Bagian #15
ARTI KEBAHAGIAAN
Waktu tersisa tinggal 60 menit. Teriakan memberi semangat terdengar memenuhi galeri. Aku menoleh ke kursi para pendukung, dan memberikan jempol.
Aku melirik Tom yang bekerja rapi dan efisien. Benar kata Katrina, kemampuan Tom di atas kami. Tetapi, aku tidak mau kalah. Baik aku dan Tom berusaha memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Kami telah berjanji akan memberi hidangan terbaik. Hingga tanpa terasa, waktu sudah berjalan selama 120 menit. Terdengar bunyi bel tanda waktu telah habis. Aku dan Tom sama-sama mengangkat kedua tangan.
**
Saat penilaian tiba. Masa yang paling mendebarkan. Para juri telah bersiap di ruang khusus untuk mencicipi hasil masakan kami, dan memberikan penilaian. Secara bergantian, aku maupun Tom akan mempresentasikan masakan kami ke para juri. Entah siapa yang akan dipanggil oleh juri lebih dulu, aku atau Tom, yang kurasakan tetap sama, gugup.
“Nasha Razeta!”
Suara Kakak Panitia terdengar lantang memanggil namaku. Ini dia waktunya! Aku menelan ludah. Kembali jantungku berlompatan tidak karuan. Aku mulai melakukan sugesti positif, untuk menguatkan diri.
Tenang, Nasha! Ini masakan yang kamu olah dengan sepenuh hati. Kamu sudah lakukan yang terbaik. Ayo, Nasha, kamu pasti bisa!
Aku mengembuskan napas. Lalu, dengan mantap, kudorong troli memasuki tempat para juri menunggu. Di dalam ruang, ketiga juri telah duduk di kursinya masing-masing dengan pembawaan khas mereka. Chef Arjuna duduk santai, dengan gaya bersedekap, wajahnya jutek seperti biasa. Chef Budi tersenyum kebapakan, sedangkan Chef Melinda duduk anggun. Wajah cantiknya tampak bersahabat.
Seorang panitia membantu meletakkan sajian yang kubawa di meja para juri. Aku juga ikut membantu. Setelah semua makanan telah tersaji di atas meja, aku kembali berdiri menunggu intruksi.
“Halo, Nasha. Bagaimana perasaan kamu sekarang? Pasti gado-gado, ya. Tapi, satu pesan saya, kamu harus bangga dengan pencapaianmu saat ini. Lihat, Nasha Razeta berhasil masuk babak grand final. Siapa menyangka, anak perempuan yang suka menahan tangis dan sering gugup ini bisa melaju pesat hingga ke posisi saat ini. Artinya kamu memang layak, Nasha! Pertahankan dan tetap jaga semangat. Nasha bisa, kan?”
Ucapan Chef Melinda kubalas dengan anggukan dan senyum lebar. Selanjutnya giliran Chef Arjuna. Seperti biasa, cara bicara juri satu itu tegas dan tanpa basa-basi.
“Baik, tanpa berlama-lama, silakan presentasikan masakan kamu. Buat kami bangga dan bahagia saat mencicipinya, oke?”
Aku kembali mengangguk. Perlahan, aku mulai menjelaskan satu per satu masakan yang kupilih untuk disajikan di grand final ini. Aku akan tetap mempertahankan ciri khasku yang suka memasak makanan rumahan.
Dimulai dari hidangan pembuka, aku membuat fruit salad dengan tambahan jelly. Perpaduan rasa manis, asam dan gurih, bercampur tekstur lembut, kenyal dan padat memberi sensasi tersendiri untuk lidah. Buah yang kupilih untuk menjadi isian salad adalah jeruk, apel, anggur dan stoberi. Aku bisa melihat ketiga juri menikmati salad buah yang kusajikan. Bahkan Chef Melinda terlihat tersenyum dan mengangguk puas. Sebuah pertanda baik.
Untuk hidangan utama, di piring saji tertata rapi potongan wortel, buncis dan kentang yang aku tata sejajar dengan potongan bistik lidah. Aku sengaja memilih mengeluarkan resep andalan dari Nenek, sebagai persembahan untuk guru pertama memasakku.
“Menu ini yang dulu kamu bawa saat seleksi awal, kan?” Tak kuduga Chef Budi ingat menu yang dulu kubuat. Aku mengangguk.
Terakhir, aku membuat hidangan penutup dari camilan tradisonal, berupa kolak yang kukreasikan secara modern. Kolak memiliki ciri khas kuah santan sebagai penyatu semua rasa. Aku memadukan lime jelly, banana jelly, pisang karamel, ubi, coconut cream, coconut crumble, popping candy dan tape ketan dalam olahan kolak yang kubuat.
Setelah presentasiku selesai, ketiga juri mulai mengajukan berbagai pertanyaan. Semua berhasil kujawab dengan lancar. Waktuku pun habis. Giliran Tom yang masuk untuk dinilai.
**
Usai Tom selesai presentasi dan dinilai, kami diminta menunggu hasil rembukan para juri. 30 menit kemudian, ketiga chef memasuki galeri untuk membacakan nilai.
Tepukan membahana disertai teriakan dari kursi penonton memeriahkan suasana saat ketiga juri berdiri di depan untuk menyampaikan penilaian. Aku menarik-embuskan napas, mengusir kegugupan. Tanganku terasa basah. Suhu di ruangan jadi terasa begitu dingin.
Satu per satu juri kemudian membacakan skor nilai di setiap menu, sehingga total nilai untukku 820. Sedangkan Tom mendapat total nilai 830. Otomatis dengan nilai tersebut, Tom berhak mendapatkan trofi juara Junior Chef. Melihat kiprah Tom, kurasa ia memang layak menjadi juara satu.
Berakhir sudah kompetisi masak Junior Chef. Aku sangat bersyukur bisa ikut kompetisi ini. Bukan hanya bertambah teman dengan hobi yang sama, pengalamanku pun bertambah. Aku juga banyak mendapatkan ilmu-ilmu yang diberikan para mentor, dan tiga chef juri. Selain itu, tantangan-tantangan di galeri juga melatih mentalku, serta keterampilan masakku pun meningkat.
“Selamat, Tom!” Aku mengucapkan selamat pada Tom atas kemenangannya. Anak laki-laki yang baik hati itu tersenyum.
“Kita semua juaranya, Nasha! Karena kita sanggup menghadapi semua tantangan.” Kata-kata Tom sangat bijak. Aku bersyukur ikut kompetisi masak ini.
Chef Budi menghampiriku. “Tetap semangat, Nasha. Saya selalu percaya kamu bisa menjadi chef hebat dengan terus menjaga ciri khas kamu, memasak menu nusantara. Saya sungguh bangga padamu.” Ucapan Chef Budi terdengar begitu tulus. Aku teringat kata-kata Katrina, yang bilang kalau aku kontestan kesayangan Chef Budi. Mungkin karena kami sama-sama suka memasak menu kuliner nusantara.
Chef Melinda memelukku erat. Sama seperti Chef Budi, ia memberiku semangat untuk terus menjaga warisan kuliner Indonesia. Terakhir, Chef Arjuna. Ia tersenyum begitu lebar.
“Dibanding saat kamu pertama kali masuk ke galeri, sekarang kamu sudah sangat jauh berubah. Dari segi emosional, Nasha sudah lebih kuat dan bisa menahan diri. Dari kemampuan masak, terjadi peningkatan yang pesat. Selamat, ya! I’m proud of you!”
Kompetisi pun telah usai. Mama, Papa, Kak Beryl, dan Kak Ayu bergegas menghampiriku. Mereka kompak menghibur dan menyemangati. Mama memeluk erat.
“Kamu tetap juara di hati kami, Nasha.”
Kak Beryl dan Kak Ayu juga memeluk penuh kehangatan. Walau tidak seekspresif yang lain, kutahu Papa juga memberi dukungan. Aku tersenyum sangat lebar. Inilah keluargaku, tempat aku kembali. Aku benar-benar kangen aktivitasku yang dulu. Terbayang sudah rumah, kamar dan dapur kesayanganku.
“I’m home.”