Adakah yang belum tahu bahwa naskah “Harry Potter” sebelumnya ditolak oleh duabelas penerbit besar? Kini, novel itu telah dicetak lebih dari 500 juta eksemplar di seluruh dunia dengan berbagai bahasa.
Bermimpi seperti JK Rowling tentu tidak salah, walaupun rasanya ketinggian untuk dicapai. Namun, ada satu pembelajaran yang bisa diambil di sini. Jangan buang naskahmu. Ditolak penerbit belum tentu jelek. Bisa jadi temanya tidak pas, genrenya tidak sesuai dengan penerbit yang kita tuju, atau alasan lain. Kirim terus ke penerbit lainnya.
Saya pernah membuat naskah tentang mengenal huruf hijaiyah yang menarik buat anak. Tak sekedar belajar menulis dan membaca, dalam naskah ini disertakan cerita hewan. Misalnya pengenalan huruf alif, maka menggunakan tulisan “Arnabun” yang artinya kelinci. Tentu saja tak sekedar itu, ada cerita tentang kelinci dengan tulisan berima sebagai pembeda dengan buku-buku lain yang sudah terbit. Kelihatannya menarik, kan? Namun lebih dari empat penerbit menolaknya. Alasannya bermacam-macam. Ada yang mengatakan tidak sesuai, sudah menerbitkan buku sejenis, atau malah menanyakan apakah ada naskah lainnya, yang artinya tidak mau menerima buku ini, tapi meminta naskah lain.
Hingga suatu waktu, saya kirimkan lagi naskah ini setelah sekian tahun belum berjodoh untuk terbit. Tak disangka, mendapat respon positif. Naskah diterima, tapi dengan banyak perbaikan. Tulisan yang tadinya saya buat 2-3 paragraf tiap cerita, diminta satu paragraf saja. Ditambahkan juga dengan belajar membaca sederhana. Selain itu, ditambahkan fitur lain, yaitu wipe and clean, anak bisa menulis menggunakan spidol non permanent yang bisa dihapus lagi. Buku pun dicetak boardbook, sehingga lebih awet dipakai anak-anak.
Naskah yang ditolak di beberapa penerbit ini sekarang sudah menjadi buku dengan penjualan hanpir 20.000 eksemplar dan masih cetak ulang .
Apa pelajaran yang bisa diambil dari sini?
Setiap naskah akan bertemu jodohnya, insyaa Allah. Apabila ditolak satu penerbit, jangan putus asa. Teruslah mencoba mengirim ke penerbit yang lain, tentunya setelah disesuaikan dengan penerbitnya. Apabila sudah diterima satu penerbit, lalu ada revisi, ikuti saja, selama itu bukan masalah yang prinsip. Bagaimanapun penerbit sudah lebih berpengalaman. Mereka mempunyai tim pemasaran yang menguji kelayakan naskah apakah akan laku atau tidak untuk pangsa pasar yang telah dimiliki selama ini.
Satu hal lagi yang wajib diperhatikan, ketika sudah submit satu naskah, segeralah menulis naskah yang lain. Tenggang waktu diterima atau ditolak sebuah naskah bisa sampai enam bulan bahkan setahun. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau selama itu kita hanya menunggu? Waktu satu bulan bisa digunakan untuk menulis satu judul buku bergambar. Atau waktu 3-4 bulan bisa menghasilkan satu novel anak. Jadi, enam bulan tentulah waktu produktif untuk menghasilkan tulisan.
Sepanjang perjalanan menulis itu, pasti ada banyak pembelajaran. Apalagi bila selain terus menulis, kita juga selalu upgrade ilmu dengan mengikuti kelas kepenulisan. Jangan kaget, apabila suatu waktu kita menemukan naskah lama lalu merasa gatal ingin merevisinya. Nah, inilah indikasi kemampuan menulis kita tidak jalan di tempat. Bisa jadi, kita pun akan menemukan keanehan dalam naskah lama yang ditolak berulang kali di penerbit. Lalu baru sadar, naskah itu memang belum pantas diterbitkan. Padahal dulu kepedean setengah mati, merasa naskah itu bagus sekali!
Terkesan banget dengan saran positif Kakak yang ini: “Apabila sudah diterima satu penerbit, lalu ada revisi, ikuti saja, selama itu bukan masalah yang prinsip.”
Sukses selalu ya, Kak ….
Terima kasih banyak atas apresiasinya, Kak. Hanya pengalaman pribadi hehe.