Naomi Teman Kami

Oleh : Zahrotul Jannah

Naomi mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Terlihat sekelompok anak-anak seusianya berlarian ke mushola dekat rumahnya. Para anak perempuan memakai mukena warna-warni. Ada yang bergambar bunga, kartun, atau yang lainnya. Sementara yang lelaki memakai peci dan sarung. Mereka semua membawa juzz ‘amma di tangan.

Cahaya senja menyinari wajah ceria mereka. Tawa dan canda mengiringi langkah-langkah kecil itu. Ini pemandangan yang indah bagi Naomi. Ia ingin sekali bergabung bersama mereka, tapi tidak berani meminta ijin pada ibunya.

“Mae, kamu tahu nggak siapa nama anak yang baru pindah itu?” tanya Siti saat sedang mengantri ngaji di mushola.

“Tahu. Namanya Naomi, dia sekelas dengan aku.”

“Kok, nggak pernah keluar rumah, sih?”

“Iya, dia emang anaknya pemalu.”

“Besok kita ajak ke acara halal bi halal, yuk?”

“Ide bagus.”

Seusai pulang sekolah, Mae dan Naomi berjanjian pulang bersama dengan Siti yang berbeda kelas. Mae dan Naomi kelas 3 SD. Sementara Siti kelas 5. Jadi, pulanganya lebih siang.

“Naomi, kenapa sih, kamu, kok, di rumah terus?” tanya Mae sambil berjalan beriringan bersama Siti dan Naomi.

“Nggak papa,” jawab Naomi seraya menunduk melihat jalanan.

“Nggak usah malu-malu, ayo main bareng kita. Nanti aku kenalin ke teman-teman yang lain,” ujar Siti.

“Memangnya boleh?”

“Ya, bolehlah!” Siti dan Mae menjawab serentak.

Naomi pun tersenyum hingga memperlihatkan barisan giginya yang rapi.

“Eh, nanti malam ada acara halal bi halal di mushola. Kamu ikut, ya?”

“Wah, aku ingin sekali ikut, tapi Mama tidak mau ke mushola.”

Mae dan Siti saling pandang mendengar jawaban Naomi.

“Kenapa?” Mae tak bisa menahan rasa penasarannya. Naomi hanya menggeleng.

“Nanti aku bantuin minta ijin, deh,” ujar Siti. “Seru lho acara halal bi halal. Ada banyak makanan enak. Semua orang di kampung akan datang, jadi ramai sekali. Oh, ya! Yang terpenting biasanya Pak Lurah akan memberikan angpao untuk anak-anak kampung. Kan, lumayan buat beli jajan.” Wajah Siti berbinar-binar menceritakannya.

“Wah, seru sekali sepertinya.”

“Tentu saja. Ikut ya, Naomi?”

“Aku coba rayu Mama, deh. Semoga dia mengijinkan. Oh, ya. Apa nanti juga harus pakai pakaian panjang dan berjilbab?” Naomi ingin tahu.

“Tentu saja!”

Naomi berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk mengerti.

“Nanti kita tunggu di mushola, ya. Ibu kamu pasti ijinin, kok.”

Saat malam tiba, Mae, Siti, dan teman-teman yang lain menunggu Naomi di depan mushola. Mereka semua nampak cantik dan tampan mengenakan baju lebaran.
Orang-orang mulai berdatangan memenuhi mushola. Sementara para panitia mulai merapikan beberapa meja tempat meletakkan takir atau makanan yang disediakan untuk para pengunjung.

Tak lama kemudian, Naomi keluar dari rumah dan menuju mushola menemui teman-temannya. Ini pertama kalinya Naomi pergi ke mushola sejak pindah beberapa hari yang lalu.

Teman-teman menyambut Naomi dengan gembira. Mereka nampak senang karena Naomi datang. Meski mereka tidak tahu bagaimana cara Naomi meyakinkan ibunya dan mendapat ijin.

Naomi mengenakan kaos lengan panjang yang dipadukan dengan celana jins panjang. Ia juga mengenakan jilbab walupun sebenarnya terlihat agak aneh.

“Jilbab Naomi agak lain, ya?” bisik seorang teman laki-laki.

Sepertinya Naomi menyadari teman-teman yang memperhatikannya. Ia ragu-ragu saat hendak masuk ke mushola.

“Tidak apa-apa. Ayo! Nggak usah urusin anak laki-laki yang suka jahil.” Mae mencoba meyakinkan.

Namun, belum sempat mereka semua masuk dan memulai acara, terdengar suara seorang wanita memanggil nama Naomi. Mereka semua menoleh.

“Mama, ada apa?” tanya Naomi yang mendekat pada ibunya.

Mae dan kawan-kawan nampak khawatir kalau ibu Naomi akan marah. Mereka saling menyikut satu sama lain.

“Maaf, ya, teman-teman. Naomi pulang dulu. Tidak bisa ikut di acara kalian,” kata ibu Naomi. “Ayo, Naomi!” Ibu Naomi menarik pelan tangan Naomi.
Naomi diam saja, tapi bibirnya cemberut dan matanya memerah. Dengan sangat terpaksa, ia pulang menuruti ibunya.

Mae dan teman-teman juga sangat kecewa karena Naomi tidak jadi ikut halal bi halal. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

***
“Bu, aku mau nanya, deh?” Mae mendekati ibunya yang sedang duduk di teras rumah.

“Nanya apa?”

“Kenapa, ya, keluarga Naomi itu nggak pernah mau pergi ke mushola?”

“Naomi siapa?”

“Itu, lho, yang baru pindah beberapa hari yang lalu. Yang rumahnya cat ijo deket mushola.”

“Oh, keluarga Pak Antonius?”

“Jadi nama ayahnya Antonius?”

“Iya.”

“Kemarin, kan. Kita ajak Naomi ke mushola buat ikutan acara halal bi halal. Dia udah dateng, eh, disusulin ibunya suruh pulang.”

Ibu Mae tersenyum mendengar penuturan anaknya.

“Terus, ibunya marah nggak?”

“Waktu itu, nggak sih, Bu. Tapi kita nggak tahu kalau di rumah Naomi dimarahin atau tidak. Kasihan dia, cuma mau main sama temen-temen masa nggak boleh.”

“Bukannya nggak boleh main sama teman-teman, tapi memang dia tidak perlu pergi ke mushola.”

“Loh, kenapa?”

“Soalnya keluarga Naomi itu agamanya kristen, Nak.”

“Oh ….” Mulut Mae membentuk huruf o yang lebar. “Pantas saja, mereka nggak pernah ke mushola. Ibunya juga nggak pernah pakai jilbab. Terus,”

“Terus apa?”

“Waktu ke mushola kemarin, Naomi pakai kaos panjang sama celana jins. Kayaknya dia nggak punya baju muslim, deh. Jilbabnya juga aneh, kata temenku kayak taplak meja.”

“Mungkin dia memang tidak punya.”

“Jadi, kita nggak boleh temenan sama Naomi ya, Bu? Kan, agama kita berbeda.”

“Boleh, dong. Kalau temenan sama siapa saja boleh. Walaupun berbeda agama, suku, bahkan negara. Yang nggak boleh itu temenan sama orang jahat.”

“Oh, jadi nggak papa.”

“Iya.”

“Memangnya kalau orang kristen nggak boleh ke mushola ya, Bu?”

“Ehm ….” Ibu Mae nampak berpikir. “Nanti kamu tanya sama Pak Ustaz aja, deh. Biar jelas jawabannya.”

“Oke, Bu!” Mae tersenyum puas mendengar penjelasan ibunya.

(Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba cipta cerpen anak PaberLand 2024)

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Naomi Teman Kami”

  1. Menarik. Tema toleransi yang sangat bagus.
    Cuma, sedikit aneh saja, anak kristen mengetahui Juz ‘Amma. Dengan mengintip dari balik jendela, Naomi harusnya tidak akan begitu jelas melihat “buku asing” dalam genggaman tangan teman2nya yang berada agak jauh di luar. 🙏

    Balas

Tinggalkan komentar