Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 6

BAB 6

Kakek Tua, Penunggu Hutan Larangan

Panca kembali merapat di samping Bima. Dia tidak mau langkah kakinya tertinggal dibanding yang lainnya. Dia berjalan sambil berpegangan ke ujung baju Bima di sebelahnya. Ada rasa tidak percaya dia mau saja ikut dengan mereka. Kenapa dia mau saja mengikuti rencana bodoh ini? pikirnya berulang-ulang. Tapi kaki Panca tetap saja melangkah mengikuti Jalu dan yang lainnya.

Panca mengakui, dibanding yang lainnya, dia yang paling penakut. Dia sering iri melihat Jalu yang selalu penuh ingin tahu dan tidak takut dengan apapun. Dia juga meihat Jali tidak kalah pemberaninya dibanding Kakaknya. Panca juga ingin seperti Bima yang kalem dan tenang pembawaannya, dan bisa menjadi sangat berani di lain kesempatan.

Kenapa aku tidak seberani mereka? Keluh Panca.

“Tenang, Ca, kamu akan aman selama ada kita,” kata Bima sambil merengkuh bahu Panca. Dia tahu Panca pasti sangat ketakutan saat ini.

Jalu dan Jali menoleh ke arah Panca sambil tersenyum. Keduanya mengangguk berbarengan. Panca jadi sedikit lega. Dia tersenyum ke arah tiga temannya.

“Siapa itu, Lu?” tiba-tiba Jali menunjuk ke arah kejauhan.

Dua orang lelaki berjalan bergegas. Langkah mereka cepat dan panjang-panjang, sesuai dengan tinggi badan mereka yang jangkung. Keduanya berjalan sesuai arah yang akan dituju anak-anak itu; Hutan Larangan.

Jalu memicingkan matanya. Dia berusaha mengenali kedua sosok lelaki itu. Tapi jaraknya ternyata terlalu jauh. Jalu tidak bisa mengenali sedikitpun siapa dua orang lelaki itu. Dia hanya angkat bahu. “Entahlah,” jawabnya.

“Mereka sepertinya menuju Hutan Larangan juga,” kata Bima yang juga tidak bisa mengenali dua sosok itu.

“Belum tentu Bim, mereka bisa saja menuju desa sebelah melalui kebun bambu di depan sana,” kata Jalu. “Lagi pula, mau apa mereka ke Hutan Larangan? Sepertinya mereka bukan para pencari kayu bakar.”

Bima mengangguk. Bisa jadi memang begitu. Di depan memang ada jalan setapak menuju desa sebelah, meski jaraknya cukup jauh juga. Untuk menuju ke sana, kita harus menembus hutan bambu, lalu menyusuri pematang sawah yang luas. Kalau mau gampang, bisa saja menggunakan jalan desa yang lebih lebar. Tapi jaraknya semakin jauh dari tempat ini, harus memutar kembali ke gerbang desa di depan sana. Mungkin kedua orang itu sedang terburu-buru, jadi lebih memilih menggunakan jalan setapak.

Mereka sudah tidak memikirkan kedua lelaki tadi kalau saja Panca tidak meneriakkan sesuatu. Sebelumnya dia berlari ke arah tepian jalan. Di dekat rumput ilalang tinggi, Panca berjongkok dan memungut sesuatu. Tak lama dia mengacungkan selembar kertas yang sudah robek-robek.

“Robekan poster!” teriaknya.

Jalu, Jali dan Bima terbelalak. Itu poster kampanye Pak Duyo lagi!

“Lihat, ada lagi di sini!” teriak Jali sambil berlari beberapa langkah ke depan dari tempat itu. Dia mengacungkan poster yang sama. Poster itu pun sudah tidak rapi lagi, seperti poster yang baru saja dicabut dari tempatnya menempel. Masih ada bekas cat yang melekat di belakang poster itu.

Sekejap saja Jali menatap jauh ke depan. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Dua orang lelaki itu! Mereka yang sudah mencabut dan merobek poster-poster ini!” teriaknya. Tanpa aba-aba, Jalu sudah berlari melesat ke depan. Dia merasa yakin merekalah yang sudah mencabut poster-poster ini. Dua poster yang Panca dan Jali temukan adalah poster mereka yang tercecer!

Meski bingung dan kaget dengan gerakan Jalu yang mendadak, Jali, Bima dan Panca ikut berlari di belakangnya. Kalau benar dua lelaki itu yang merobek-robek poster ini, lalu apa yang akan mereka lakukan? Meringkus mereka dan menyeretnya ke Balai Desa?  Apa bukan malah mereka yang balik diringkus oleh dua lelaki dewasa itu?

Bima menggeleng-gelengkan kepalanya bingung. Tapi Jalu tampaknya punya rencana lain. Dia masih berlari mengejar lelaki itu.

Di persimpangan jalan setapak menuju hutan bambu langkah Jalu terhenti. Jali, Bima, dan Panca ikut terhenti. Nafas mereka tersenggal-senggal.

“Berbelok ke hutan bambu, atau ke Hutan Larangan?” Jalu berpikir keras. Kemungkinan besar mereka berbelok ke arah hutan bambu, lalu kabur ke desa sebelah. Tapi … apa tidak mungkin mereka justru ke Hutan Larangan?

“Kita ngapain sih, Lu, ngejar mereka?” Panca menatap Jalu dengan terengah-engah. “Belum tentu kan mereka yang melakukan perobekan poster ini?”

Jalu melirik Panca. “Setidaknya kita tahu siapa dua orang lelaki itu. Kita bisa mengawasi mereka kalau ada di desa kita lagi.”

“Mengawasi? Untuk apa? Kita bukan panitia pemilihan Kades!” Panca mengomel. Dia membungkuk dan bertumpu di kedua lututnya, mengatur nafasnya yang memburu.

Jalu tidak memperdulikan omelan Panca. Dia lebih tertarik ke arah Jali yang tengah berjalan ke arah Hutan Larangan. Beberapa langkah darinya, Jali mengacungkan selembar kertas di tangannya.

“Mereka ke arah sini, Lu!”

Jalu tersenyum. Selembar robekan poster tercecer lagi. Sambil menoleh ke arah Bima dan Panca, Jalu mengayunkan tangannya. “Ayo kejar …”

Panca menarik nafas panjang sebelum berlari kembali mengejar yang lainnya. Ini permainan yang sangat melelahkan baginya. Kenapa sih mereka tidak bersikap seperti biasanya saja? Kenapa beberapa hari belakangan ini semua sahabatnya jadi aneh begini? Panca misuh-misuh sendiri.

Setelah berlari sekian lama, mereka akhirnya berhenti dengan sendirinya. Hutan Larangan sudah berdiri tegak di hadapan mereka.

“Kita tidak melihat dua orang lelaki itu, Lu,” desis Jali. “Entah kemana mereka larinya.”

“Tapi kita bisa kembali ke rencana semula. Mencari Kakek Penunggu Hutan Larangan,” gumam Jalu.

Panca mendengus keras. Mendengar nama itu disebut, dia bergeser merapat ke arah Bima.

“Tapi di mana kita bisa bertemu Kakek itu lagi, Lu?” tanya Bima pelan.

“Di dalam. Kita akan masuk ke sana sekarang.”

Kaki Jalu melangkah perlahan. Jali mengikuti di belakangnya. Setelah itu baru Bima dan Panca berdampingan. Mata mereka berempat menatap awas ke sekelilingnya. Entahlah, mereka sendiri tidak yakin, apa sudah siap bertemu kembali dengan sosok Kakek Tua itu? Jangan-jangan Penunggu Hutan Larangan ini akan murka karena mereka malah sengaja ingin menemuinya?

Siang ini Hutan Larangan masih terlihat terang. Mungkin karena anak-anak itu masih berada di pinggiran hutan. Selangkah demi selangkah, keempatnya kemudian memasuki lebih dalam.

Panca dan Bima menatap berkeliling, memperhatikan suasana yang baru mereka lihat kali itu. Setelah sekian lama hanya mendengar cerita-cerita seram tentang Hutan ini, akhirnya sekarang mereka memasukinya.

Cerita Jalu ternyata benar, hutan ini lebat dan rapat sekali. Pepohonan dan rerimbunan semak tumbuh dengan subur di mana-mana. Sepertinya segala jenis pohon ada di sini, yang besar, yang tinggi, yang pendek, yang rimbun, Panca dan Bima melihat semuanya. Mereka bahkan tidak tahu pohon apa yang ada di dekatnya saat itu. Karena begitu tinggi menjulang, mereka harus mendongak untuk melihat rerimbunan daunnya.

Mereka berempat berjalan tanpa ada yang berbicara sama sekali. Hutan itu begitu hening. Tak terdengar suara tonggeret atau jeritan monyet liar seperti biasanya. Hanya ranting patah atau daun kering yang bergemeresak terinjak kaki mereka.

“Kalau kalian mencari lelaki-lelaki itu, mereka tidak lewat sini.” Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dari samping mereka, dari balik rerumpunan perdu.

“HUWAAAAAA …..”

Keempatnya menjerit kencang. Jalu dan Jali tersentak beberapa langkah ke belakang, sementara Panca langsung melotot tak berkedip. Badannya gemetar hebat.

“HANTUUUU …. “ jerit Panca panik. Sadar dari kagetnya, dia langsung memeluk tubuh Bima yang sama gemetarnya. Bima sendiri hanya bisa berdiri mematung dengan mulut ternganga lebar. Tak sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya.

Kakek Tua itu terkekeh-kekeh nyaring. Suaranya bergema di seluruh hutan.

Jalu berpegangan erat dengan Jali. Mata keduanya tak berkedip menatap Kakek Tua yang sedang terkekeh-kekeh tanpa henti. Entah keberanian dari mana, mereka tak lagi merasakan ketakutan yang luar biasa. Mereka hanya kaget karena sapaan Kakek itu begitu tiba-tiba. Mungkin karena Jalu sudah bertemu dengan Kakek itu kemarin, dan Jali ketularan rasa beraninya dari Jalu.

“Aku … bukan … hantu …” kata Kakek Tua itu di sela kekehan tawanya. “Apa wajahku … mirip hantu ya?” Kakek Tua itu terkekeh kembali.

Meski begitu Panca tetap  belum berani mengangkat mukanya. Dia masih memeluk Bima dengan erat.

“Lihat, aku manusia seperti kalian. Bedanya kulitku sudah keriput, dan gigiku sudah ompong.” Kakek tua itu meringis, memperlihatkan gusinya yang menghitam.

Saat itu Jalu melihat dengan jelas wajah Kakek Tua itu dibalik topi capingnya.

“Maaf … kami mengganggu … Kek,” katanya terbata.

“Hah, aku tidak terganggu.” Kakek itu berjalan semakin mendekat ke arah anak-anak. Bima dan Panca langsung menyeret mundur kakinya.  “Aku justru senang semakin banyak orang yang berani masuk hutan ini.”

Jalu dan Jali melongo. “Banyak orang, Kek?” tanya mereka serempak. Rasanya tidak percaya kalau semakin banyak orang yang memasuki Hutan Larangan ini. Bukankah hutan ini terlarang? Bukankah di dalamnya terdapat mahluk-mahluk menyeramkan? Apakah orang-orang itu sama penasarannya dengan hutan ini seperti mereka berdua?

“Setiap hari selalu saja ada yang memasuki hutan ini.”

“Pencari kayu bakar?” tanya Jali. Dia sama sekali sudah tidak takut lagi. Kakek tua di hadapannya sama sekali tidak terlihat menakutkan. Dia tampak seperti kakek-kakek yang lainnya. Kalau sore itu Jali ikut lari tunggang langgang ketakutan, mungkin karena pikirannya sudah dipenuhi oleh bayangan-bayangan seram. Karena itu, begitu melihat sosok Kakek Tua ini, dia langsung kaget dan ikut berlari bersama yang lainnya. Tapi sekarang sudah lain sama sekali.

Mendengar si Kembar ngobrol dengan Kakek Tua itu tanpa rasa takut, Panca mengintip dari balik punggung Bima dengan penasaran. Benarkah mereka tidak sedang bertemu hantu?

“Kita ngobrol di tempat Kakek saja, yuk. Kalian pasti akan menyukainya.” Tanpa menunggu jawaban, Kakek itu membalikkan badannya lalu berjalan menerabas hutan. Jalu dan Jali langsung mengikutinya.

“Lu!” panggil Bima waspada. Apakah mereka yakin Kakek itu tidak akan mencelakai mereka?

“Tidak apa-apa, Bim. Aku yakin.” Senyum Jalu sambil mengayunkan tangannya, memberi tanda agar Bima dan Panca mengikutinya.

Masih dengan perasaan enggan, Bima dan Panca mengikuti mereka. Bagaimanapun, baru sekali ini mereka memasuki Hutan Larangan. Mereka harus sangat hati-hati. Lagi pula, mereka belum mengenal Kakek Tua itu.

Tidak jauh mereka berjalan. Tidak sampai seratus meter, Kakek itu sudah membawa mereka ke tempat yang sangat mengejutkan.

“Waaaaah … “

Keempat anak itu langsung terpana begitu kaki mereka keluar dari rerimbunan hutan. Sekarang ini di hadapan mereka terdapat sebuah tempat yang cukup lapang dan indah. Tidak terlalu luas, tapi cukup leluasa apabila mereka bermain di sana. Rumput yang hijau melapisi tanah datar itu, membuatnya semakin terlihat nyaman. Yang menambah keindahan tempat itu, sebuah telaga kecil berada di samping tanah lapang. Sayangnya air telaga ini tidak terlalu jernih. Beberapa bunga teratai mengambang di tengah telaga. Indah sekali.

Semak dan ilalang tinggi memagari tepian telaga, membuat tempat itu terhalang dari luar. Tak ada seorang pun di luar sana yang bisa melihat mereka berdiri di tepi telaga sekarang. Ilalang-ilalang itu sudah menghalanginya.

“Aku tahu tempat ini!”pekik Panca mengagetkan. Setelah selama ini diam tak bersuara, tiba-tiba saja dia memekik begitu saja. “Tempat ini di belakang rawa-rawa, tidak jauh dari tempat kita duduk beberapa hari yang lalu memandangi Hutan Larangan.”

Kakek Tua tertawa terkekeh. “Betul Nak, tempat ini memang dibalik rawa-rawa penuh semak itu.”

“Waah … siapa yang bakal menyangka di balik rawa ada tempat sebagus ini,” desah Bima kagum. Ini benar-benar di luar dugaannya.

“Tempatnya tersembunyi pula,” timpal Jali. Dia berlari ke arah sebuah bangku kayu tua, lalu duduk di sana menghadap telaga.

“Di sinilah Kakek tinggal.”

Empat kepala serentak menoleh ke arah Pak Tua. “Di tempat ini?”

Kakek itu menunjuk ke ujung tanah lapang. Di bawah sebuah pohon besar berdaun rindang, terdapat sebuah gubuk yang sangat reot. Atapnya dari daun kelapa yang ditumpuk-tumpuk. Sementara dindingnya terbuat dari papan yang ditempel asal-asalan. Sebuah tempat tinggal yang jauh dari sederhana.

“Sekarang ini Kakek tinggal di sana. Sebelumnya Kakek sempat berpindah-pindah tempat di dalam hutan ini.”

Desahan nafas tertahan keluar dari bibir empat anak itu. Tiba-tiba mereka lupa dengan segala ketakutan mereka selama ini tentang Hutan Larangan dan sosok Kakek Tua penunggunya. Yang mereka rasakan sekarang adalah rasa iba.

“Sudah lama Kakek tinggal di tempat ini? Di … gubuk itu?” tanya Jali hati-hati.

“Bertahun-tahun. Kakek tidak ingat lagi sudah berapa lama tinggal di sini. Kakek tidak pernah menghitung waktu.” Mata Kakek itu menerawang jauh. Dia seolah mengorek kembali semua kenangannya yang terpendam selama ini. Dan ceritapun bergulir tanpa bisa ditahan lagi.

Mahdi. Itulah nama Kakek itu. Dulu dia tinggal di desa Banyusari, desa yang lokasinya berdekatan dengan desa Margasari. Meski begitu, dari Hutan Larangan sih cukup jauh letaknya.

“Dulu Kakek bukanlah orang yang baik.” Kek Mahdi tersenyum sendu menatap anak-anak yang bengong di sekitarnya. Dia seolah menyimpan beban yang sangat berat mengatakan hal itu. Mereka sudah duduk bersila di atas hamparan rumput yang lembut.

“Sejak masih muda Kakek dikenal orang yang tukang bikin onar di kampung. Segala hal buruk pernah Kakek lakukan. Mabuk-mabukkan, berkelahi, berbuat onar, dan bahkan mencuri.” Kek Mahdi menarik nafas berat. Matanya menerawang jauh. Dia seolah berat menceritakan kembali pengalaman buruknya di masa lalu.

Anak-anak itu melongo. Tak ada yang bisa menyangka Kek Mahdi sifat yang buruk dahulunya. Panca langsung mencolek lengan Bima. Dia merasa ketakutannya muncul lagi. Bagaimana kalau Kek Mahdi ini masih memiliki sikap buruk sampai sekarang? Bagaimana kalau dia berniat jahat terhadap mereka.

“Pssstt …” Bima melotot kea rah Panca. “Berisik ah.”

Panca merengut.

Karena sikapnya yang tidak baik itu, istri Kek Mahdi meminta cerai. Istrinya merasa tidak sanggup lagi menyadarkannya dari kebiasaan-kebiasan jeleknya itu. Karena tidak tahan, akhirnya istrinya memilih berpisah. Sejak itu Kek Mahdi tinggal sendiri, karena dari pernikahannya itu mereka tidak dikaruniai anak.

“Lalu kenapa Kakek jadi ada di hutan ini?” Tanya Jalu.

Kek Mahdi menatap Jalu. “Lambat laun warga desa kesal dengan sikap Kakek. Mereka tidak mau Kakek ada di sana lagi. Mereka berusaha mengusir Kakek dari desa, tapi Kakek tidak mau. Kakek tidak punya saudara di tempat lain. Hanya di desa itulah tempat tinggal Kakek. Kakek menantang siapa saja yang berani mengusir Kakek dari sana.”

“Lalu?” Tanya Jali tak sabar.

“Sshhh … sabar dong.” Bima menyikutnya, membuat Jali meringis.

Kakek Mahdi tersenyum. Entah kenapa, dia menyukai anak-anak ini. Sejak datang ke perbatasan hutan ini dengan wajah-wajah ketakutan, Kek Mahdi sudah tahu mereka sebenarnya anak-anak yang baik dan pemberani. Makanya dia sengaja menampakkan diri di depan mereka. Sayangnya mereka malah lari terbirit-birit ketakutan. Padahal, Kek Mahdi hanya ingin bertemu anak-anak itu saja.

Entah kenapa, melihat Jalu dan teman-temannya Kek Mahdi menjadi sedih sendiri. Di usianya yang sudah menua, dia merindukan kehadiran keluarga dan sanak-saudaranya. Kalau saja dahulu dia berbuat baik, mungkin istrinya tidak akan meninggalkannya. Mereka bisa memiliki anak, dan mungkin sekarang sudah memiliki banyak cucu. Di usianya yang sudah semakin tua, Kek Mahdi harus hidup sendirian.

“Kek? Kakek kenapa?” Tanya Jalu. Dia melihat Kek Mahdi malah melamun.

Teguran itu membuat Kek Mahdi tersentak. Dia menyusut matanya dengan lengan bajunya yang sudah lusuh.

“Suatu waktu …” Kek Mahdi menerawang lagi. “Warga memergoki Kakek mencuri kambing milik seorang warga.” Kek Mahdi tersedu. “Mereka semua marah. Ramai-ramai mereka megeroyok Kakek. Mereka membawa pentungan, kayu, golok, dan benda-benda untuk menghajar Kakek. Mungkin karena selama ini sudah memendam kemarahan, saat itu mereka melampiaskan kekesalan mereka. Mereka tidak ingin membiarkan Kakek selamat.”

Huuffff …. Jalu, Jali, Panca dan Bima serentak menahan nafas. Kisah itu benar-benar membuat mereka bergidik.

“Untungnya Kakek berhasil lolos dari kepungan mereka. Kakek berlari secepat-cepatnya dan sejauh-jauhnya. Tak perduli lari kemana, yang penting menghindari kejaran mereka. Dan di hutan inilah Kakek akhirnya bersembunyi.”

“Tidak ada yang berhasil menemukan Kakek di sini?” Tanya Bima.

Kek Mahdi menggeleng. “Hutan ini dulunya lebat sekali. Lebih lebat dibanding sekarang. Kakek berhasil bersembunyi ketika mereka mencari ke tempat ini. Sejak itu Kakek tidak berani lagi ke luar dari hutan ini untuk beberapa lama.”

“Tidak pernah keluar dari hutan sama sekali?” Jali melongo. Bagaimana mungkin dia bisa tahan tinggal di hutan gelap seperti ini?

Kek Mahdi menggeleng. “Kakek terlalu takut untuk bertemu dengan orang-orang. Kakek khawatir mereka masih mencari Kakek kemana-mana. Karena itu pula Kakek menggunakan topi caping ini agar tidak dikenali. Entah bagaimana jadinya kalau mereka tahu Kakek bersembunyi di hutan ini. Mereka pasti akan mengepung tempat ini, lalu menyeret Kakek keluar.  Kakek takut mereka akan membunuh Kakek, atau menggiring Kakek ke kantor Polisi. Daripada di penjara, lebih baik Kakek tinggal di tempat ini saja.”

“Kakek tidak takut tinggal di tempat ini sendirian? Bukankah ini adalah Hutan Larangan yang …” Jali tidak berani meneruskan ucapannya. Dia jadi merinding sendiri kalau mengingat sekarang ini dia sedang ada di dalam Hutan Larangan.

Tak disangka Kek Mahdi tertawa terkekeh-kekeh lagi. “Yang berhantu? Yang dipenuhi oleh para penunggunya yang menakutkan?”

“Benarkah memang seperti itu keadaan di hutan ini, Kek?” tanya Bima cepat. Kalau memang benar, mungkin mereka harus segera pulang dan keluar dari hutan ini.

Kek Mahdi tetap tergelak. “Kakek hanya bicara pada kalian saja ya. Pssstt …..” Kek Mahdi mencondongkan badannya ke arah anak-anak itu. Langsung saja keempatnya menciut dan berdebar. Panca kembali bersembunyi di balik badan besar Bima. Apakah Kek Mahdi akan mengatakan bahwa Hutan Larangan ini memang berhantu?

“Tidak ada hantu di hutan ini. Kalau warga desa mengaku melihat hantu, itu hanya ulah Kakek saja.”

HAH?

Jalu dan teman-temannya tersentak. “Ulah Kakek? Maksudnya apa, Kek?”

“Kalian tahu, dahulu itu Kakek sangat ketakutan orang-orang akan menemukan Kakek bersembunyi di sini. Karena itu, Kakek sengaja membuat tipuan agar tidak ada seorang pun yang berani memasuki hutan ini. Begitu melihat ada orang melintas, Kakek sengaja membuat suara-suara yang menakutkan. Kadang, Kakek membuat bayangan-bayangan seram dengan menggunakan kain atau pelepah pohon. Orang-orang ternyata ketakutan dan menganggap mereka sudah melihat hantu. Berita itu kemudian menyebar kemana-mana. Setelah itu semakin jarang orang yang berani memasuki hutan ini. Mereka semua menganggap hutan ini memang berhantu dan banyak penunggunya.”

Keempat anak itu terbelalak. Woaaaah …. ternyata itu rahasianya? Selama ini Kek Mahdi yang menakut-nakuti semua orang!

“Tapi itu dulu. Sudah lama sekali Kakek menghentikan kebiasaan itu. Kakek tidak pernah menakut-nakuti orang yang mendekati hutan ini lagi.”

“Jadi itu sebabnya hutan ini dinamakan Hutan Larangan? Warga desa sudah terlalu percaya bahwa hutan ini berhantu. Makanya mereka melarang anak-anak untuk mendekati tempat ini,” pekik Jalu sambil tersenyum senang. Lega sekali rasanya mendengar berita itu. Tak ada yang perlu ditakutkan dari Hutan Larangan.

Kek Mahdi mengangguk-angguk sambil terkekeh-kekeh. “Tapi hutan ini memang berbahaya. Kakek setuju warga desa melarang anak-anak masuk ke hutan ini. Di dalam hutan banyak terdapat rawa dan lumpur hisap. Kalau tidak berhati-hati, mereka bisa terjebak dan terhisap ke dalam lumpur itu.” Kek Mahdi melirik Jalu. “Seperti yang kamu alami kemarin.”

Jalu tersipu. Kalau saja dia tidak terkejut dengan kemunculan Kek Mahdi dan menganggapnya Hantu Penunggu Hutan, mungkin dia tidak akan pernah terperosok ke dalam lumpur hisap itu.

Kakek Mahdi kemudian bercerita, Hutan Larangan itu kaya dengan berbagai jenis tanaman dan satwa. Untuk menyambung hidupnya, Kek Mahdi memetik buah-buahan yang tumbuh di sana untuk makanan sehari-hari. Kadang dia sering berbagi makanan dengan monyet-monyet liar. Mereka sudah tidak mengganggu lagi, dan beberapa ekor monyet bahkan sudah terlihat jinak terhadapnya. Di telaga kecil ini pun ada beberapa jenis ikan yang sering ditangkapnya. Kakek Mahdi tidak pernah merasa kekurangan makanan.

“Kakek tidak rindu pulang ke rumah?”

Tidak hanya Kek Mahdi yang terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi juga Jalu, Jali, dan Panca. Kalau Kek Mahdi kaget dengan pertanyaannya, mereka kaget karena Panca yang nanya. Selama ini Panca hanya ngumpet saja di belakang punggung Bima. Tapi sekarang dia berani nanya. Rupanya dia sudah tidak ketakutan seperti sebelumnya.

Yang kemudian terlihat berubah, Kek Mahdi terlihat menundukkan kepalanya. Tak lama dia mengusap airmatanya yang tanpa disadarinya meleleh pelan..

“Kakek rindu pulang.” Kek Mahdi mengangkat kepalanya. “Tapi pulang ke mana? Kakek tidak yakin rumah Kakek di desa masih ada. Mungkin rumah itu sudah bakar warga, atau mungkin dihancurkan. Kalaupun Kakek datang kembali ke desa, apakah mereka masih mau menerima?“

“Mungkin mereka sudah tidak ingat dengan kejadian itu!” sela Jalu.

Kek Mahdi. “Atau mungkin sudah tidak ada yang ingat lagi dengan Kakek. Kakek akan menjadi orang asing dan tidak mengenal siapapun lagi di sana.”

Kesedihan itu begitu terasa di dalam suara Kek Mahdi. Sekian lama di dalam hutan, pasti akan sangat merindukan kembali berada di tengah kehidupan yang seharusnya.

“Sudahlah …” Kek Mahdi tersenyum dipaksakan. “Kakek sudah terbiasa tinggal di sini. Mungkin inilah jalan hidup yang harus Kakek lalui untuk menebus semua dosa-dosa yang sudah Kakek lakukan dahulu. Nah, sebaiknya kalian pulang sekarang. Jangan sampai kalian kesorean gara-gara keasyikan main di sini.”

“Tapi kami boleh datang lagi ke sini, kan, Kek?” tanya Panca yang lagi-lagi mengagetkan ketiga temannya.

“Dengan senang hati, cucu-cucuku.” Kek Mahdi tersenyum lebar.

Dengan diantar Kek Mahdi sampai ke perbatasan, keempat anak itu berlarian pulang. Wajah mereka penuh dengan senyum. Hari ini mereka sudah mengungkap rahasia Hantu Penunggu Hutan Larangan!

***

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar