Si Itik Buruk Rupa
Kata almarhum Nenek, semua anak perempuan itu cantik. Sayangnya Nenek salah, karena aku tidak cantik. Kata orang-orang, aku tidak mirip Mama, Papa, Kak Beryl, maupun Kak Ayu. Mereka cantik dan tampan, serta berkulit putih. Hanya aku yang berwajah biasa saja dan berkulit sawo matang.
Aku bagaikan cerita dongeng. Si itik buruk rupa yang tinggal bersama keluarga angsa.
Bagian #1
JANGAN PANGGIL AKU, BUNNY!
Hai, namaku Nasha Razeta. Usiaku 12 tahun dan duduk di kelas enam sekolah dasar. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku, Beryl Hamizan kuliah tingkat dua di sebuah kampus ternama. Sedangkan kakak keduaku, Carissa Ayu masih duduk di kelas sebelas SMA. Kalau ditanya bagaimana hubungan aku dengan kedua kakakku, enggak tahu, deh. Yang aku ingat, waktu kecil aku sering banget diganggu Kak Beryl.
Seperti pagi itu, ketika Mama dan Papa sedang tugas ke luar kota. Aku masih TK, Kak Beryl kelas enam dan Kak Ayu kelas tiga SD. Saat menunggu datangnya mobil jemputan yang akan mengantar kami ke sekolah itulah Kak Beryl mulai berulah.
“Halo, Bunny-ni-ni-ni!” Kak Beryl bersenandung sambil mengikat tali sepatu ketsnya. Mata hitamnya mengerling jail ke arahku. Uh! Aku paling tidak suka dipanggil Bunny.
“Bukan!” Aku protes. “Namaku, Nasha, bukan Bunny!”
Kak Ayu yang duduk di sampingku hanya diam. Ia sibuk mengunyah roti selai cokelat. Lalu cepat-cepat menyeka ujung bibirnya yang berlepotan cokelat. Ia sama sekali tidak terganggu dengan keberisikan yang terjadi antara aku dengan Kak Beryl.
Selesai memakai sepatu kets, Kak Beryl mulai mengacak-acak poniku. Jelas saja aku menangis. Tidak terima poniku yang sudah disisir rapi Bi Inah malah dirusak.
Untunglah, Bi Inah datang. Ia memeluk dan mengusap kepalaku dengan lembut.
“Kak Beryl, jangan gangguin Nasha terus. Nanti Bibi aduin Mama, lho.” Bibi menegur, sambil merapikan rambutku yang berantakan.
Kak Beryl memasang tampang cemberut. “Ah Bibi, jangan ngadu-ngadu, dong!”
Beberapa kali Kak Beryl dihukum Mama ketika ketahuan menggodaku, tetapi ia tidak pernah kapok. Setiap ada kesempatan, ia selalu berulah. Sebaliknya, Kak Ayu, ia memang tidak pernah mengganggu, tetapi juga tidak pernah membela. Sikapnya selalu cuek. Begitulah hubungan persaudaraan antara aku dan kedua kakakku.
Kupikir nanti saat lebih besar, Kak Beryl akan sibuk dengan dunianya, dan berhenti mengganggu. Nyatanya sampai sekarang, walau sudah kuliah, kakakku itu tidak pernah berubah.
“Halo, Bunny! Lagi baca apa?”
Kak Beryl tiba-tiba duduk di sampingku. Duh! Lebih baik aku menghindar, sebelum kakakku mulai melancarkan keisengannya. Namun, belum sempat aku bangkit dari sofa, tangan Kak Beryl menahanku berdiri.
“Ih, Kak Beryl, lepasin, dong!”
Bukannya melepas tangannya, Kak Beryl malah memencet hidungku. “Makanya kalau ditanya itu jawab!”
Aku memajukan bibir sebagai tanda protes. “Makanya, panggil aku, Nasha!”
Kak Beryl tertawa lebar hingga terlihat jelas gigi-gigi gerahamnya. Seperti biasa, ia tidak lupa mengacak poniku.
“Kak Beryl!” Aku berteriak dengan mata memelotot.
“Bunny lucu kalau lagi melotot.” Kak Beryl terkekeh sambil mengedipkan sebelah mata. Aku mencubit lengannya, yang dibalas dengan gerakan Kak Beryl merebut buku yang ada di tanganku. Setelah itu, ia lari menuju tangga.
“Kak Beryl, sini bukunya, Nasha lagi baca!”
Aku berteriak sambil mengejar. Tahu dikejar, Kak Beryl makin cepat berlari. Ia menaiki tangga dan buru-buru masuk ke kamarnya. Tepat saat aku tiba di depan pintu kamarnya, terdengar suara kunci diputar. Dengan kesal, aku menggedor pintu.
“Kak! Kak Beryl, buka!”
Kak Ayu keluar dari kamarnya. Kamar kami bertiga ada di lantai dua. Kamarku dekat tangga, kamar Kak Beryl di sudut dekat kamar mandi, dan kamar Kak Ayu ada di antara kamarku dan kamar Kak Beryl.
“Nasha, berisik banget, sih!” Kak Ayu yang berwajah penuh olesan putih bertolak pinggang. Aku mengerutkan kening. Heran, rajin amat sih, Kak Ayu tiap hari maskeran. Tapi apa karena itu ya, wajahnya mulus, sementara wajahku beruntusan.
“Itu, buku Nasha diambil Kak Beryl.”
Aku kembali memanggil kakak laki-lakiku. Ih, aku tambah sebal saat mendengar tawa dari dalam kamar. Aku memutar handel pintu, tapi sebelum aku mendorongnya, pintu itu sudah terbuka. Wajah kakakku muncul dari balik pintu.
“Dar!”
Aku menerjang Kak Beryl, langsung menggelitik perutnya. “Mana, bukuku, mana?”
Kakakku berkelit dan buku yang dikempitnya jadi jatuh ke lantai. Buru-buru, aku memungutnya.
“Makanya, kalau ditanya, jawab!” ujar Kak Beryl cuek. Ia mengempaskan tubuh di ranjang.
“Habis manggilnya Bunny, bukan Nasha. Emangnya aku kelinci!” protesku, kesal.
“Kelinci itu lucu. Kamu juga lucu. Ya, jadi cocok dipanggil Bunny karena sama-sama lucu.” Kak Beryl menjawab santai. Sekejap aku terdiam. Tetes-tetes bening mengalir tanpa mampu dicegah. Aku tidak mau disamakan dengan kelinci. Mentang-mentang gigi depanku besar-besar seperti gigi kelinci.
“Ah, Bunny nggak asyik. Gitu aja nangis.” Kak Beryl terlihat tidak enak hati. Namun, aku sudah terlalu sedih. Secepat kilat, aku keluar kamar. Hampir saja aku menabrak tubuh Kak Ayu yang berdiri di depan pintu.
“Nah lho, Kak Beryl. Mewek, deh, Tuan Putri!” Kak Ayu ikut berkomentar dengan wajah menahan senyum.
Huft, Kak Ayu juga sama menyebalkan seperti Kak Beryl. Aku mempercepat langkah menuruni tangga. Jika sedang kesal atau sedih, aku suka ke dapur. Mencium aroma masakan selalu berhasil menghilangkan suasana hati yang muram.
Terima kasih PaberLand sudah menayangkan cerbung karya saya ?