Bagian #6
OPOR AYAM ISTIMEWA
Aula begitu penuh dan ramai. Suara berisiknya bagaikan dengung lebah. Bayangkan ada 50 kontestan anak-anak dari seluruh pelosok nusantara, dan salah satunya itu aku. Bagaimana tidak riuh, kami hadir dengan didampingi keluarga yang mengantar.
Saat menunggu itulah, aku berkenalan dengan kontestan dari Bogor. Katrina, namanya. Anak perempuan itu berambut lurus sebahu dan berkacamata. Saat tersenyum, ada lesung di pipinya. Aku juga berkenalan dengan Ali, sesama kontestan dari Jakarta. Tubuh Ali itu sedang-sedang saja. Tidak gemuk, juga tidak kurus. Tingginya hanya sedikit di atasku. Ternyata kami bertiga sebaya, sama-sama berusia 12 tahun. Walau baru berkenalan, kami cepat sekali akrab. Orang-orang mungkin akan menebak kami sudah berteman lama.
“Eh, kalau bertahan sampai final, kita bisa libur sekolah selama tiga bulan, lho. Asyiiik!” Ali bicara sambil terkekeh. Namun, Katrina menggeleng.
“Tapi setelah kompetisi, kita harus ngejar ketinggalan pelajaran di sekolah!”
Mata Ali membulat, lucu sekali ekspresi wajahnya. “Oh iya juga, ha ha ha.”
Tawa Ali yang renyah, menularkan aura menyenangkan. Selama menunggu kompetisi dimulai, kami mengobrol, bercanda dan tertawa bersama.
Acara dimulai, panitia meminta 50 kontestan untuk maju ke depan, membuat barisan per lima anak. Peserta yang berada di belakang memegang bahu peserta di depannya. Kami membuat barisan seperti permainan ular naga. Itu dilakukan agar barisan tidak terputus saat berjalan menuju galeri.
Dengan dipandu seorang panitia, kami diarahkan melalui lorong panjang menuju ruang galeri Junior Chef. Hingga akhirnya kami tiba di depan sebuah pintu besar. Jantungku berdebar begitu cepat. Di perutku seperti ada balon yang akan meletus. Ya Allah, di sinilah nanti aku berjuang.
Seorang panitia membuka pintu lebar-lebar. Wow, ruang galeri ini sangat megah dan luas. Semua peserta berdecak kagum saat pertama kali melangkah masuk.
“Tetap dalam posisi berbaris, Anak-anak!” tegur panitia. Suara yang tadi sempat gaduh, mulai terkendali. Kami tetap dalam barisan seperti ular naga.
Panitia menerangkan luas dapur galeri sekitar 600 meter persegi. Masih dalam barisan, aku mengedarkan pandangan. Ruang galeri ini terdiri dari area masak, pantri, ruang perlengkapan dan tempat presentasi.
Ruang pantri di sisi kanan dipenuhi dengan bahan-bahan masakan. Ada daging, buah dan sayur yang kualitas dan kesegarannya tetap terjaga. Di sisi kiri ada 20 meja masak atau cooking station, dengan empat meja berjajar di tiap baris.
“Kalian lihat cooking station itu? Mau masak di situ?”
Pertanyaan dari panitia membuat kami berteriak kompak. “Mauu!”
“Kalian akan masak di sini. Tapi, di setiap babak, kontestan akan ditempatkan secara acak. Jadi tidak bisa pilih-pilih tempat!”
Para kontestan mengangguk-angguk. Panitia kemudian menjelaskan hanya 20 peserta yang masuk babak selanjutnya. Terdengar gumam kekecewaan di antara peserta.
“Maka dari itu, kalian harus berjuang sekuat tenaga. Keluarkan segenap kemampuan agar layak masuk 20 besar. Kalian siap menerima tantangan?”
“Siaap!”
Panitia lalu membawa kami menuju ruang aula. Di bagian depan aula, telah menanti tiga orang juri. Mereka, para chef profesional yang wajahnya sering tampil di televisi. Ketiganya memperkenalkan diri.
Chef Arjuna, usia sekitar 35 tahun, merupakan ketua tim juri. Wajahnya datar, tanpa senyum. Ia menyambut kedatangan kami dengan tangan bersedekap. Ruang galeri jadi terasa menegangkan. Untungnya, dua juri lainnya, Chef Melinda dan Chef Budi memiliki wajah yang ramah dan bersahabat.
Terdengar suara bariton Chef Arjuna membuka acara. “Untuk tantangan di 50 besar, kalian harus membuat signature dish.” Chef Arjuna menatap kami satu per satu. “Ada yang tahu apa itu signature dish? Silakan mengacung!”
Beberapa anak terlihat mengangkat tangan, termasuk Katrina. Chef Arjuna mempersilakannya menjawab.
“Signature dish adalah masakan yang punya ciri khas pemasaknya.” Katrina menjawab dengan penuh percaya diri.
Chef Arjuna mengangguk. “Good! Artinya di tantangan kali ini, kalian diminta membuat masakan yang khas, mencirikan kalian, yang unik dan istimewa. Baik dari segi rasa, bahan maupun presentasi.”
Terdengar gumaman dan bisik-bisik di antara peserta. Hm, apa masakan yang akan kusajikan? Aku berpikir keras.
“Kalian akan dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan memasak pagi ini. Kelompok kedua, siang. Kelompok tiga, sore. Sekarang kalian perhatikan nama yang tampil di layar!”
Chef Arjuna menunjuk ke arah layar putih, deretan nama kontestan bermunculan. Aku dan Ali masuk kelompok satu. Sedangkan Katrina masuk ke kelompok dua.
“Kelompok dua dan tiga, silakan meninggalkan ruang.”
Para kontestan dari kelompok dua dan tiga keluar ruangan. Hingga tersisalah 15 orang dari kami, kelompok pertama.
“Peraturan kali ini, kalian diberi waktu sepuluh menit di pantri, untuk memilih bahan makanan. Ingat, kalian hanya diberi waktu masak satu jam. Pergunakan waktu dengan efisien. Kalian mengerti?”
“Siaap, Chef!” Kami lagi-lagi menjawab kompak.
Chef Arjuna kemudian menjelaskan setelah masak, semua peserta mendapat giliran presentasi. Waktu hanya diberikan lima menit.
**
Setelah menentukan apa yang akan dimasak, kami diberi waktu masuk ke pantri bergantian. Ada jam dinding besar yang ditempel di belakang cooking station, menjadi pengingat dan penanda waktu.
Jantungku berdetak lebih cepat. Aku menarik-embuskan napas, berusaha mengusir rasa gugup. Ayo, Nasha, fokus! Ingat, kura-kura tidak mudah menyerah. Kompetisi baru saja dimulai. Tantangan selanjutnya pasti lebih sulit. Aku berusaha menguatkan diri sendiri.
Galeri ini tanpa penonton. Namun, sorotan kamera dan kehadiran para kru televisi mau tidak mau cukup membuatku gugup. Karena panik, tanpa sengaja aku menyenggol seorang peserta saat lari dari pantri. Panci yang dibawanya jatuh.
“Ya Allah, maaf.” Aku segera jongkok untuk mengambil panci. Buru-buru menyerahkan pada anak perempuan berambut panjang itu. Wajahnya sama sekali tanpa senyum. Aku melirik papan nama yang tertempel di dada kanan. Namanya, Titania. Sepintas aku ingat, dia anak perempuan yang duduk di dekatku saat audisi awal.
Chef Arjuna menegurku agar berhati-hati. Dengan cepat, aku meminta maaf. Lalu bergegas menuju cooking station, mulai menyiapkan bahan. Aku akan masak satu menu favorit di rumah, berbahan dasar ayam, yaitu opor ayam.
Ayam kubersihkan dan dioles garam dan diberi perasan air jeruk nipis. Selanjutnya, aku memotong ayam menjadi bagian lebih kecil. Dengan cepat, aku menghaluskan bumbu, menumisnya hingga aroma rempah bumbu keluar.
Terjadi kecelakaan kecil, karena panik, jariku tersenggol wajan panas. Jangan nangis, Nasha! Aku berusaha menguatkan diri dan menahan agar tangisku tidak pecah. Sambil menahan perih, aku tetap melanjutkan memasak.
Segera kumasukkan potongan ayam ke wajan, kuaduk agar bumbu tercampur rata. Ayam akan diungkep setengah matang. Aku menunggu hingga ayam berubah warna, cepat kutuang santan, mengaduk-aduk supaya santan tidak pecah. Setelah mendidih, aku mengecilkan api, ayam tetap direbus hingga lunak dan kuah santan berminyak.
Masakanku matang tepat saat bunyi lonceng berbunyi nyaring. Tanda waktu masak telah habis. Aku dan semua kontestan mengangkat tangan.
Berhasilkah masakanku memikat hati juri? Aku meniup jariku yang terasa perih.