “Kamu tahu dimana mereka kira-kira berada, Nak?”
Panca teringat dengan tanah galian itu. Mungkin saja teman-temannya ada di sekitar sana sekarang. “Saya rasa saya tahu, Pak.”
“Bagus. Kamu boleh ikut, tapi harus dekat-dekat saya, ya.”
Panca mengangguk senang. Dia sudah tidak merasa takut lagi dengan Hutan Larangan. Setelah mengetahui semua rahasia di dalamnya, tak ada yang perlu dikhawatirkannya lagi. Apalagi kali ini dia akan memasukinya dengan beberapa orang dewasa.
Akhirnya, warga desa yang bersedia ikut semakin banyak. Mereka segera mempersiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Obor-obor kembali diminyaki, dan senter-senter diganti baru baterainya. Pak Duyo malah membagikan beberapa senter baru yang sudah dibawanya.
Tak lama, rombongan itu segera memasuki Hutan Larangan. Teriakan-teriakan pun mulai ramai terdengar. Masing-masing meneriakan nama Jalu, Jali, Bima, dan Sandi.
“Jaluuuu …..”
“Jaliiiii …”
“Sandiiiiiiii ….”
“Bimaaaaa ….”
Tidak terdengar jawaban apapun dari teriakan-teriakan itu, selain gema suara mereka yang memantul-mantul di dalam hutan.
***
Bima semakin ketakutan. Dalam keremangan, dia melihat Jali semakin tenggelam dalam lumpur. Sekarang lumpur sudah mencapai dadanya. Semakin keras Jali meronta, semakin cepat lumpur untuk menariknya.
“Tolong aku, Bim!” jerit Jali Panik. “Cari sesuatu untuk menarikku dari lumpur ini.”
Bima langsung mencari-cari dalam gelap. Seandainya saja ada tali tambang, dia yakin dia bisa segera menyelamatkan Jali. Tapi dimana mencari tali di tempat ini? Bima menemukan sebatang ranting kering, tapi sepertinya tidak akan menolong banyak. Ranting itu terlalu rapuh untuk menarik badan sebesar Jali.
Akhirnya Bima mematahkan sebatang ranting perdu. Tidak terlalu panjang, tapi tampaknya cukup untuk menjangkau ke arah Jali berada.
“Pegang ini, Li!” teriak Bima sambil menyodorkan ranting itu ke arah Jali.
Sebelum Jali meraih ranting itu, sepasang tangan besar sudah menjangkaunya lebih dulu.
“Hey!” protes Jali begitu sadar Kang Slamet merebut ranting itu dari arah belakangnya. Sedari tadi lelaki itu terdiam karena tahu tidak ada yang bisa dilakukannya. Sekarang dia tidak mau ditinggalkan seorang diri di sini.
“Bantu aku keluar dulu dari lumpur sialan ini!” bentaknya.
“Tapi saya tidak akan sanggup menarik badan Kang Slamet! Terlalu berat. Salah-salah saya yang ikut tersuruk ke dalam lumpur itu,” jawab Bima kesal.
“Kalau begitu, anak ini pun tidak akan pernah bisa keluar dari sini,” ancam Kang Slamet sambil melirik Jali.
Karena tidak ada pilihan lain, Bima menarik tubuh Kang Slamet. Berat sekali, apalagi karena badan lelaki itu terbenam kuat di dalam lumpur. Tapi dengan sekuat tenaga Bima mencoba menarik lelaki itu. Mudah-mudahan setelah itu dia akan membantu menyelamatkan Jali. Perlahan-lahan lelaki itu mulai dapat merayap naik … lalu … Hap! Dia berhasil mengggapai sebatang pohon perdu yang tumbuh kuat di tepi kubangan lumpur itu. Dengan sentakan yang kuat, Kang Slamet berhasil melompat keluar dari lumpur itu.
Bima bersorak gembira. “Sekarang bantu Jali untuk naik, Kang!” pinta Bima.
“Membantunya?” Kang Slamet terbahak. “Sepertinya lebih baik kamu menemaninya di dalam lumpur itu.” Sekali dorong, Bima merasakan tubuhnya melayang dan amblas ke dalam lumpur, tepat di sebelah Jali.
“Pembohoooong!” Bima meraung kecewa. Dia tidak menduga Kang Slamet akan mencuranginya seperti itu.
Tapi sedetik kemudian, Bima dan Jali mendengar suara Kang Slamet mengaduh. Sebuah bayangan muncul dari kegelapan langsung meringkus Kang Slamet yang masih kelelahan. Dengan gesit bayangan itu menendang kaki Kang Slamet, sehingga ambruk dan terduduk di tanah. Suara erangan kesakitan Kang Slamet menandakan kalau tendangan tadi tidak main-main. Dalam sekejap kedua tangannya sudah terikat di belakang punggungnya. Secarik kain pajang sudah membelit erat pergelangan tangannya.
“Kalian tidak apa-apa?” sosok hitap gelap itu sekarang beralih mendekati ke bibir genangan lumpur hisap.
Dari suaranya Jali dan Bima tahu siapa sosok itu. Dengan gembira mereka berteriak; “Kakek Mahdi!”
Tanpa kesulitan Kek Mahdi menarik Jali dan Bima keluar dari lumpur. Dengan penglihatannya yang sudah terbiasa dalam gelap, dia berhasil menemukan sebatang ranting besar dan kuat untuk menarik dua anak itu.
“Jali dan Sandi, Kek. Aku takut mereka tertangkap dua lelaki jahat itu,” lapor Jali tanpa perlu menceritakan bagaimana mereka terjebak di dalam lumpur, atau bagaimana Kek Mahdi tiba-tiba berada di sana.
“Dimana mereka?” tanya Kek Mahdi.
“Tadi siang ada di sekitar tanah galian yang ada di ….”
“Kakek tahu tempatnya. Ayo kita ke sana.”
“Orang ini bagaimana, Kek?” tanya Bima sambil melirik Kang Slamet.
“Biarkan dia di sini dan dimakan hantu-hantu penunggu Hutan Larangan.” Kek Mahdi terkekeh. Setelah itu dia menarik lengan Jali dan Bima agar meninggalkan tempat itu secepatnya.
“Tidaaaaaak …” masih terdengar jeritan melengking Kang Slamet di belakang mereka.
***
Masih dengan menempelkan telapak tangannya pada dinding, Jalu menyusuri bagian dalam gua itu. Pekat sekali, hingga ujung hidungnya pun tidak terlihat sama sekali. Jalu hanya berharap gua ini akan membimbingnya menuju jalan keluar Hutan Larangan, dan bukan malah semakin menyesatkannya. Sejauh ini dia belum menemukan jalanan bercabang yang membuatnya harus kebingungan memilih jalan.
Gua itu dingin dan lembab. Jalu bisa merasakannya dari dinding yang disentuhnya. Gua itu berdinding dan beralaskan tanah padat, bukan seperti gua-gua moderen yang sudah berlapiskan semen. Kelembapan di sepanjang gua ini membuat lumut tumbuh dengan subur di mana-mana. Bau tanah lembab langsung tercium menusuk hidung membuat Jalu beberapa kali merasa mual. Tapi dia harus berlari dan terus berlari, terutama karena suara langkah kaki berderap cepat di belakangnya.
Rupanya Sandi tidak berhasil menahan Kang Ajun tetap tinggal di mulut gua, pikir Jalu. Kalau dia mau selamat, dia tidak boleh membiarkan lelaki itu menyusul dan menangkapnya. Untungnya lantai gua itu datar dan tidak banyak belokan, sehingga Jalu bisa berlari dengan cepat. Dia berharap mulut gua tidak jauh lagi dari sana.
Tiba-tiba Jalu terkejut sendiri. Samar-samar dia mendengar teriakan memanggil-manggil namanya di kejauhan. Selain namanya, terdengar pula teriakan memanggil nama Sandi, Jali, dan Bima.
Warga desa! Pekik Jalu dalam hati. Itu pasti seruan warga desa yang sedang mencarinya. Apakah mungkin Jali dan Bima berhasil lolos dari kejaran Kang Slamet, lalu meminta bantuan warga desa menyelamatkannya? Eh, tapi nama Jali dan Bima ikut dipanggil juga. Jadi siapa yang sudah meminta bantuan pada warga desa?
“Aku di siniiiiii ….” Jalu berteriak sekencang mungkin. Suaranya langsung bergaung di sepanjang gua. Dia berharap warga desa akan mendengar teriakannya dan segera datang menolongnya. Ujung gua ini pasti sudah dekat, terbukti dia bisa mendengar teriakan yang ada di luar. Jalu semakin mempercepat langkahnya. Tak sabar rasanya terbebas dari semua ini.
KROSAAK! Terdengar suara bergemerosak beberapa meter di depan Jalu. Sebuah nyala senter tersorot ke arahnya. Jalu langsung girang, itu pasti warga desa yang akan menolongnya!
“Aku di siniii …. tolooong …. ada orang jahat yang mengejarku di belakang!” teriaknya.
Cahaya senter itu mati kembali, tapi tidak membuat Jalu memperlambat langkahnya. Tapi tak lama … BUUGGG! Badannya membentur keras sosok yang tidak terlihatdi depannya. Yang membuat Jalu kaget, sepasang tangan langsung meringkusnya dan membekap mulutnya.
“Jangan membuat keributan kalau kamu ingin selamat!” suara itu menggeram pelan.
Jalu langsung lunglai. Orang yang memegang senter dan berdiri di mulut gua ternyata bukan warga desa, tapi Kang Dahlan! Dengan kasar dia menyeret Jalu kembali masuk ke dalam gua. Tak lama, Kang Ajun pun sudah berhasil menyusul mereka.
“Ini dia anak kurang ajar itu. Untunglah kamu berhasil meringkusnya, Kang,” katanya dengan nada senang. “Berarti sekarang kita aman kembali.”
“Bodoh! Aman bagaimana? Si Slamet belum kembali dengan dua anak itu sampai sekarang, dan warga desa sudah memasuki Hutan Terlarang saat ini.” Kang Dahlan marah-marah. “Sekarang kita bereskan hasil temuan yang bisa kita bawa, dan pergi diam-diam dari sini. Jangan lupa sumpal mulut anak-anak ini agar warga desa tidak berhasil menemukannya. Biar saja mereka mati kelaparan di dalam gua!”
“Kalian tidak bisa pergi begitu saja dari tempat ini!”
Suara itu begitu menyentakkan ketiganya. Tanpa terdengar langkah kedatangannya, tiba-tiba sosok dalam kegelapan itu sudah ada di dekat mereka.
Kang Dahlan langsung menyorotkan senternya, tapi sedetik kemudian dia mengaduh dan senternya terlepas dari cekalannya. Senter itu jatuh menggelinding dan terhenti di pinggiran dinding. Cahayanya kemudian menyorot ke lorong gua, membentuk empat bayangan besar di dinding gua.
“Siapa kau?” bentak Kang Dahlan marah.
“Aku Penunggu Hutan Larangan ini.”
Kang Dahlan dan Kang Ajun langsung terkesiap. Samar-samar di depan mereka terwujud sosok seorang kakek tua berpakaian serba hitam dengan topi caping di kepalanya.
Jalu tersenyum girang.
“Ha-han-hantu Hutan Larangan?” Kang Ajun tergeragap. “Bukankah itu hanya mitos?”
“Goblok!” Kang Dahlan melotot ke arah Kang Ajun, lalu kembali menatap Kek Mahdi. “Jadi apa yang akan kamu lakukan, Kek? Menangkap kami?” katanya sambil terbahak. “Sekali banting encokmu langsung kumat tuh.” Kang Dahlan kembali tergelak.
Kek Mahdi terkekeh nyaring. “Kamu bisa coba kekuatanku, Anak Muda!”
Kang Dahlan menggeram sebelum kemudian dia melompat maju. Dia sudah kesal dengan semua gangguan terhadap rencananya siang ini. Karena itu dia tidak perduli kalau yang dihadapinya kali ini pun seorang Kakek Tua. Kedua tangannya mengepal bulat, dan siap menaklukan Kek Mahdi.
Tapi kejadian berikutnya membuat Jalu terlongong sendiri. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Kek Mahdi bergerak dengan lincahnya. Setiap pukulan yang disarangkan Kang Dahlan dapat dihindarinya dengan mudah. Bahkan ketika Kang Ajun ikut mengeroyoknya, Kek Mahdi dapat menghindari dengan lincahnya. Dia melompat menghindari tendangan, meliukkan badannya menghindari pukulan, dan terkekeh-kekeh mengejek kedua lawannya. Gerakannya begitu lentur, mengingatkan Jalu pada adegan-adegan film laga di televisi.
“Kalau cuma seperti ini, percuma kalian berlagak seperti jagoan,” ledek Kek Mahdi sambil menghindari sebuah pukulan keras dari Kang Dahlan. “Kalian hanya menyia-nyiakan hidup kalian untuk sesuatu yang tidak baik. Sudah saatnya kalian dibuat kapok!”
Dengan gerakanya yang lentur, Kek Mahdi merundukkan badannya, lalu mutar badannya dengan cepat. Kaki kanannya teracung, menyapu keras kaki-kaki dua lelaki tinggi besar di hadapannya sehingga terjungkal ke belakang.
BLUUGG!
Suara berdebum terdengar seiring terkaparnya Kang Dahlan dan Kang Ajun di lantai gua. Keduanya langsung mengerang kesakitan. Badan mereka berguling-guling sambil memegangi kedua kakinya yang kesakitan. Dalam sekali serangan saja keduanya sudah dapat dilumpuhkan.
Jalu bertepuk tangan riuh. Ini benar-benar tontonan yang menakjubkan baginya. Rasanya tidak percaya melihat seorang Kakek Tua dapat mengalahkan dengan mudah dua orang lelaki yang bertubuh besar dan kuat.
“Kakek hebat!” pujinya kagum.
Kek Mahdi tertawa terkekeh-kekeh.
***