‘Ngurek’ Belut

Aku kaget ketika Supar membuka kotak bekal makan siangnya di sekolah kemarin. Di atas nasi putihnya yang harum, aku melihat sesuatu yang mirip seperti ular. Kira-kira panjangnya 20 centimeter. Pikiranku berkelana kemana-mana dan berpikir bahwa itu adalah ular goreng! Bagaimana mungkin aku baru tahu jika sahabatku ini suka makan ular?

“Ka-kamu makan ular?” tanyaku dengan mata terbelalak. Mataku masih tertuju pada kotak bekal makan siangnya. Tidak ada lauk lain selain ‘ular goreng’ itu. Meski aku pernah melihat orang makan ular diĀ  YouTube, tapi aku tidak bisa membayangkan jika Supar makan ular.

Supar menganggukan kepala. “Iya. Aku suka sekali ular goreng. Pepes ular juga tidak kalah lezatnya!”

Hoek! Aku ingin muntah mendengarnya. “Kok bisa sih ular dimakan?”

“Selain ular, aku juga suka makan tikus, lho,” ujar Supar lagi.

Carli mendekat ke arah kami demi mendengar percakapan kami berdua. Dia duduk di samping Supar dengan senyuman miringnya. “Kamu harus mencobanya, Nu. Dijamin bakal ketagihan.”

“Terimakasih! Dikasih uang satu juta rupiah pun aku tak akan sudi untuk mencoba makanan ekstrim seperti. Aku tidak serakus kalian!” jawabku sembari bergidik ngeri.

Sontak Supar dan Carli tertawa terbahak-bahak. Apanya yang lucu? Aku merasa jijik jika harus mencoba menyantap daging ular. Seperti tidak ada makanan yang lain saja!

“Kami bercanda, Nu,” ujar Supar sembari mencomot ‘ular goreng’ itu dan mengunyahnya. Ada suara ‘kriuk-kriuk’ ketika dia mengunyahnya dengan semangat. Sepertinya enak dan renyah. “Ini bukan ular. Tapi belut.”

“Belut?” Tanpa kusadari aku menghela napas lega. Kupikir itu benar-benar ular!

“Iya. Kamu belum pernah makan belut ya?” tanya Supar kemudian.

“Belum pernah. Kalau bentuknya aku pernah lihat di YouTube dan ensiklopedia. Tapi aku belum pernah melihatnya langsung,” terangku kemudian.

“Kalau begitu, kamu wajib ikut ngurek bersamaku. Besok Minggu aku ajak kamu.”

“Ngurek itu apa?”

“Memancing belut,” jelas Supar. Ia melanjutkan makan siangnya yang sempat tertunda karena pertanyaan konyolku tadi.

“Boleh aku cicipi belutmu?” pintaku. Setelah tahu bahwa yang dia makan adalah belut, aku jadi penasaran dengan rasanya. Sepertinya sih enak.

“Tentu saja.” Supar memuntir belut goreng itu menjadi tiga bagian. Satu untuk Carli. Satu untukku. Setelah kucoba, ternyata rasanya tidak jauh beda dengan lele goreng yang biasa aku nikmati di warung tenda pecel lele Mbah Tarmin di kota dulu. Gurih.

Sebagaimana janjinya kepadaku kemarin, hari Minggu ini Supar mengajakku untuk mencari belut di sawah. Katanya, banyak lubang belut yang dia temukan di sawah milik orangtuanya yang baru sebulan yang lalu ditanami padi.

“Bagaimana caranya menangkap belut-belut itu?” tanyaku penasaran.

“Gampang, tinggal memancingnya di lubang belut. Lubang sarang belut itu biasanya ada di pinggiran pematang yang berair. Nanti aku ajari. Hanya saja, kita perlu umpan.”

“Apa umpannya?” tanyaku kemudian.

“Cacing atau ikan-ikan kecil juga bisa.”

Maka, pagi itu juga Supar sudah tiba di rumahku dengan membawa ember kecil, segulung benang nilon dan beberapa ekor cacing dan ikan kecil yang dia simpan di dalam ember tersebut. Saat itu aku tengah sarapan dengan hidangan sepiring ubi jalar goreng dan teh manis.

“Sudah siap?” tanyanya dengan seringai.

“Sudah dong, jawabku kemudian. “Kamu sudah sarapan?”

