Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 9

BAB 9

Tertangkap dan Tersesat

 

Jalu dan Sandi melompat cepat keluar dari tanah galian. Situasi di sana sudah tidak aman lagi. Mereka tidak punya pilihan lain selain kabur dari tempat itu secepatnya. Masalahnya, ketiga lelaki itu pasti tidak akan melepaskan mereka begitu saja.

“Ke sini, Lu!” teriak Sandi. Dia sudah berlari terlebih dahulu dan beberapa langkah di depan Jalu. Kali ini Jalu tidak lagi memikirkan rasa sebalnya terhadap anak itu. Sandi tidak mungkin akan menjahilinya lagi dalam situasi seperti itu. Sandi pun pasti sedang mencari selamat sekarang. Karena itu, Jalu mengikuti langkah Sandi tanpa protes lagi.

Dua langkah kaki lainnya berlari tak kalah cepatnya dari mereka. Kang Dahlan dan Kang Ajun tak akan membiarkan mereka lolos. Setelah anak-anak itu mengetahui rahasia mereka, tidak ada jalan lain selain harus menangkap kedua anak itu. Anak-anak itu pasti akan melaporkan semuanya pada warga desa, dan semua harapan mereka akan musnah seketika. Tak ada lagi mimpi untuk memperoleh sejumlah uang besar lagi dari penjualan benda-benda kuno itu.

“Anak-anak kurang ajar! Lihat apa yang akan aku lakukan begitu kalian tertangkap!” Kang Dahlan memekik kencang. Dia terkejut dan kaget sekali melihat ada empat orang anak sudah berada di tempat galiannya tadi. Selama ini dia berpikir tak akan pernah ada warga desa yang berani memasuki Hutan Larangan ini. Tapi dia justru menyaksikan anak-anak itu sedang melihat-lihat prasasti yang baru ditemukannya. Bagaimana anak-anak itu tidak takut dengan Hutan Larangan ini? Dia tidak pernah habis pikir tentang itu.

Berlari di tengah hutan yang rapat dan lebar tentulah tidak mudah. Apalagi dengan keadaan dikejar-kejar seperti itu. Berkali-kali Sandi dan Jalu bingung memilih jalan. Dari semula mereka bermaksud untuk mengikuti jalan menuju perbatasan hutan, dan lari keluar menuju pemukiman warga terdekat. Tapi kenyataannya, jalan menuju perbatasan itu tidak pernah mereka temui. Mereka seolah terjebak dalam labirin yang menyesatkan di dalam hutan. Mereka sudah tidak tahu lagi kemana harus mencari jalan keluar. Yang mereka lakukan hanya berharap, semoga jalan yang mereka ambil akan menuntunnya ke luar dari hutan ini.

“San, suara langkah mereka sudah tidak terdengar!” Jalu menarik lengan Sandi, memintanya agar berhenti. Nafasnya tersenggal-senggal.

Sandi menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang, memeriksa apakah dua orang lelaki itu masih mengejarnya atau tidak. Tapi di belakang mereka tanpa sunyi. Tak ada lagi suara langkah kaki yang sedari tadi berderap mengejar mereka.

“Kurasa kamu benar, Lu. Kita berhasil lolos dari pengejaran mereka.” Sandi membungkukkan badannya, merasakan letih yang tiba-tiba begitu terasa. Nafasnya pun terengah-engah seperti Jalu.

“Tapi kita di mana, San. Kita sudah jauh memasuki hutan. Kita tidak dapat menemukan jalan keluar,” kata Jalu sambil menengadah, menyaksikan sulur-sulur yang bergantungan dari dahan-dahan pohon raksasa.

“Kita pasti akan menemukan jalan keluar, Lu. Kita harus yakin.” Sandi menatap Jalu.

Jalu mengangguk. Tiba-tiba rasa permusuhan di antara mereka menguap begitu saja. Saat ini yang mereka butuhkan adalah kerjasama, dan bukan perselisihan seperti biasanya.

“Tunggu, kita bisa melihat arah lewat posisi matahari, San,” gumam Jalu. “Meski hutan ini rapat, tapi sinar matahari masih menerobos sela-sela dedaunan. Ayo kita cari posisi matahari.”

“Saat ini pasti masih tengah hari, Lu. Matahari ada di atas kita, jadi sulit sekali menentukan arah sekarang ini. Kecuali kita menunggu matahari sudah condong ke barat, baru kita bisa mengetahui posisi yang pas dari arah mata angin.”

“Tapi kita menunggu di mana?” tanya Jalu bingung.

“DI TEMPATKU SAJA!”

Brug! Sebuah cekalan kuat tiba-tiba mencengkeram kedua pundak anak itu, lalu meringkus tubuh mereka.

“WAAAAAA ……”

Sandi dan Jalu berusaha berontak, tapi cekalan itu begitu kuat. Sekuat apapun berusaha, cekalan itu tidak melonggar sedikitpun.

“Kalian tidak bisa kabur lagi!”

Kang Dahlan dan Kang Ajun menatap mereka dengan garang.

***

Sementara itu Jali dan Bima masih tersaruk-saruk menjelajah hutan. Tak ada yang tahu kemana mereka melangkah sekarang. Yang mereka tahu, jarak keduanya dengan Kang Slamet yang mengejarnya sudah jauh. Mereka yakin itu karena sering terdengar sumpah serapah orang itu dari kejauhan.

“Dimana kalian bocah-bocah gendheng?” teriakannya terdengar samar-samar. “Awas ya kalau aku berhasil menangkap kalian!”

Kang Slamet begitu marah karena kehilangan jejak Jali dan Bima. Dia pasti ketakutan akan dimarahi Kang Dahlan yang memimpin rencana pencurian prasasti itu. Anak-anak ini sudah membahayakan karena sudah mengetahui semua rencana mereka. Kalau sampai kedua anak ini berhasil lolos dan kembali ke desa, mereka bertiga akan tamat riwayatnya.

Sementara itu Jali dan Bima masih kebingungan. Meski mereka berhasil lolos, tapi tersesat di dalam Hutan Larangan bukan sesuatu yang menyenangkan. Bagaimana kalau mereka tidak pernah menemukan jalan keluar? Hutan Larangan ini luas sekali. Sepanjang pengetahuan mereka, hutan ini memanjang terus sampai ke gunung Geulis. Dan itu jauh sekali jaraknya.

“Eh, itu ada gubuk, Bim!” pekik Jali tertahan.

“Gubuk?” Bima mematung. Dia mengikuti arah yang ditunjukkan Jali. Ternyata benar, di kejauhan terlihat sebuah gubuk kecil yang sudah rusak.

“Itu pasti salah satu gubuk Kek Mahdi! Kamu ingat, Kek Mahdi pernah mengatakan dia sering berpindah-pindah tempat di hutan ini,” cerita Jali penuh semangat. “Ayo, siapa tahu ada Kek Mahdi di sana.”

“Tapi Kek Mahdi sekarang tinggal dekat rawa itu, Li.”

“Tapi sudah dua hari ini kita tidak melihatnya di sekitar tempat itu, bukan? Siapa tahu dia sedang berkeliling hutan, dan mampir ke gubuk itu.”

Gubuk itu jauh dari sederhana. Selain sudah reyot, mereka tidak menemukan apa-apa selain bangku tua yang sudah lapuk di dalamnya.

“Kita tunggu saja di sini. Siapa tahu lelaki itu tidak berhasil mengikuti kita ke sini.”

“Tapi sampai kapan kita menunggu di sini, Li?” tanya Bima bimbang. “Belum tentu Kek Mahdi akan mampir ke gubuk ini hari ini.”

Jali menatap Bima. “Aku yakin bantuan itu akan datang. Semoga Sandi atau Jalu berhasil keluar hutan dan memperoleh bantuan.”

Bima hanya mengangguk pasrah. Dia hanya berharap pertolongan itu akan datang sebelum hari gelap. Tidak dapat dibayangkan apabila mereka harus berdiam di tempat ini sampai malam tiba.

Badan Bima tiba-tiba menggigil. Bagaimanapun, ini tetap Hutan Larangan baginya.

***

Jalu dan Sandi diseret masuk ke dalam sebuah gua. Setelah itu tangan dan kaki mereka diikat kuat-kuat dengan seutas tambang plastik. Keduanya tidak bisa berkutik lagi. Dengan tangan dan kaki terikat seperti itu, keduanya hanya bisa terduduk sambil bersandar ke dinding gua.

Mereka tidak tahu di bagian hutan mana gua itu berada. Hanya saja gua itu tidak terlalu besar, tapi menjorok panjang ke dalam. Dugaan mereka, gua ini pasti tidak akan terlalu jauh dari lokasi penggalian prasasti itu. Mereka yakin karena di dalam gua itu banyak benda yang sangat mengejutkan mereka.

“Benda-benda temuan dari galian!” bisik Sandi sambil melirik Kang Dahlan dan Kang Ajun yang berdiri gelisah di ambang gua.

Jalu mengangguk. Tampaknya seperti itu. Tidak jauh dari mereka terdapat beberapa jenis barang yang masih diselimuti tanah. Kalau diperhatikan, benda-benda itu seperti gerabah terbuat dari tanah atau batu-batu yang belum terlihat jelas bentuknya.

“Benda-benda antik seperti ini memangnya berharga mahal?” tanya Jalu berbisik.

“Tentu saja, mereka yang mengoleksi benda-benda kuno berani membayar mahal untuk barang seperti ini, Lu. Buat kita mungkin benda-benda itu tidak berarti, tapi buat kolektor-kolektor itu, nilainya tinggi sekali.”

Jalu terangguk-angguk. Dia kagum Sandi mengetahui banyak tentang hal-hal seperti itu.

“Kita tidak kembali ke desa, Kang?” suara Kang Ajun terdengar keras. “Si Bos pasti marah besar kalau kita tidak ada di sana.”

“Dan meninggalkan anak-anak itu di sini tanpa pengawasan? Mereka bisa kabur, Jun.”

“Tapi mereka sudah diikat kuat.”

“Sudahlah, kita tidak perlu kembali ke desa lagi. Aku sudah menelepon Dul kalau rencana ini kita percepat. Hari ini kita harus bisa menggali batu prasasti itu, agar bisa kita bawa pas Dul menjemput nanti malam.”

“Anak-anak ini?”

“Kita biarkan saja mereka di gua ini sampai membusuk.” Kang Dahlan terbahak, membuat Jalu dan Sandi ciut. Bagaimana kalau tidak seorang pun yang akan menemukan mereka di sini? Bagaimana kalau ikatan di kaki dan tangan mereka tidak bisa lepas sehingga mereka tidak menemukan jalan pulang?

Semua sudah jelas sekarang. Kang Dahlan dan teman-temannya selama ini menyamar sebagai pekerja perbaikan jalan yang disewa oleh Pak Duyo. Sengaja mereka melakukan itu agar tidak dicurigai kalau sering berkeliaran di desa itu. Kalau tidak seperti itu, warga pasti akan curiga melihat banyak orang yang tidak dikenal keluar masuk desa ini seenaknya. Apalagi sampai berani memasuki Hutan Larangan yang dikeramatkan oleh warga desa Margasari.

Teringat hal itu Sandi menjadi geram. Pantas saja Ayahnya sering terlihat marah-marah. Kang Dahlan dan teman-temannya sering tidak ada di lokasi bekerja saat jam kerja yang semestinya. Pada malam hari pun sering terlihat mereka keluar diam-diam, dan pulang setelah larut. Sandi tahu itu karena selama mereka dipekerjakan untuk perbaikan jalan, mereka diberikan tempat tinggal di dekat rumah Sandi. Rupanya mereka sering meninggalkan tempat untuk pergi menggali di Hutan Larangan!

Sekarang rahasia itu terbongkar sudah. Sayang Ayah Sandi pasti belum menyadari kalau orang yang dipekerjakan adalah penjahat semua.

“Mereka akan membawa temuan mereka malam ini, San,” desis Jalu. “Kalau kita tidak bisa kabur dan melaporkan pada warga, mereka akan bebas begitu saja dengan barang jarahan mereka.”

