Bagian #3
PERCAYALAH PADA KEMAMPUANMU SENDIRI
Di sekolah, karena sering membawa bekal masakan sendiri, teman-teman jadi tahu kalau aku bisa memasak. Bahkan, sampai ada yang minta diajari. Makanya, hari Sabtu saat libur sekolah, tiga temanku datang ke rumah. Kami akan praktik memasak pizza. Aku sudah minta Bibi untuk menyiapkan bahan-bahan di dapur. Namun, saat kami masih asyik mengobrol di ruang tamu, kedua kakakku turun dari lantai dua.
Kak Beryl memakai jaket hitam dan celana jin. Sedangkan Kak Ayu memakai kaus putih dengan luaran hitam polos sepanjang lutut. Aku tidak tahu mereka akan pergi ke mana, tapi sepertinya mereka akan berangkat bareng.
“Hai! Teman-temannya Nasha.” Kak Beryl menyapa ramah. Ketiga temanku tersenyum dan mengangguk. “Selamat masak dan bersenang-senang!”
Lain dengan Kak Ayu yang lebih cuek. Ia hanya melempar senyum ke teman-temanku. Lalu sebelum menutup pintu, dia minta jatah pizza. “Sha, pizzanya sisain Kakak, ya!” Aku mengangguk. Tak lama, terdengar deru suara motor keluar dari garasi, dan suara gerbang ditutup.
Seorang teman menyenggol lenganku. “Itu, tadi kakak-kakak kamu, Sha?” Ekspesi wajahnya terlihat heran. Aku mengangguk. Ya, selalu begini, respons orang-orang yang baru melihat kedua kakakku. Mereka akan membandingkan kami.
“Kakak kamu mirip artis, Sha.”
Aku mengangguk. Aku sering mendengar komentar seperti itu.
“Eh, kakak-kakak kamu cakep-cakep, Sha, tapi kok ….” Temanku tiba-tiba berhenti bicara. Mulutnya mengatup rapat. Tapi, aku bisa menebak lanjutan kata-katanya.
“Ho oh, kami memang nggak terlalu mirip.” Aku mencoba berkata dengan nada biasa, walau hatiku sedih. “Kakak-kakakku kulitnya putih, aku sawo matang. Hidungku juga nggak semancung mereka. Wajah dan kulitku ini mirip Nenek.”
Temanku terlihat menyesal. “Maaf, Sha. Aku nggak maksud! Beneran. Maaf!”
Aku berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa. Ayo, kita mulai masak!”
Dengan cepat, aku bangkit dari sofa, dan berjalan menuju ke arah dapur. Ketiga temanku mengikuti.
**
Jika anak-anak seusiaku sibuk membicarakan aktor, artis, penyanyi, film, games, aksesoris dan apa pun yang sedang tren di dunia anak-anak, pikiranku selalu dipenuhi oleh makanan. Akan masak apa hari ini, kreasi apa yang mau dibuat, dan sebagainya.
Aku rajin menjelajah situs-situs, blog serta tutorial masak yang ada di channel youtube atau instagram, dan mempraktikkannya di rumah. Libur sekolah menjadi waktu mengasyikkan karena sering kumanfaatkan untuk mengikuti workshop atau kursus masak.
Bertambahnya keahlian dan jam terbang masak, membuatku punya julukan baru, Chef Bunny. Ya, siapa lagi yang iseng membuat nama itu kalau bukan Kak Beryl, si Super Jail.
Tentang kesukaanku memasak juga sudah lama diketahui Mama. Walaupun Mama termasuk wanita karir yang sibuk, ia tetap memperhatikan anak-anaknya. Tiap kali ada waktu luang, ia selalu menghabiskan waktu bersama kami. Makanya, Mama bisa cepat menyadari kesukaanku memasak, dan sangat mendukung. Bahkan, ketika hasil masakanku gagal, Mama pula yang menghibur dan memberi semangat.
“Sha, ada kompetisi masak di teve. Kamu ikut, ya?” ujar Mama saat kami sedang makan malam.
“Masuk teve, Ma?” Jantungku rasanya mau copot.
Mama mengangguk, dan tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar saat bicara. “Iya, Sha. Ada audisinya. Live di TV kalau masuk 50 besar. Mama pikir, ini kesempatan bagus buat kamu mengembangkan diri.”
Usai bicara, Mama menyodorkan ponselnya. Ada iklan kompetisi masak tersebut. Aku membaca informasi yang tertera. Hm, apa yang harus aku lakukan? Membayangkan memasak di depan banyak orang saja sudah membuat tanganku berkeringat. Apalagi kompetisi ini nanti disiarkan di televisi, penontonnya jauh lebih banyak.