“Sudah tadi. Sarapan sama goreng belalang,” jawabnya.

Aku tercengang demi mendengar apa yang dia katakan barusan. “Goreng belalang? Serius goreng belalang?”

“Iya,” jawabnya. “Kamu pasti belum pernah mencoba makan belalang goreng, ya?”

Aku mengangguk. “Seumur hidup baru tahu belalang bisa dimakan. Rasanya bagaimana?”

“Rasanya sama seperti udang, kok. Nanti aku ajak kamu mencari belalang di ladang. Tapi sekarang kita cari belut dulu.”

“Iya. Jangan terburu-buru. Biar temani aku dulu makan ubi goreng,” ujarku kemudian. Kemudian aku beranjak ke dalam untuk mengambil satu cangkir teh manis tambahan untuk teman karibku ini.

Sepuluh menit kemudian, kami beriringan menuju selatan dimana pesawahan menghampar.

Supar kemudian mengajariku bagaimana cara dan teknik ngurek belut.

“Pertama-tama, kita harus mencari sarang belut terlebih dahulu,” jelas Supar.

“Sarang belut itu seperti apa?”

“Untuk mengenali sarang belut itu hal yang mudah. Kamu hanya perlu melihat lubang-lubang kecil di lumpur. Lubang kecil itu biasanya lubang belut. Selain itu, biasanya ada gelembung dari dalam lubang itu. Nah, jika sudah menemukan lubang itu, kamu harus memancingnya dan sabar menunggu dalam beberapa menit. Jika kamu beruntung, pancingmu akan tepat sasaran.”

Aku mengangguk paham.

Supar menunjuk sesuatu di pinggiran sawah, persis di tepi pematang. “Nah, itu lubang belutnya. Kamu pasang cacing ini di mata kail.” Supar menyerahkan ember kecilnya kepadaku. Meski agak sedikit jijik, aku mau tak mau harus mengambil satu ekor cacing tanah dan memasangnya di mata pancing.

“Setelah itu, kamu masukan umpan itu ke lubang,” perintah Supar.

Aku menurutinya dan menunggu dengan hati penuh harap. Dan ternyata aku benar-benar beruntung. Meski baru pertama kali mengulurkan umpan, aku mendapatkan hawa keberuntungan ketika benang nilon yang kupegang bergerak. Dengan serta merta aku menariknya dengan semangat! Dan…zonk! Aku tidak menemukan sesuatu apa pun yang tersangkut di mata kail. Belut itu lolos dari incaranku.

“Yah…gagal!” lirih Supar sembari melempar kerikil ke arah lubang belut cerdik itu. “Nanti, ketika umpanmu sudah dicaplok, jangan langsung ditarik, biarkan beberapa saat. Kalau bisa, ketika belut itu menarik-narik pancingan, kita ulur benangnya.”

“Kok bisa lepas, sih?” tanyaku dengan kekecewaan yang masih tersisa.

“Ya jelas lepaslah. Kamu terburu-buru. Belut itu baru menggigiti ujung umpan. Mulutnya belum tersangkut di mata kail, wajar kalau lepas begitu saja.”

Aku mengangguk paham. Kuakui Supar lumayan pintar dalam urusan pancing memancing. Aku belajar banyak tentang teknik memancing yang benar darinya.

“Baiklah. Untuk sekarang kamu lihat dulu saja bagaimana aku memancing. Setelah itu kamu mencobanya, ya.”

“Siap komandan!”

Kali ini Supar yang beraksi. Tiga kali menemukan lubang, tiga belut kami dapatkan dengan mudah. Setelah itu tiba giliranku. Kalau aku tidak salah hitung, aku telah mencoba memancing belut di empat belas lubang belut. Hanya sembilan belut yang mampu aku dapatkan. Tapi Supar memuji hasil tangkapanku. Dia bilang, untuk ukuran pemula dan amatiran seperti diriku, itu adalah prestasi yang luar biasa.

Menjelang dzuhur, kami memutuskan untuk menyelesaikan kegiatan dan pulang kembali ke rumah setelah membagi hasil tangkapan menjadi dua bagian.

“Bakal pesta belut kita,” ujarku sembari mengacungkan ember kecil yang sekarang penuh dengan makhluk panjang licin itu. Belasan ekor belut yang menggeliat-geliut itu akan menjadi santapan kami.

Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024

Sumber foto : DetikNews

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar