Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 3

BAB 3

Anak yang Menyebalkan

Ternyata poster-poster yang dicabut dan dirobek sudah diganti dengan yang baru. Terlihat dari poster-poster yang masih basah karena lemnya belum sepenuhnya kering. Seperti di tempat lain, poster-poster ini ditempel di pagar-pagar dan batang pohon besar di tepi jalan. Daerah ini cukup sepi, jadi pantas saja kalau pelakunya bisa merobek poster-poster ini dengan bebas tanpa takut ketahuan. Apalagi kalau melakukannya pada malam hari. Siapa yang akan melihat? Jarang sekali warga yang lewat jalanan ini pada malam hari.

Jalan ini menghubungkan dua lokasi perumahan penduduk yang berbeda RT. Diapit oleh kebun-kebun yang cukup rapat, suasana pada malam hari pasti sangat gelap. Tidak ada lampu penerangan di sepanjang jalan. Warga yang ingin melintasi jalanan ini harus membawa senter sebagai penerang. Apalagi pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan tumbuh tinggi menjulang. Daunnya pun sangat lebat memayungi jalan. Sekarang di batang-batang pohon itu ramai tertempel poster-poster kampanye calon kepala desa.

“Memang banyak sekali ya poster yang dirobek. Dari ujung jalan tadi, poster di batang-batang pohon ini terlihat baru ditempel. Masih basah,” kata Jalu sambil meraba sebuah poster di batang pohon terdekat.

“Nggak heran kalau Pak Duyo dan pendukungnya marah,” timpal Jali. “Siapapun pasti merasa tidak enak kalau barang-barangnya dirusak orang.”

Bima dan Panca mengangguk setuju. Merusak seperti itu bukan cara terpuji.

“Ternyata di sepanjang jalan ini banyak poster Pak Wahyu juga,” kata Panca. “Ditempel tumpang tindih dengan poster Pak Duyo.”

“Ya, tapi poster Pak Wahyu masih utuh dan tidak ada yang merobeknya. Karena itu wajar kalau pendukung Pak Duyo menuduh pendukung Pak Wahyu yang melakukannya.”

Semua mengangguk mendengar ucapan Bima. Siapapun pasti akan berpikir ke sana juga. Kalau pelakunya orang iseng, kenapa nggak merobek dan mencabut poster Pak Wahyu juga?

“Kalian tahu siapa yang merobek poster-poster itu?”

Jalu, Jali, Panca, dan Bima tersentak seketika. Tadinya mereka berpikir hanya mereka berempat yang berada di tempat itu. Tapi sebuah suara datang tiba-tiba dari arah belakang mereka. Serentak keempatnya menoleh cepat. Seorang anak berjalan pelan ke arah mereka.

Jalu  mengernyit. “Kamu siapa?”

“Aku ingin tahu siapa yang sudah merobek poster-poster kampanye ayahku.”

“Sandi?”

Anak itu bernama Sandi. Badannya hampir setinggi dan sebesar Bima. Bedanya, kulit Sandi putih, dan Bima kecoklatan. Mungkin karena Bima terlalu sering main layangan di siang terik, sehingga kulitnya sering terbakar matahari. Sama coklatnya dengan kulit Jalu, Jali, dan Panca. Selain putih, kulit Sandi juga terlihat bersih.

Hmmm … apa anak kota nggak pernah main di luar rumah, ya? Pikir Jalu dan kawan-kawannya. Mereka memperhatikan Sandi yang berjalan semakin mendekat.

“Bukankah kamu tinggal di kota? Kenapa ada di sini sekarang?” tanya Panca terbata. Meski sekarang sudah tinggal di kota, sesekali Sandi sering datang ke rumahnya di desa ini. Keluarga Pak Duyo memang tinggal di kota sekarang. Hanya Pak Duyo saja yang sering terlihat bolak-balik ke desa ini untuk mengurus sawahnya yang luas dan pabrik penggilingan padinya. Apalagi sejak mencalonkan diri sebagai kepala desa, Pak Duyo semakin sering berada di desa ini.

“Aku akan pindah kembali ke desa ini, karena Ayahku kan sebentar lagi menjadi Kepala Desa di sini.”

Jalu langsung mendengus. Anak ini ternyata belum berubah, pikirnya. Masih saja terlihat sombong. Siapa bilang Pak Duyo akan terpilih? Belum tentu, kan? Pemilihannya saja belum mulai, kok.

Apakah anak orang kaya memang seperti itu semua? Jalu memperhatikan teman sekelasnya di kelas 2 SD dulu itu. Pada saat kenaikan ke kelas 3, Sandi pindah ke kota bersama keluarganya. Penampilan Sandi memang jauh berbeda dengan anak-anak desa ini. Dia terlihat rapi dengan pakaiannya yang bersih dan bagus. Hanya saja, gayanya itu yang membuat Jalu sebal. Sandi tak pernah terlihat rendah hati. Karena itu, sejak dulu Jalu tidak bisa berteman dengannya.

“Kalian belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang sudah merobek poster-poster ayahku?” Sandi melipat tangannya di dada. Matanya tajam menatap ke arah empat anak di depannya.

Bima melotot. Nada suara Sandi terdengar ketus. “Orang dewasa saja nggak tahu siapa yang merobek poster-poster ini, apalagi kita!” jawab Bima keras.

“Lagipula, kenapa kamu nanya seperti itu?” mata Jali menyipit. Tampak sekali kalau dia pun tidak menyukai Sandi seperti Jalu.

“Siapa tahu kalian yang melakukannya.” Sandi tersenyum sinis.

“Kamu menuduh kami yang melakukannya?” mata Jalu membulat karena kaget. Dia tidak percaya Sandi sudah menuduhnya seperti itu. “Buat apa kami merobek poster-poster itu? Nggak ada gunanya, kan?”

“Buktinya kalian memegang poster itu tadi. Kalau aku tidak segera datang, pasti poster itu sudah kalian robek lagi.”

Jalu mendengus marah. Dia kesal sekali mendengar tuduhan itu. Wajahnya merah padam.

“Sudahlah Lu, kita pergi saja dari sini.” Bima menarik lengan jalu, lalu menyeretnya menjauh dari Sandi. Dia tidak ingin temannya itu tersulut emosinya lalu berbuat yang tidak-tidak. Wah, bisa bahaya itu. Jali dan Panca segera mengikuti langkah mereka.

“Aku tidak suka dengan anak itu. Sombong! Sok tahu! Belagu!”cerocos Panca sambil berjalan di samping yang lainnya.

“Dari dulu juga dia sudah begitu, kan?” lerai Bima menenangkan.

“Kukira pindah ke kota akan membuatnya berubah,” desis Jali sambil menendang kerikil di depannya, “ternyata sama saja.”

Jalu mendengus. “Iya. Kalau masih begitu, lebih baik dia tinggal di kota saja terus, daripada selalu membuat orang marah dan tersinggung seperti tadi.”

“Sudah, sudah. Dia kan warga sini juga. Dia berhak datang atau tinggal di desa ini semau dia. Kalau nggak suka sama dia, kita nggak perlu dekat-dekat dia. Menghindar saja kalau dia datang.”

Jalu mendelik ke arah Bima. “Kenapa jadi kita yang menghindar? Harusnya dia yang nggak usah dekat-dekat kita.”

Bima tersenyum, kemudian menepuk bahu sahabatnya itu. “Mengalah untuk menang, Lu.”

Mereka berbelok memasuki sebuah kebun kosong yang penuh semak. Ada sebuah jalan setapak di sana yang bisa memotong jarak menuju arah rumah mereka. Dibanding harus menyusuri jalan besar, melalui jalan setapak itu lebih cepat. Meski begitu, mereka harus berhati-hati. Banyak semak duri yang bisa menggores kaki dan tangan mereka.

Matahari sudah condong ke Barat. Di bawah rerimbunan bambu suasana terasa lebih gelap. Daun-daun bambu yang berjuntai menghalangi sinar matahari menerobos masuk. Mereka berjalan beriringan.

“Eh, apa itu?” tiba-tiba Panca berteriak. Tangannya menunjuk ke arah gerumbulan pohon bambu. Di sana terlihat setumpuk carikan kertas yang tampaknya seperti …

“Robekan poster!” teriak Jalu. Dia bergegas menghampiri lalu meraih tumpukan kertas yang sudah acak-acakan itu. “Ini benar robekan poster kampanye Pak Duyo!” Jalu mengacungkan selembar kertas itu. Itu memang poster kampanye Pak Duyo yang sudah robek di sana-sini.

“Ini pasti poster yang dicabut dan dirobek di jalanan tadi!” kata Jalu sambil memungut selembar. “Seseorang pasti sudah membuangnya di tempat ini agar tidak ketahuan.”

“Aku kira juga begitu. Tempat ini cukup tersembunyi dan tidak terlihat dari jalanan. Setelah melakukan perobekan, dia membuang kertas ini di sini, lalu pergi sebelum ada yang melihatnya.”

“Betul Bim,” angguk Jalu. “Dia bisa menyelinap ke tempat ini dengan cepat dari jalanan. Setelah membuangnya, dia kembali ke jalan dan berpura-pura tidak melakukan sesuatu.”

“Apa sudah ada yang mengetahui kalau poster Pak Duyo ini ada di sini?” tanya Panca.

“Kalau pun ada, nggak ada gunanya lagi, Ca,” kata Jalu. “Pelakunya tetap saja tidak akan ketahuan.”

“Mungkin pelakunya akan balik lagi ke sini!”

Jalu, Jali, dan Bima tertawa. “Untuk apa, Panca? Untuk mengambil kertas-kertas bekas ini dan menjualnya?” tawa Jali terkekeh-kekeh.

Panca nyengir.

“Wah, wah, wah, ternyata dugaanku benar. Kalian memang yang sudah merobek poster-poster ayahku dan menyembunyikannya di sini!”

“Sandi!!”

Di hadapan mereka, Sandi berdiri berpangku tangan sambil menatap tajam ke arah mereka. Sesaat kemudian dia melirik ke arah tumpukan kertas poster yang berserakan di antara kaki Jalu, Jali, Panca, dan Bima.

“Aku harus terus mengawasi kalian agar kejadian ini tidak terulang lagi!”

Jalu mendengus kesal.

***

“Aku masih kesal dengan anak itu,” kata Jalu sambil menyampirkan sarungnya di pundak. “Bagaimana dia bisa tiba-tiba ada di sana tanpa kita tahu?” katanya lagi sambil berjalan perlahan mengiringi langkah Bima, Panca dan Jali di sampingnya. Mereka baru pulang dari surau malam itu. Seperti biasa, sore hari mereka pergi mengaji di surau, lalu dilanjutkan dengan salat magrib berjamaah ketika waktunya tiba.

Surau itu berada di ujung desa, sehingga mereka harus berjalan cukup jauh untuk pulang. Meski begitu, sepanjang jalan ini tidak terlalu gelap. Lampu-lampu bohlam dari teras rumah-rumah berpendar sampai ke jalan, sehingga anak-anak itu tidak perlu membawa alat penerangan.

“Dia pasti mengikuti diam-diam sejak kita meninggalkan dia sendirian di jalanan, Lu,” jawab Bima. “Buktinya dia tahu kita membelok menuju jalan setapak di kebun bambu. Padahal orang yang jarang melewati jalan itu, pasti nggak bakalan tahu ada jalan terobosan di sana.”

Semuanya mengangguk, membenarkan ucapan Bima. Sandi nggak mungkin tahu tentang jalan setapak itu. Dia sudah lama tinggal di kota dan tidak mungkin mengenal seluruh wilayah di desa ini. Satu-satunya kenapa dia bisa ada di sana, pasti karena membuntuti mereka sejak awal.

“Mau apa sih dia?” geram Jali. “Kenapa dia bisa menuduh kita yang merobek poster-poster itu? Kenapa nggak nuduh orang lain saja?”

“Karena dia nggak bakal berani nuduh orang dewasa. Bisa dijitak dia kalau sampai berani begitu,” cibir Panca yang ikut-ikutan merasa kesal.

“Atau kita jitak aja dia ramai-ramai?” cengir Jalu. “Biar tahu rasa sudah memfitnah orang seenaknya.”

Ketiga temannya langsung tertawa.

“Jangan Lu, berurusan dengan anak seperti itu bisa panjang. Nanti dia lapor Bapaknya dan ngomong yang enggak-enggak. Terus, Bapaknya ngamuk dan marahin kita, atau marahin bapak kita semua. Terus lagi, bapak kita marahin kita juga akhirnya. Jadi kita yang rugi kan?” kata Bima di sela tawanya.

“Jadi bagusnya diapain? Sihir jadi kodok aja?” Jalu terkekeh-kekeh.

“Jangan, jadi layangan aja,” timpal Jali. “Kebetulan layanganku robek, jadi nggak perlu beli lagi.”

Keempatnya kembali tertawa tergelak-gelak, sebelum sorot lampu mobil yang mendekat menghentikan tawa mereka. Sorot lampu mobil itu sangat menyilaukan mata. Keempatnya segera menepi, karena jalanan itu tidak terlalu lebar, dan mereka takut terserempet. Tapi mobil itu justru berhenti tepat di depan mereka. Sebuah mobil jenis pick-up.

Seraut wajah keluar dari jendela mobil sebelah kanan yang terbuka. Seorang lelaki dewasa tersenyum ke arah mereka. “Maaf adik-adik, numpang tanya ya. Rumah Pak Duyo sebelah mana?”

“Oh, sudah terlewat Pak,” jawab Jalu cepat. “Di persimpangan jalan tadi harusnya belok ke arah kiri. Rumahnya tidak jauh dari sana.”

“Pokoknya yang rumahnya besar dan halamannya luas,” timpal Panca.

“Aku bilang juga apa, kita belok ke kiri, bukan ke kanan!” terdengar suara dari dalam mobil. “Aku kan masih ingat arah jalannya.”

Anak-anak itu melihat ada tiga orang yang duduk di sana. Lelaki itu, sopir, dan seorang lagi yang duduk di antaranya. Orang yang di tengah-tengah itu sepertinya yang berkata barusan. Beberapa orang lagi tampak duduk di bak belakang mobil yang terbuka.

“Sori, tapi malam hari begini jalanan memang membingungkan. Aku kira belok kanan.” Lelaki yang duduk di pinggir jendela itu menjawab sambil menoleh ke dalam mobil. Tak lama dia berpaling lagi ke arah Jalu dan teman-temannya. “Berarti harus berputar balik, ya?” senyumnya.

“Iya Kang, nggak ada jalan lagi kalau lurus terus. Jalan ini mentok ke arah pesawahan.” Jalu mengangguk.

“Oke. Terima kasih ya, Dik.”

Jalu dan teman-temannya mengangguk. Mereka menatap mobil itu bergerak maju, lalu berbelok di sebuah tanah yang agak lapang. Sebentar saja mobil pick-up itu sudah menderu melewati mereka.

“Sepertinya Pak Duyo memang sudah siap untuk mengaspal jalanan desa ini,” kata Jalu sambil menatap mobil yang sudah menjauh.

“Kok kamu tahu?” Bima melirik Jalu.

“Kalian tidak melihat apa yang ada di belakang mobil pick-up itu? Sekilas aku melihat banyak peralatan kerja di sana, di antara orang-orang yang duduk di bagian belakang mobil. Ada sekop, cangkul, dan peralatan lain yang tidak terlalu jelas aku lihat.”

“Mungkin Pak Duyo ingin banyak warga yang memilihnya kalau dia bisa mengaspal jalan dari sekarang,” kata Jali.

“Bisa jadi begitu. Pak Duyo tidak mau kehilangan pemilihnya,” seru Bima. “Yang aku dengar, banyak warga juga yang menginginkan Pak Wahyu tetap menjadi Kepala Desa.”

“Wah, wah, persaingannya ramai nih. Kita terima enaknya aja ya?” Panca tertawa. “Siapapun yang terpilih, jalanan desa sudah bagus dan kita bisa bermain sepeda di jalan aspal yang rata.”