Ayo, Sha. Ini kesempatan. Lagi pula ini kompetisi masak, bukan kompetisi kecantikan. Aku menelan ludah. Ya Allah, bagaimana ini? Bisakah aku?
“Mama daftarin, ya. Pendaftarannya online, kok.”
Aku terdiam, bingung. Mama seakan bisa membaca pikiranku, ia menggenggam tanganku. “Kamu itu bisa, Sha. Mama yakin banget. Coba, ya?”
Aku melirik Papa. Pria berkacamata itu mengangguk, memberi dukungan. Selanjutnya, aku menoleh ke arah Kak Ayu. Sama seperti Papa, kakakku itu juga mengangguk.
“Iya, coba saja, Sha. Nggak ada ruginya. Menang kalah dalam lomba itu biasa. Nasha lihat, Kak Ayu sering ikut kompetisi nyanyi. Nggak semuanya menang, tapi seru dan tambah pengalaman.”
Aku terdiam. Masih berpikir. Tinggal Kak Beryl yang belum memberi pendapat. Kakakku itu belum pulang kuliah. Tapi, mungkin komentarnya bakal sama dengan yang lain, setuju aku ikut lomba. Ya Allah, aku bingung, tetapi akhirnya aku memutuskan untuk ikut kompetisi. Aku mau mengikuti saran Kak Ayu, untuk menambah pengalaman.
“Nah, gitu dong, Sha. Nanti Mama minta bantuan Beryl untuk memotret masakan kamu. Terserah Nasha mau pilih masakan apa. Eh, kalau Papa, ada ide, nggak?”
Papa mengangkat bahu. “Terserah saja. Papa suka semua masakan Nasha, enak-enak.”
“Kalau Ayu?” tanya Mama.
“Hm, aku juga suka semua masakan Nasha.”
Aku sebenarnya punya pendapat sendiri. “Gimana kalau aku masak dari resepnya Nenek? Yang sering dimasak Nenek untuk keluarga kita.”
Bunda mengangguk. “Wah, ide bagus. Masak makanan yang memorable, punya kenangan indah itu menarik.”
Kak Ayu menjentikkan jarinya. “Eh, benar juga, Sha. Coba kamu masak bistik lidah. Buatan kamu itu udah mirip banget masakan Nenek.”
Aku mengangguk. “Boleh, Kak.”
“Oke, kita putuskan Nasha masak bistik lidah ala Nenek. Besok Mama akan minta Bibi siapin bahannya. Kita harus gerak cepat, soalnya di form pendaftaran juga ada syarat menyertakan satu foto masakan peserta.”
**
Esoknya, aku mulai memasak bistik lidah. Mama dan Kak Ayu membantu menghias tampilan masakan. Kak Beryl bagian memotret. Selesai mengedit foto hasil jepretannya, Kak Beryl memanggilku.
“Bunny, mau foto yang mana? Cakep-cakep, nih.”
Satu foto terbaik sudah dipilih, Mama bergegas mengisi formulir pendaftaran. Sedangkan aku, setelah urusan pendaftaran selesai, memilih naik ke lantai dua. Tempat yang kutuju adalah balkon.
Di ruang terbuka ini, aku berselonjor sambil menatap langit dengan berjuta bintang yang berkelap-kelip. Betapa damainya di sana. Entah berapa lama termenung, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
“Dasar Bunny, dikit-dikit mewek!”
Aku menoleh, cepat-cepat menghapus air mata. Kak Beryl duduk berselonjor di sampingku. Lho, sejak kapan kakakku ada di sini? Aku benar-benar tidak sadar.
“Kak Beryl! Siapa yang mewek, Nasha lagi mandang langit.”
Kak Beryl tertawa, lalu mengacak-acak poniku. “Baru daftar, belum juga audisi, tapi udah galau. Semangat, dong!”
Aku membuang muka, malas menimpali. Kembali aku menatap langit.
“Ya udah, Kakak ngantuk. Tapi, satu yang ingin Kak Beryl bilang ke Bunny, Kakak yakin Bunny bakal lolos audisi, dan jadi juara. Tapi, Bunny harus yakin dengan kemampuan sendiri. Bisa, kan?”
Aku diam, tidak menjawab. Kak Beryl mengetuk dahiku dengan jari telunjuknya.
“Believe in yourself, and you will be unstoppable! Percaya pada kekuatan yang kamu punya, maka kamu nggak akan terkalahkan.” Lalu Kak Beryl bangkit dari duduknya, pergi meninggalkanku. Bahkan hingga aku masuk ke kamar dan merebahkan tubuh di ranjang, kata-kata Kak Beryl terus terngiang-ngiang, memenuhi pikiran.
Believe in yourself.
Percayalah pada kemampuanmu sendiri. Ya Allah, bisakah aku?