Sandi mengangguk. “Tapi bagaimana kita bisa meloloskan diri dengan tangan dan kaki terikat begini?” keluh Sandi. “Bergerak saja aku susah.”

“Kita cari caranya begitu mereka pergi menggali. Mudah-mudahan kita akan ditinggalkan di dalam gua tanpa di awasi.”

Tapi harapan Jalu tidak kesampaian. Kang Dahlan dan Kang Ajun menyeret mereka ke tempat penggalian, yang ternyata tidak jauh dari gua. Karena terhalang tanaman rambat, gua itu nyaris tidak terlihat dari luar. Sebuah tempat persembunyian yang sangat bagus.

“Kalian tunggu di sini selagi kita menggali,” bentak Kang Dahlan sambil mendorong kedua anak itu jatuh terduduk di sudut tanah galian. Setelah itu dia mengikat lagi kaki Jalu dan Sandi kuat-kuat, setelah sebelumnya dibuka dulu ikatannya agar mereka bisa berjalan menuju galian. “Anak-anak bandel seperti kalian tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan. Aku tidak mau kalian mencoba-coba kabur kalau ditinggalkan di dalam gua sendiri.”

Jalu dan Sandi mengeluh diam-diam. Kesempatan mereka melarikan diri pupus sudah. Mereka tinggal berharap Jali dan Bima tidak tertangkap dan bisa mendapatkan bantuan secepatnya. Dengan lesu mereka melihat Kang Dahlan dan Kang Ajun menggali tanah di sekitar batu prasasti. Kalau siang ini mereka berhasil mengangkat prasasti itu, maka kebanggaan desa Margasari adanya peninggalan bersejarah di desa mereka akan hilahg. Tak ada lagi bukti sejarah kalau dulunya di desa ini pernah ada tanda kekuasaan sebuah kerajaan.

Jalu menggerakan tangan yang terikat di belakang punggungnya. Ikatan itu terlalu kuat. Dia merasa kesakitan ketika pergelangan tangannya malah lecet akibat gesekan tambang plastik itu.

“Cari batu tajam di sekitar kita, Lu,” bisik Sandi sambil mencondongkan badannya ke arah Jalu. Dia tidak ingin bisikannya pun terdengar kedua lelaki itu. “Kita bisa menggunakan ujungnya yang runcing untuk memotong ikatan ini.”

Jalu mengangguk. Matanya bergerak cepat menyisir setiap jengkal tanah di sekitarnya, berharap ada batu berujung runcing yang bisa membuka ikatan tangannya.

Sementara itu waktu begitu cepat bergulir. Matahari mulai condong ke arah Barat tanpa mereka sadari. Hutan mulai semakin gelap. Sinar matahari semakin sulit menerobos dedaunan, meninggalkan suasana temaram di sekitar mereka. Dalam beberapa saat lagi, hutan ini akan semakin gelap seiring malam yang semakin turun.

Jalu dan Sandi duduk semakin gelisah. Mereka tidak menemukan batu runcing atau benda apapun di dekat mereka. Dengan lesu mereka melihat pekik kegembiraan dua lelaki di hadapan mereka.

“Berhasil!! Akhirnya kita bisa menggali batu ini semua.” Kang Dahlan tertawa puas.

“Kita angkut batu ini ke gua sekarang?” tanya Kang Ajun yang wajahnya berleleran keringan.

“Jangan, nanti saja. Kita tidak akan sanggup mengangkat batu ini berdua. Kita tunggu kedatangan Dul dan yang lainnya saja nanti malam.” Kang Dahlan menepiskan tanah yang menempel di tangannya. “Ngomong-ngomong, si Slamet kemana, ya? Heran, mengejar dua bocak cilik saja nggak beres-beres.”

Jalu dan Sandi berpandangan penuh harap. Kalau Kang Slamet belum kembali ke lokasi penggalian, berarti dia belum berhasil menangkap Jali dan Bima. Harapan untuk selamat kembali tumbuh dalam hati mereka.

Tapi dimanakah mereka? Apakah mereka selamat, atau malah tersesat?

***

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 9”

Tinggalkan komentar