“Helo gais, mai nem is Kristina. Yu ken koll mi Kris. Nais tu mit yu.” Aku sempat terkekeh waktu mendengar namanya Keris, hihi. Begitulah kata yang kudengar dari teman baruku ini. Kami sekelas sempat terpukau dengan kulitnya yang sangat putih dan rambutnya yang pirang. Kata bu Endah, temanku ini pindahan dari Australia, bapaknya sedang jadi konsultan minyak di daerah kami. Jadi, sementara waktu ia bersekolah di sini sebelum kembali ke negaranya.
Bu Endah lalu menempatkannya duduk bersebelahan denganku. Aku kaget sekali sekaligus bingung. Ia segera menghampiriku lalu menyapaku, “Mei ai hev e sit?” katanya padaku. “Noo.. bukan Mei, sekarang April,” jawabku sekenanya. Teman-teman sekelasku langsung mentertawaiku sampai terbahak-bahak. Aku jadi tambah bingung. Rani yang duduk di depanku lalu berkata bahwa si Keris sedang bertanya apa ia boleh duduk di sana. Aku pun hanya tersenyum melihat Keris dan menyuruhnya duduk.
Kesokan harinya ia mencoba berbincang denganku. Ia lalu bertanya, “What is your name?” Kalau ini aku bisa jawabnya, pikirku senang. “My name is Rudi. Call me Rud,” jawabku lagi.
“Oh …? “ ia seperti tampak heran mendengarnya. Namun aku cuek saja.
Setelah itu ia tidak banyak bicara lagi kepadaku, aku juga lebih suka memakai bahasa isyarat untuk bicara dengan Keris. Namun karena kami ada tugas dalam pelajaran bahasa, Aku yang tidak bisa bahasa Inggris mau tidak mau harus belajar dan mengajari bahasa Indonesia. Karena tugas kami yaitu untuk bercerita singkat dalam bahasa Inggris, dan satu lagi yaitu untuk berpidato dalam bahasa Indonesia.
Mula-mula, aku mulai membawa kamus Indonesia-Inggris dan percakapannya. Sesekali Keris menuliskan apa yang ia ucapkan padaku. Aku pun baru tahu ejaan nama panggilan si Keris ternyata ‘Christ’. Tapi karena logat Indonesia-ku, tetap saja ia kupanggil Keris, hehehe.
Kami pun segera menjadi akrab, sedikit-sedikit aku mulai tahu apa yang Keris bicarakan. Aku juga banyak mengajari Keris bahasa Indonesia dan pelafalannya. Karena mengajari bule bicara bahasa Indonesia, aku jadi merasa sangat pintar. Aku bahkan jadi terpikir untuk jadi pemandu wisata suatu saat nanti.
Saat pelajaran bahasa Inggris, Keris sangat lancar bercerita karena memang itu adalah bahasa ibu baginya. Di saat giliranku untuk bercerita, aku sempat ragu. Namun Keris menyemangatiku, “You can do it, Rud,” katanya. Aku lalu bercerita tentang kisah Malin Kundang dalam bahasa Inggris, “Once upon a time, on the north coast of Sumatra lived a poor woman and his son. The boy was called Malin Kundang …”
Saat pelajaran bahasa Indonesia, giliran Keris yang merasa gugup. Namun Keris ternyata lebih bisa cepat tenang dibandingkan aku tadi. Selesai ia berpidato aku pun memuji keberanian Keris, “Good Job, Keris,” kataku. Ia tersenyum dan membalas “ thank you, Rud. I think you are a very good friend, not rud.” aku pun membuka kamus kembali. Aku berusaha menerjemahkannya, Keris berkata kalau aku itu teman baik tapi bukan Rud, aduh aku gak ngerti. Rani yang dari tadi menyimak percakapan kami lalu memberitahuku.
“Itu karena kamu nyuruh si Keris manggil kamu Rud. Rud kalau dibaca jadi kayak Rude yang artinya kasar, “
“Ohhh…” kataku panjang. Pantas di awal dulu ia diam saja. Berarti ia diam selama ini karena mengira aku anak yang kasar. Duh, malunya aku.