Mulai Nasi Megono hingga Lopis Raksasa

Fathan bingung. Ia diminta Eyang menemani sepupunya, Athar dan Dafin, selama berlibur di Kota Pekalongan. Eyang ingin Fathan membuat mereka berdua kerasan. Mereka sempat enggan ikut mudik lebaran karena tahun lalu kena rob setinggi mata kaki saat menginap di rumah Eyang. Koper mereka beserta isinya basah.

Tahun ini Athar dan Dafin beserta ayah ibunya datang saat hari ketiga setelah lebaran usai untuk menghindari kemacetan jalan. Rencananya mereka hanya menginap selama dua malam. Pekerjaan ayah mereka tak bisa terlalu lama ditinggalkan. Ibunya Athar dan Dafin adalah adik ibunya Fathan. Selama ini Fathan beserta ayah ibunya tinggal bersama Eyang untuk menemani Eyang. Maklum, usia Eyang sudah menjelang tujuh puluh lima tahun.

Eyang sangat senang mendengar cucu-cucunya hendak datang.  Bagaimana caranya membuat Athar dan Dafin kerasan sesuai pesan Eyang? Aha! Fathan ada ide. Ia akan mengajak mereka jalan-jalan. Ia segera menyusun rencana dan meminta ayahnya untuk mengantar dan menemani nanti.

“Fathan, robnya masih sering datang, ya?” tanya Athar sesaat setelah tiba.

“Enggak lagi, dong. Sudah dibangun tanggul besar di tepi laut. Kita besok jalan-jalan ke sana, yuk,” jawab Fathan.

Keesokan paginya, selepas Subuh, mereka bertiga ditemani ayahnya Fathan berjalan kaki ke arah pantai menuju ke tanggul raksasa. Wah, tanggul penahan gelombang itu ternyata lebar dan tinggi. Menyusurinya membuat tubuh berkeringat dan perut keroncongan. Saat berjalan pulang Athar tertarik dengan beberapa orang yang berjualan nasi megono dan tempe mendoan di pinggir jalan. Pagi sekali mereka sudah buka.

“Aku kangen sarapan nasi megono dan tempe mendoan. Belum sah rasanya kalau sudah tiba di Pekalongan tetapi belum sarapan dengan menu itu,” kata Athar.

“Terakhir kemari, Kakak habiskan semua sampai aku enggak kebagian,” keluh Dafin.

“Kita beli banyak saja agar kebagian semua,” sahut Fathan menenangkan.

Megono memang sayur khasnya orang Pekalongan. Bahannya dari nangka muda yang dicincang kasar, udang rebon, kelapa parut, daun salam, dan bumbu-bumbu. Semua dikukus bersamaan. Pelengkapnya tempe mendoan. Bahannya terdiri tempe yang dari awal pembuatannya sudah dibungkus tipis dengan daun pisang dan tepung bumbu khusus. Sayur megono yang dimakan dengan nasi hangat dan tempe mendoan rasanya sungguh istimewa. Tak heran kalau Athar dan Dafin menambah porsi sarapannya.

Selesai sarapan dan mandi, Fathan mengajak mereka berdua jalan-jalan ke Museum Batik Pekalongan. Pekalongan memang terkenal sebagai Kota Batik. Mereka berdua baru tahu bahwa museum itu dekat dengan rumah Eyang, Mereka asyik melihat-lihat koleksi batik, bahkan ikut mencoba membatik.

Batik Pekolangan memang berbeda motifnya dengan daerah lain. Kebanyakan motifnya berpadu dengan budaya Tionghoa. Warnanya lebih menyolok, terang, dan berani.

Fathan lalu mengajak mereka berdua melihat Pasar Batik Setono. Wah, pasar batik itu luas. Harganya juga terjangkau. Ada yang menjual asesoris juga. Mereka membeli baju tidur batik dan gantungan kunci.

Hari sudah siang. Ayahnya Fathan mengajak mereka makan di soto taoco di Jalan Kurinci.

“Ini juga khasnya Kota Pekalongan,” kata Fathan.

“Betul. Belum sah tiba di Pekalongan kalau belum makan soto taoco,” imbuh Dafin.

Mereka berempat duduk dengan nyaman di pojokan. Masing-masing memesan semangkok soto dan segelas es jeruk. Soto itu khas rasanya karena ada taoco yang membuat warna kuahnya merah oren dan berasa asam. Bahan isiannya bisa memilih, daging sapi atau jerohan. Hanya tiga puluh menit, semuanya habis tak bersisa.  Mereka pun memutuskan pulang.         Dalam perjalanan, tiba-tiba Athar berseru. Ia melihat sesuatu berbentuk panjang dibungkus daun pisang dan diikat tali dijual di pinggir jalan.

“Stop! Mereka menjual apa?”

“Itu lopis, Athar,” jawab Fathan.

“Aku penasaran,” sahut Athar.

“Bukannya tadi pagi sudah disiapkan di meja makan?” kata Fathan keheranan.

“Oh, ya? Tadi pagi aku belum sempat mencicipinya. Kalau begitu kita segera saja pulang,” kata Athar bersemangat.

Tiba di rumah Eyang, Dafin dan Athar berebut menuju ke meja makan. Sayang sekali lopisnya tinggal sebungkus. Kata Eyang, hari ini banyak tamu datang. Lopisnya untuk suguhan.

Athar dan Dafin berebut sampai-sampai Fathan menengahinya.

“Lopisnya dipotong-potong saja, terus dibagi dua,” saran Fathan.

“Kurang,” keluh Dafin.

“Besok kalian kuajak saja ke Krapyak. Kalian boleh makan lopis sekenyangnya di sana,” kata Fathan.

“Memangnya besok ada acara apa di sana?” tanya Athar penasaran.

“Perayaan Syawalan. Ada Festival Lopis Raksasa!” kata Fathan sambil mengerling.

“Sebesar apa? Apa kita bisa mencicipinya?” tanya Dafin.

“Ah, lihat saja sendiri. Lopis raksasa itu nanti dipotong-potong. Kita akan kebagian kalau ikut,” jawab Fathan.

“Wow! Ikuuut!” seru Dafin dan Athar bersamaan setelah membaca selebaran yang disodorkan Ayah.

            Keesokannya Athar, Dafin, dan Fathan sudah rapi dan wangi sejak pagi. Setelah berpamitan, mereka pun berangkat diantar Ayah.

Suasana sudah ramai ketika mereka tiba. Meskipun demikian, orang-orang yang datang tetap tertib karena acara akan dibuka oleh Walikota Pekalongan. Athar dan Davin mendekat ke tenda acara karena penasaran. Fathan mengikutinya.

Mereka takjub. Lopis itu sangat besar. Dari orang-orang di sekitar mereka jadi tahu bahwa lopis itu beratnya 2 ton lebih. Tingginya 2,5 meter, diameter 80 sentimeter. Kelilingnya 2,5 meter. Perlu waktu 2 hari 2 malam untuk proses pembuatannya. Bahan dasarnya beras ketan yang dimasukkan ke cetakan beralas daun pisang. Pengerjaannya dilakukan bergotong royong mulai dari anak-anak sampai kakek nenek. Sesuai filosofi lopis yang lengket, merekatkan persatuan dan kesatuan warga.

Seusai sambutan Walikota, lopis itu pun dipotong-potong untuk dibagikan kepada yang hadir. Warga berebut mendekat untuk memperoleh potongannya. Untunglah Athar, Davin, Fathan, dan Ayah mendapat bagian. Mereka segera menyingkir untuk memberi kesempatan yang lain. Mereka menambahkan kelapa muda parut dan gula merah cair di atas potongan. Hmm. Lezat rasanya.

“Apakah sudah puas makan lopisnya?” tanya Ayah.

“Sudah kenyang, Pakde. Enaak, tetapi Athar masih ingin beli lopis yang dijual di pinggir jalan,” sahut Athar sambil mengelus perutnya.

“Lho, katanya kenyang tetapi kok masih mau beli,” sahut Fathan geli.

“Buat oleh-oleh yang di rumah. Ada Eyang, Budhe, Ayah, dan Ibu yang belum kebagian,” kata Athar.

“Oh, benar juga,” kata ayahnya Fathan sambil mengacungkan jempol.

“Sekalian kalau Kak Athar dan Dafin ingin makan lagi, bisa ambil lagi. Itu maksudnya, ‘kan?” kata Dafin sambil tertawa.

“Hehehe … iya. Aku senang jalan-jalan di Pekalongan. Ayo kita cari penjual lopis di pinggir jalan,” sahut Athar bersemangat.

Tawa mereka pun berderai. Lopis raksasa benar-benar merekatkan kebersamaan di antara mereka.

#Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024.


Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “Mulai Nasi Megono hingga Lopis Raksasa”

Tinggalkan komentar