BAB 2
Perseteruan
Kejadian itu sudah dua hari berselang. Jalu dan teman-temannya sudah mulai dapat melupakan kejadian menyeramkan itu. Sebelumnya, mereka tanpa henti membicarakan hal itu. Kapanpun dan dimanapun mereka berkumpul, selalu saja kejadian bertemu Kakek Tua penunggu Hutan Larangan itu yang dibicarakan.
Selalu saja mereka begidik ngeri apabila teringat kejadian itu. Bayangan sosok kakek tua yang berdiri menatap mereka selalu terbayang di pelupuk mata. Bahkan Jalu pun mulai meragukan keberaniannya sendiri. Dia mulai merasa, omongan orangtua tentang angkernya Hutan Larangan ada benarnya. Dia sudah menyaksikan sendiri penampakan sosok penunggu hutan itu.
Meskipun begitu, mereka tidak berani menceritakan hal itu kepada orang lain, apalagi orangtua masing-masing. Mereka takut malah akan dimarahi karena sudah berani mendekati hutan terlarang itu. Mereka hanya membicarakannya ketika sedang kumpul berempat saja. Ketika ada anak lain mendekat, mereka segera mengganti pembicaraan.
“Orang-orang pasti akan mengira kita berbohong kalau kita menceritakan kejadian itu,” alasan Jalu mereka tidak perlu menceritakan kisah itu kepada orang lain. “Omongan anak-anak seperti kita mana mungkin dipercaya.”
“Ya, mungkin kita akan dianggap pembual seperti Bang Mamat,” angguk Jali.
“Setuju! Kita sama sekali tidak perlu membicarakan kejadian itu lagi,” dukung Panca. “Aku tidak mau mengingatnya lagi. Kalian tahu, malam setelah kejadian itu, aku mimpi buruk dikejar-kejar Kakek Penunggu Hutan Larangan itu.” Nafas Panca terlihat memburu. “Aku tidak mau bermimpi yang sama lagi gara-gara kita terus membicarakan tentang itu.”
Bima, Jalu, dan Jali nyengir menatap Panca. Mereka tahu bagaimana ketakutannya Panca sore itu. Meski semua merasa ketakutan, tapi Panca hampir-hampir menangis sambil berlari. Tangannya tak lepas memegangi lengan Bima saat itu. Karena tubuhnya paling kecil, langkahnya pun sering tertinggal oleh ketiga teman lainnya. Karena itu dia mencekal lengan Bima kuat-kuat agar tidak tertinggal sendirian di belakang.
“Ya sudah, kita tidak perlu membahas kejadian itu lagi. Yang penting, kamu sudah kapok mendatangi Hutan Larang itu, kan, Lu?” tanya Bima sambil melirik Jalu yang sedang berusaha meraih buah kersen matang di ujung dahan. Saat itu mereka memang sedang berada di atas pohon kersen, di halaman samping rumah Panca.
“Aku belum kapok,” jawab Jalu mengejutkan teman-temannya. Dia tertawa jahil ssambil menoleh ke arah Panca. “Meski aku kemarin juga kaget dan takut, tapi aku masih penasaran dengan Hutan Larangan itu.”
Panca melotot galak dari dahan pohon lain. “Kamu memang keterlaluan, Lu. Dicekik Kakek Tua itu baru tahu rasa!”
“Mana ada hantu bisa mencekik? Bukannya mereka mahluk halus dan berbeda alam dengan manusia?” cibir Jalu, yang membuat Panca semakin jengkel.
TUK!
Dengan kesal Panca melemparkan sebutir buah kersen mentah ke arah jalu. Buah kersen itu tepat sasaran di dahi Jalu, lalu mental dan jatuh ke bawah.
“Aduh!” pekik Jalu kaget. Dia tidak menyangka lemparan Panca tepat juga mengenai dahinya.
Panca tersenyum senang. Sementara Bima dan Jali terkekeh-kekeh melihat perselisihan dua orang temannya itu.
“Terimalah serangan balasanku, Ca!” teriak Jalu sambil memetik kersen mentah di dekatnya, lalu melemparkannya ke arah Panca.
Sambil berpegangan tangan pada dahan dan ranting, Panca berkelit dari lemparan Jalu. Dia terbahak melihat Jalu kesal karena gagal terus melemparkan buah kersen ke arahnya.
“Aduh! Kok malah ngelempar aku sih, Lu?” Bima tersentak kaget ketika sebutir kersen mengenai lengannya.
Jalu nyengir. “Soalnya ngelempar Panca nggak kena terus. Ya sudah, ngelempar kamu aja yang dekat.” Jalu terbahak.
“Dasar! Awas ya, Lu, rasakan seranganku!”
Tak lama, jeritan dan tawa keempat anak itu terdengar dari atas pohon kersen.
Pohon kersen milik Panca tinggi dan kokoh sekali, serta tidak pernah berhenti berbuah. Mereka berempat seringkali bermain di atas dahan-dahannya yang besar dan kuat. Mereka mengobrol sambil sesekali memetik buah-buah kersen yang sudah ranum. Manis sekali rasanya. Meski sudah setiap kali dipetik, tapi buahnya seolah tidak pernah habis. Setiap hari selalu saja ada buah kersen yang ranum.
“Sudah-sudah, kersennya nanti habis.” lerai Panca. “Besok kita nggak bisa metik buah kersen matang kalau yang mentahnya dipetik sekarang.”
“Iya, betul,” teriak Jali. “Lebih baik kita ke sana!” Jali menunjuk ke arah jalan desa. “Kelihatannya banyak orang yang sedang berkumpul.”
Jali merosot turun dari dahan pohon dengan hati-hati. Setelah mendekati tanah, dia melompat dengan cekatan. Ketiga temannya segera megikutinya. Mereka menuruni pohon kersen satu per satu. Setelah itu, mereka beriringan menuju sekumpulan orang yang sedang berkerumun di pinggir jalan. Mereka terlihat sedang menempelkan kertas-kertas berukuran besar ke batang-batang pohon.
“Kita harus cepat. Poster-poster ini harus tertempel semuanya sebelum keduluan mereka.”
“Betul. Masih banyak tempat lain yang harus kita tempeli poster ini. Jangan sampai kita tidak kebagian tempat gara-gara keduluan tim lawan.”
“Kalau begitu, kita bagi tugas saja. Sebagian memasang poster di sepanjang jalan ini, sebagian lagi di tempat lain. Dengan begitu semua poster ini akan segera tertempel di seluruh penjuru desa.”
“Nah, itu usul yang bagus. Bodoh, kenapa kamu nggak ngomong dari tadi?”
“Lah, aku juga baru kepikiran sekarang.”
“Ya sudah, sekarang kita menyebar. Sebagian pindah ke lokasi lain.”
Kerumunan orang itu segera membubarkan diri. Mereka mengepit lembaran kertas besar itu, lalu berjalan ke berbagai arah.
“Hoy! Kenapa bubar semua? Yang mau nempel poster di jalan ini siapa?”
Jalu, Jali, Panca dan Bima terkikik-kikik. Mereka geli sendiri mendengar pembicaraan orang-orang itu.
“Lihat, ternyata mereka sedang menempel poster kampanye,” kata Bima sambil berjalan mendekati sebuah poster yang tertempel di batang pohon besar pinggir jalan.
“Rupanya kampanye pemilihan Kepala Desa yang baru sudah dimulai,” timpal Jali sambil ikut melihat poster itu.
Mereka berempat melihat poster kampanye dari seorang calon Kepala Desa. Foto calon kepala desa itu terpasang besar-besar. Dibawahnya tertulis ajakan untuk memilihnya sebagai Kepala Desa yang baru pada saat hari pemilihan nanti.
“Pak Duyo ternyata gerak cepat ya. Posternya sudah disebar kemana-mana,” kata Panca sambil memerhatikan poster itu. Beberapa batang pohon di sepanjang jalan desa itu sudah tertempel poster kampanye calon kepala desa itu. Pak Duyo adalah orang terpandang dan kaya di desa ini. Sawah dan kebunnya luas sekali. Dia juga memiliki pabrik penggilingan padi satu-satunya di desa ini. Tahun ini dia mencalonkan diri sebagai Kepala Desa yang baru.
“Kalau ingin terpilih memang harus begitu, Ca. Itu artinya dia berusaha menarik perhatian warga. Lihat saja, dia jadi terlihat baik terhadap warga. Kemarin dia membagikan sembako untuk warga yang tidak mampu,” kata Jalu.
“Padahal biasanya kan tidak begitu, ya? Meski orang berada, tapi dia terkenal pelit. Mana ada acara bagi-bagi sembako seperti itu sebelumnya.” Panca terkikik.
“Namanya juga usahaaa …” Jalu dan Jali kompak menjawab. Mereka kemudian terkikik-kikik.
“Pssstt …. anak buah Pak Duyo melotot tuh,” bisik Bima. Rupanya orang suruhan Pak Duyo untuk menempel poster-poster itu mendengar celotehan anak-anak itu.
“Heh, Pak Duyo bukan orang pelit, tapi dia itu apik dan penuh perhitungan. Dia sebenarnya orang yang baik. Buktinya dia menjanjikan akan membetulkan jalanan desa yang rusak ini jadi bagus. Kalian lihat saja kalau dia jadi Kepala Desa nanti, seluruh jalanan desa akan dilapisi aspal, tidak berbatu seperti ini!” Pemuda itu berkata penuh semangat. Dia mengenakan kaos bergambar Pak Duyo dan topi warna biru yang sudah pudar.
Mata keempat anak itu berbinar.
“Wah, asyik dong, kita bisa main sepeda dengan nyaman nantinya,” kata Jali. Pasti menyenangkan sekali balapan sepeda dengan teman-temannya di jalanan beraspal nanti. Jalan desa sekarang masih tanah penuh batu yang bertonjolan. Di beberapa bagian pun penuh lubang-lubang yang membahayakan bagi pengendara sepeda yang tidak hati-hati.
“Makanya, kalian bilang sama orangtua kalian untuk memilih Pak Duyo nanti. Ini demi kebaikan desa kita juga.”
Anak-anak itu hanya bisa mengangguk.
***
Suasana di Balai Desa terlihat lebih ramai. Berbagai macam ukuran poster tertempel di sana-sini. Dari yang ukurannya kecil, sampai yang besar-besar. Poster-poster itu ditempel di tembok pagar, tembok samping Balai Desa, dan juga batang-batang pohon besar di sekitar tempat itu. Melintang di tengah jalan, spanduk-spanduk panjang terentang disangga tiang. Beberapa spanduk malah ada yang hanya diikatkan pada batang pohon di sepanjang jalan.
“Waah… ramai sekali nih. Kayak mau agustusan,” celetuk Jali sambil tertawa.
“Agustusan saja nggak seramai ini, Li,” kata Jalu. “Kampung kita jadi terasa meriah.” Cengirnya.
Keramaian seperti ini memang jarang sekali mereka lihat. Pada saat menjelang Agustusan saja, paling hanya bendera-bendera saja yang dipasang di setiap halaman rumah. Kalaupun ada umbul-umbul warna-warni, hanya dipasang di tempat-tempat tertentu saja. Itupun tidak seramai ini. Karena itu, adanya acara pemilihan kepala desa seperti ini menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak.
“Poster Pak Wahyu juga sudah terpasang di sekitar sini.” Bima menunjuk deretan poster saingan Pak Duyo yang ditempel berderet menutupi tembok pagar Balai Desa. Selain Pak Duyo, Pak Wahyu adalah orang yang mencalonkan kembali sebagai kepala desa baru. Saat ini dia sudah menjadi kepala desa Margasari, dan akan berakhir periode jabatannya.
“Iya Bim, ternyata kedua calon kepala desa sudah mulai berkampanye. Seru nih.” Seru Jali.
“Menurutmu siapa yang bakal terpilih?” tanya Panca sambil berjalan menyusuri jalan. Mereka kembali beriringan melihat keramaian itu.
“Pak Wahyu,” terka Bima. “Selama ini dia terlihat baik memimpin desa. Jadi, kenapa harus diganti?”
“Tapi yang menentukan tetap seluruh warga desa, Bim. Kalau Pak Duyo lebih banyak yang memilih, tetap saja Pak Wahyu tidak bisa menjabat lagi,” kata Jalu sambil melirik ke arah Bima.
“Pak Duyo juga bisa jadi terpilih. Dia berhasil menarik perhatian warga dengan kegiatan sosialnya. Siapa yang nggak senang dibagi-bagi beras gratis dari pabrik penggilingan padinya? Atau dijanjikan jalanan beraspal mulus di seluruh desa?” cetus Jali.
“Asal baik seterusnya saja, dan bukan pas ada maunya.” Jalu terkekeh-kekeh. “Sudah ah, kita nggak perlu mikirin siapa yang pantas jadi kepala desa baru. Kita kan memang belum waktunya memilih. Nanti kalau sudah berumur 17 tahun, baru kita ikut memikirkan siapa calon kepala desa yang harus kita pilih.”
“Betul Lu. Mudah-mudahan saja kepala desa yang baru nanti bisa lebih memajukan desa kita. Itu yang penting, kan?”
“Betul! Betul! Betul!”
Hahaha … keempatnya tertawa dengan riang.
Desa Margasari, tempat tinggal mereka, memang semakin ramai dan meriah. Bukan hanya karena sudah banyak poster dan spanduk di sepanjang jalan, tapi obrolan di mana-mana pun selalu tentang pemilihan ini. Di warung-warung kopi, di teras-teras rumah, bahkan di sawah pun warga desa membicarakan hal itu. Semua membicarakan siapa yang pantas dipilih menjadi kepala desa baru. Setiap hari pemandangan itu terjadi. Tidak hanya Bapak-bapak, Ibu-ibu pun terdengar membicarakan hal yang sama.
Berhari-hari keadaan seperti itu tidak berubah. Sepertinya topik pemilihan kepala desa adaah topik yang paling hangat saat ini.
“Lama-lama aku bosan dengan setiap obrolan warga desa. Pemilihaaaan terus yang dibicarakan,” keluh Panca suatu ketika. Mereka sedang bermain layang-layang di pinggir sawah. Di sana nggak perlu khawatir layangan nyangkut, karena tidak ada pohon-pohon tinggi. Lagipula, angin di sana kencang sekali. Mudah sekali membuat layang-layang terbang tinggi. Mereka bermain layangan bertiga, karena Bima sedang disuruh Ibunya menjemur padi di halaman rumahnya.
“Nggak udah didengarkan kalau begitu,” cengir Jali jail.
“Tapi kan kedengaran, Li. Masa aku harus menutup kuping setiap kali mendengar orang-orang membicarakan masalah itu?” Panca cemberut.
Jalu dan Jali yang ada di sampingnya tertawa geli.
“Sudahlah, Ca, lama-lama juga berhenti sendiri kalau pemilihan sudah selesai. Tinggal seminggu lagi, kan?”
Panca mengangguk. Ya, tinggal seminggu lagi pemilihan kepala desa itu dilaksanakan. Tapi kalau pemilihan itu selesai, desa mereka kembali sepi, dong? Tidak ada lagi kemeriahan dan kerumunan orang di mana-mana. Poster-poster dan spanduk juga pasti akan dicabut dan dibersihkan. Desa mereka akan sepi kembali.
Panca menggaruk-garuk kepalanya bingung. Dia juga nggak mau kalau desanya kembali sepi. Haduh, jadi serba salah.
“Heh, bengong aja. Layanganmu menukik turun tuh!” teriak Jalu.
Panca tersentak. Dengan cekatan dia menarik benang layangannya dan menjaga agar tidak menukik turun ke tanah. Seketika layangan berekor panjang itu naik kembali, lalu melenggak-lenggok dengan gemulai di angkasa.
Siang itu cukup terik, tapi ketiga anak itu begitu asyik dengan layangan masing-masing. Menyaksikan layang-layang terbang mengangkasa dengan gagah, membuat mereka melupakan terik matahari yang menyengat kulit mereka. Hanya saja keasyikan mereka terganggu ketika sebuah teriakan mengejutkan mereka.
“Ada pertengkaran di balai desa!” Bima datang tiba-tiba dengan berita mengejutkan. Dia berlari-lari menyusuri pematang sawah mendekati mereka.
Jalu, Jali, dan Panca langsung terbelalak. Mereka menggulung benang layangan cepat-cepat, lalu duduk berempat di bawah pohon asem di pinggir sawah.
“Katamu ada yang bertengkar di balai desa?” tanya Jalu sambil menyimpan layangannya di balik pohon, agar tidak terduduki dan sobek.
Bima mengangguk cepat. “Pendukung Pak Duyo dan pendukung Pak Wahyu bertengkar!” ceritanya sambil sedikit terengah. Dia tadi berlari-lari ingin secepatnya mengabarkan berita ini kepada teman-temannya.
“Kenapa begitu?” mata Panca membulat. Jali menyorongkan tubuhnya agar lebih dekat ke arah Bima. Berita ini tentu saja mengejutkan mereka, bahkan mungkin semua orang.
“Mereka saling tuduh sudah mencabut poster-poster di beberapa tempat!”
“Maksudnya?” kening Jalu berkerut.
“Ada poster-poster kampanye milik Pak Duyo yang hilang di beberapa tempat. Dicabut dan dirobek dari tempatnya. Pendukung Pak Duyo menuduh pendukung Pak Wahyu yang melakukannya.”
Waaaah … mata anak-anak itu langsung terbelalak.
“Tapi pendukung Pak Wahyu menolak tuduhan itu. Mereka tidak merasa sudah mencabut dan merobek poster-poster Pak Duyo. Akhirnya tadi sempat perang mulut di Balai Desa.”
“Terus?”
“Pak Wahyu sudah menenangkan dan mendamaikan semuanya. Dia berjanji kejadian itu tidak akan terulang lagi. Pendukung Pak Duyo dipersilakan untuk menempelkan poster kembali di tempat-tempat itu.”
“Wah, wah, siapa ya yang berani mencabut dan merobek poster-poster itu, ya?” Jalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Itu sama saja dengan mencari keributan soalnya,” katanya sambil menatap temannya satu per satu.
Mereka semua mengangguk setuju. Mencabut dan merobek poster-poster itu perbuatan curang. Bahkan mereka yang masih kanak-kanak pun mengerti kalau perbuatan seperti itu tidak dibenarkan.
“Dimana tempat poster-poster itu dicabut, Bim? Aku jadi penasaran,” kata Jalu lagi. Dia tampaknya tertarik sekali dengan kejadian itu.
“Penasaran apa, Lu?” tanya Panca.
“Penasaran ingin tahu siapa pelakunya!” timpal Jali yang mengerti benar apa maksud saudara kembarnya itu. Jalu mengangguk membenarkan.
Panca melotot. “Jangan mencari masalah, ah,” desisnya.
“Siapa yang mau cari masalah? Aku hanya ingin tahu saja. Siapa tahu kita bisa memergoki pelakunya,” elak Jalu.
“Lalu kamu mau menangkap atau melaporkan mereka seperti dalam novel-novel detektif cilik, kan? Aaah …. bahaya, Lu.”
Jalu nyengir. “Kalau itu sih urusan nanti,” jawabnya sambil terkikik. “Eh, kamu belum menjawab pertanyaanku, Bim.”
“Oh iya, katanya sih poster-poster yang dicabut dan dirobek itu di sepanjang jalan menuju pabrik penggilingan padi Pak Duyo, Lu. Tapi ada juga di beberapa tempat lain. Aku nggak mendengar banyak karena tadi ribut sekali.”
“Kita ke sana, yuk?”
Panca langsung cemberut.
***
Hmmm, menarik , apa ada kaitan hutan larangan dan pulatak pulitik desa? *sabarmenanti eps 3
Saya pun mikir gitu, Kak. Pas baca part ini ?