“Setuju!” Jali ikut tertawa. Membayangkan jalanan desa ini mulus dan rata memang menyenangkan. Nggak bakalan ada lagi jalanan berlubang di sepanjang jalan. Kalau hujan turun pun, nggak bakalan ada lagi kubangan-kubangan air di sana-sini.

Pikiran itu terus terbayang-bayang sampai mereka tiba di rumah masing-masing. Ada rasa senang desa mereka akan semakin maju.

JJJ

Lonceng di halaman SD Negeri Margasari berdentang kencang. Tak lama ratusan anak berbaju putih merah berhamburan dari beberapa pintu kelas. Menyenangkan sekali mendengar bunyi dentang lonceng di siang hari seperti ini, karena itu tandanya pelajaran hari ini sudah berakhir.

Dari pintu kelas 6, Jalu keluar diikuti Jali, Panca, dan Bima. Beberapa anak kelas 6 lainnya ikut berebutan ke luar di sela-sela mereka. Suara celotehan anak-anak terdengar bersahutan, membuat halaman sekolah terlihat semakin ramai.

“Sandi membuat aku semakin sebal,” gumam Jalu. “Jelas sekali kalau dia sengaja pamer pada guru dan murid-murid lainnya.”

Bima terkikik. “Kamu dapat saingan berat untuk menjadi juara kelas kali ini, Lu.”

Ya, hari ini Sandi memang menjadi murid SD Margasari kembali. Setelah pindah ke kota saat kelas 3 dahulu, sekarang dia sekelas dengan Jalu dan teman-temannya di kelas 6. Yang membuat Jalu kesal, Sandi berusaha memamerkan kepandaiannya kepada guru dan seisi kelas lainnya hari ini. Setiap Bu Shinta, guru kelas 6, memberikan pertanyaan, selalu saja Sandi berhasil menjawabnya dengan benar. Bahkan sebelum Bu Shinta menunjuknya untuk menjawab, Sandi sudah menjawab duluan.

“Dasar tukang pamer!” gerutu Jalu sambil membetulkan tas ranselnya yang melorot.

Jali, Panca dan Bima cekikikan. Wajar saja kalau Jalu jadi uring-uringan. Selama ini Jalu adalah murid paling pandai di kelas. Sejak kelas 1, dia selalu jadi juara kelas. Tidak heran kalau dia merasa akan memiliki saingan berat untuk mempertahankan juara kelasnya. Rupanya, meski terlihat sombong, Sandi anak yang cerdas juga. Seharian ini dia sering dipuji Bu Shinta. Sekolah di kota rupanya membuat dia memperoleh banyak kepandaian. Padahal, saat sama-sama di kelas 1 dan 2 dulu, Sandi termasuk murid yang biasa-biasa saja. Tidak terlihat menonjol seperti sekarang.

Berbeda dengan Jalu, ketiga anak lainnya bukan merupakan murid yang paling menonjol di kelas. Bahkan Jali yang bersaudara kembar dengan Jalu hanya menempati rangking 7 di kelas.

“Pssst … ada Sandi. Jangan ngomongin dia keras-keras,” bisik Bima ketika matanya menangkap bayangan Sandi berjalan di dekat mereka.

Dengan gayanya yang angkuh, Sandi merangkul bahu Syamsu, teman sebangkunya, berjalan di dekat mereka.

“Kalau kamu mau main Playstation, kamu datang aja ke rumahku. Aku punya banyak game-game seru. Koleksi buku bacaanku juga banyak kalau kamu suka membaca. Ibuku sering membelikan aku banyak buku baru.” Sandi bicara dengan suara lantang, seolah ucapannya itu ingin didengar oleh Jalu dan teman-temannya.

Terang saja Jalu langsung mendelik sebal. Sementara Syamsu tampak kegirangan. Di desa ini, permainan Playstation tidak ada yang memiliki. Dia ingin sekali mencoba permainan yang pernah dia baca di majalah anak di perpustakaan sekolah. Pasti seru sekali.

“Wah, aku boleh mencoba main playstation-mu, San?” kata Syamsu girang.

“Boleh dong. Ajak saja teman-teman yang lain agar mereka juga bisa mencoba memainkannya.”

Wajah Syamsu langsung berseri-seri.

“Oya, kamu sudah tahu kalau Ayahku mau mengaspal jalanan desa ini?”

Syamsu mengangguk. “Aku mendengar dari orang-orang yang ramai membicarakannya.”

“Hari ini orang-orang yang disewa Ayahku akan mulai mengukur jalan. Katanya dari arah gerbang desa mulai pengukurannya. Kita ke sana, yuk?  Kamu pasti ingin tahu bagaimana proses jalanan di desa kita ini menjadi bagus nantinya.”

Syamsu mengangguk lagi dengan bersemangat. Bagi anak-anak di desa ini, hal itu adalah sesuatu yang baru, dan pastinya akan sangat menarik untuk diperhatikan.

Sandi tersenyum lebar. Bersama Syamsu, mereka berjalan cepat  melewati Jalu dan teman-temannya. Sandi sempat melirik dingin ke arah Jalu, membuat wajah Jalu memerah karena kesal. Jalu merasa Sandi sengaja berbicara keras kepada Syamsu untuk memanas-manasi mereka.

“Sudahlah, Lu, nggak usah dipikirin. Sandi memang seperti itu, kan?” Bima menepuk bahu Jalu ketika Sandi dan Syamsu sudah berjalan menjauh. “Dia memang sengaja pamer agar kita iri terhadapnya. Itu memang maunya dia.”

Jalu mengangguk.

“Lebih baik kita melihat pengukuran jalan itu, yuk?” ajak Panca. “Aku juga penasaran ingin tahu seperti apa sih mereka memperbaiki jalanan di desa kita ini.”

Bima dan Jali langsung menyatakan setuju, sementara Jalu terlihat ragu. Sandi pasti akan senang kalau melihat mereka mengikutinya. Dan dia bisa mencemooh mereka lagi. Tapi Panca dan Jali sudah menariknya, sehingga Jalu terpaksa menurut. Dalam hatinya dia memang ingin tahu juga dengan kegiatan itu. Apakah pekerja yang akan memperbaiki jalan itu mereka yang mengendarai mobil pick-up semalam?

“Kalau benar Pak Duyo akan mengaspal jalanan desa kita, dimana menyimpan material perbaikan jalannya ya?” gumam Jalu sambil berjalan.

“Bahan Material apa, Lu?” tanya Jali.

“Untuk melapisi jalan dengan aspal kan harus ada bahan-bahannya. Kerikil, aspal, dan juga alat berat seperti mesin perata jalan dan juga mesin pengaspal jalan. Tapi sampai sekarang kita belum melihat bahan dan mesin-mesin itu.”

“Sandi bilang mereka baru akan melakukan pengukuran dulu. Mungkin setelah itu baru bahan-bahannya datang,” jawab Bima.

Jalu mengendikkan bahunya. Mungkin juga. Lagipula Jalu tidak yakin Pak Duyo mau mengaspal seluruh jalanan desa kalau belum yakin terpilih jadi kepala desa. Biaya melapisi aspal seluruh jalanan pasti besar sekali. Bisa jadi pengaspalan jalan akan dilakukan kalau Pak Duyo benar-benar sudah terpilih. Untuk menarik perhatian warga, pengukurannya dilakukan mulai dari sekarang. Warga pasti akan menganggap calon kepala desa yang satu itu serius dengan janji-janjinya.

Anak-anak itu berjalan penuh semangat. Ya, siapa yang tidak senang kalau desa mereka akan terlihat lebih maju dan rapi. Bahkan kabarnya, Pak Duyo juga akan memasang lampu penerangan di sepanjang jalan kalau terpilih nanti. Desa mereka akan terang benderang pada malam hari. Tidak perlu bawa lampu senter atau obor lagi kalau harus keluar malam hari. Asyik sekali.

“Eh, lihat, ada apa itu?” Jali menunjuk jauh ke depan. “Sepertinya Pak Duyo sedang marah-marah.”

Mereka semua menatap ke arah yang ditunjuk Jali. Ternyata memang terlihat Pak Duyo sedang berkacak pinggang di depan tiga orang lelaki. Anak-anak itu bergegas mempercepat langkahnya. Di bawah sebatang pohon katapang yang rimbun, dekat dengan kejadian itu, mereka berhenti. Mata mereka menatap ke depan, ke arah Pak Duyo yang sedang emosi. Mereka juga melihat Sandi ada di sana, berdiri di dekat Ayahnya. Syamsu berdiri di samping Sandi.

“Tengah hari begini kerja kalian baru sampai di sini? Kerja apa saja sih dari tadi?” terdengar bentakan suara Pak Duyo. Ayah Sandi itu terlihat kecewa dengan pekerjaan yang sudah dikerjakan anak buahnya. Dalam pikirannya, pengukuran jalan itu pasti sudah sampai di Balai Desa. Ternyata setengah jaraknya pun belum. Pantas saja kalau Pak Duyo marah dan kecewa.

Tiga orang lelaki di hadapan Pak Duyo hanya tertunduk.

“Anak buah Pak Duyo itu mereka yang ada di mobil pick-up semalam,” kata Jalu pelan.

“Benarkah?”

“Iya Bim. Aku masih mengenal yang berkaos biru itu. Dia yang duduk di dekat jendela mobil dan bertanya pada kita tadi malam.”

“Eh, iya benar,” pekik Panca. “Hari ini dia pakai topi, jadi aku ragu-ragu pernah melihatnya.”

“Pssstt …”

“Mana si Dahlan dan dua orang lagi? Bukankah mereka seharusnya ada di sini sekarang?” Suara keras Pak Duyo terdengar lagi, membuat empat anak itu kembali terdiam. Dari bawah pohon ketapang tempat mereka bernaung, percakapan itu bisa terdengar jelas.

“Eh … itu Pak, mereka ….” lelaki berkaos biru terlihat gelisah. Dia bernama Nanto. “Dahlan sedang …”

“Mengukur di tempat lain, Pak.” Lelaki di sebelahnya memotong cepat. Lelaki itu bernama Dede.

“Di tempat lain?” Pak Duyo melotot. “Tempat lain yang mana? Bukankah aku bilang semuanya dikerjakan berbarengan. Nggak usah ke mana-mana dulu.”

“Biar semua bisa dikerjakan serentak, Pak.” Lelaki bernama Dede itu mencoba berkelit.

“Kalian tidak dengar apa yang aku katakan semalam? Kalian semua kerjakan dari gerbang desa, berurutan sampai ke Balai Desa. Bukan misah-misah begini!” wajah Pak Duyo memerah.

Ketiga lelaki itu terdiam. Mereka sama-sama berdiri gelisah.

“Buat apa aku tambah tenaga kalau malah jadi lambat seperti ini? Kalian tahu, segera setelah aku terpilih jadi Kepala Desa, pengaspalan jalan harus segera dilaksanakan. Karena itu pengukuran seluruh jalan harus sudah beres minggu ini.” Pak Duyo terengah-engah. Dia kelihatan marah sekali. “Kalau semua belum beres, rusak pula semua rencana yang sudah aku susun.”

“Semuanya pasti beres, Pak,”

“Jangan sok tahu, kamu!” Pak Duyo mendelik. “Panggil si Dahlan dan dua temannya itu balik lagi ke sini. Awas kalau hari ini kerjaannya tidak beres.”

“Baik, Pak.”

Pak Duyo membalikkan badannya, lalu berjalan ke arah sepeda motornya yang diparkir tidak jauh dari sana. Sandi berlari mengikutinya setelah sebelumnya pamit kepada Syamsu. Motor yang dikendarai Pak Duyo dan Sandi segera berjalan kencang meninggalkan tempat itu.

“Kita juga pulang, ternyata pengukuran jalan nggak seru. Nanti saja kalau mesin pengaspal jalan datang, kita nonton lagi,” ajak Jalu sambil membalikkan badannya.

“Tapi tadi kan ada tontonan yang lebih seru.” Panca terkikik. “Nonton calon kepala desa marah-marah.”

Semuanya ikut terkikik.

***

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar